Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) bekerja sama dengan Center For Strategic and International Studies (CSIS) dan Kompas meluncurkan Buku Indonesia Menuju 2045 pada Rabu (6/10). Hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan manusia dan Kebudayaan RI, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P memberikan keynote speech, serta 3 pembahas, yakni Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte, Penulis Nugroho Dewanto, dan Direktur Komunikasi Korporat Kompas Gramedia Glory Oyong. Kolaborasi ini merupakan contoh kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media dalam menjawab bersama tantangan bangsa.

“Revolusi industri 4.0 telah memudahkan kehidupan manusia, tapi revolusi industri 4.0 menimbulkan pula “disrupsi” di berbagai sektor,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Menurut Agus, berbagai sektor mulai dari pendidikan, kesehatan, bisnis, sampai militer, mesti sigap merespon situasi tersebut agar tak gagap menghadapi perubahan yang sangat drastis. Atas dasar tersebut, Lemhannas RI memprakarsai penulisan Buku Indonesia menuju 2045.

Dalam tempo 24 tahun menuju 100 tahun usianya, Indonesia harus belajar bagaimana negara-negara maju berhasil membangun Sumber Daya Manusia yang unggul. Agus berpendapat bahwa generasi muda memiliki fisik yang bagus dan kapasitas otak yang besar. Karakter generasi muda kuat dengan ciri-ciri memiliki rasa ingin tahu yang besar, percaya diri, tidak minder tapi juga tidak arogan, berani ambil risiko, berpikiran kritis dan kreatif, berani mempelajari hal-hal baru, mampu beropini dengan tajam, dan persuasif baik dalam berbicara maupun menulis.

“Studi yang dilakukan tim penulis mendapati bahwa pondasi kemajuan negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, dan sekarang China adalah pembenahan besar-besaran di bidang kesehatan dan pendidikan,” kata Agus. Dalam pembenahan tersebut, dipastikan generasi muda mendapat asupan gizi yang baik sejak masih menjadi janin, mendapat perawatan kesehatan yang bagus, dan memperoleh pendidikan yang bermutu. Secara paralel negara-negara tersebut juga melakukan pembangunan infrastruktur fisik secara besar-besaran, termasuk infrastruktur teknologi yang diimbangi dengan memperkuat penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi.

Menurut Agus, melalui metode serupa Indonesia semestinya dapat melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan berbudaya. Dengan begitu, Indonesia dapat menikmati bonus demografi. Sejalan dengan hal tersebut, SDM Indonesia yang unggul akan mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan, keadilan sosial dan kepuasan bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, Agus juga menyampaikan bahwa SDM yang unggul akan membentuk ketahanan nasional yang kuat dan merekatkan NKRI secara utuh. “Bangsa Indonesia akan menjadi kekuatan luar biasa yang berdiri sejajar dengan negara maju lain dan dihormati dalam percaturan global,” tutur Agus.

“Indonesia digadang akan mencapai masa keemasan pada tahun 2045 tepat saat usia kemerdekaan mencapai 100 tahun,” kata Menko PMK Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P. Guna mempersiapkan SDM yang unggul dan berkualitas agar dapat menjadi pemimpin negara di era tersebut, pemerintah kini fokus pada pembangunan SDM. Lebih lanjut, Muhadjir menyampaikan bahwa problem besar yang harus dihadapi di Indonesia adalah bagaimana menyiapkan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya yang memberikan kesempatan SDM usia produktif bisa bekerja secara produktif. “Usia produktif belum tentu bisa menghasilkan dan berproduksi kalau dia tidak bisa bekerja yang compatible dengan keahlian dan kecakapannya,” ujar Muhadjir.

Sejalan dengan apa yang disampaikan Agus Widjojo, Muhadjir menyampaikan bahwa Indonesia akan memasuki era bonus demografi. “Urusan kita tidak sederhana, urusan kita sangat berat kalau kita bicara tentang pembangunan SDM untuk menuju ke 2045,” kata Muhadjir. Oleh karena itu, Muhadjir menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa bersantai, harus bekerja keras, dan mencari peluang sebanyak-banyaknya dalam menciptakan lapangan kerja potensial yang seluas-luasnya. Namun, tidak mudah dalam mewujudkan hal tersebut, terlebih saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, menurut Muhadjir apa yang saat ini dilakukan sudah tepat, yakni menangani sejak masalah awal sampai akhir. “Kita sudah berada di track yang benar, dari stunting sudah kita tangani, sampai tidak drop out sudah kita atasi, sampai menyiapkan masuk dunia kerja sudah kita lakukan,” ujar Muhadjir. Namun, tetap tidak boleh lengah agar nantinya SDM pada usia produktif dapat bekerja secara produktif juga. Hal tersebut tentu saja bukan urusan dari satu pihak, tapi harus menjadi urusan semua pihak, termasuk Lemhannas RI. “Termasuk menjadi hal yang harus dipikirkan Lemhannas RI yang menjadi lembaga yang mempunyai tugas pokok melakukan pemikiran-pemikiran strategis,” tutur Muhadjir. Dalam kesempatan tersebut, Muhadjir menyampaikan harapannya agar semakin tumbuh kesadaran berbagai pihak bahwa masih sangat besar dan sangat berat beban Indonesia.

“Disrupsi akan terus terjadi. Apapun resikonya harus kita hadapi dan tentu saja kita harus terus siap untuk beradaptasi dengan keadaan-keadaan yang akan terjadi. Masih banyak yang harus dipikirkan, masih banyak yang harus direnungkan, masih banyak yang harus dirancang bagaimana untuk menuju SDM Tahun 2045,” tutup Muhadjir.

Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte yang hadir menjadi salah satu pembahas menyampaikan Indonesia perlu belajar dari Korea Selatan dalam membangun industri Korean Pop (K-Pop) di negara tersebut. “Korsel saat ini dipuja-puja di seluruh dunia karena industrinya. K-Pop tumbuh karena ada inovasi dan teknologi yang dikembangkan, bahkan saat ini produk Korsel seperti kosmetik lebih baik dari produk Eropa dan Amerika Serikat,” kata Philips. Korea Selatan tercatat sebagai negara maju yang berinvestasi besar pada penelitian, yakni sebanyak 4,1% dari total PDB, sedangkan Indonesia hanya 0,1% dari PDB.

Tidak hanya anggaran yang timpang, namun jumlah peneliti dalam satu juta penduduk Korea Selatan dan Indonesia juga memiliki perbedaan yang signifikan. Setiap satu juta penduduk Korea Selatan ada 6800 peneliti, sedangkan Indonesia hanya 89 peneliti. “Bila Indonesia mau berkompetisi dengan negara-negara maju, aspek penelitian dan investasi pada penelitian harus perhatikan, tidak hanya penelitian ekonomi, tapi juga sosial dan budaya untuk mencapai kebijakan yang lebih baik,” lanjut Philips.

Di Korea Selatan, pihak swasta juga mengambil peran dengan melakukan investasi. “Ini pelajaran, keterlibatan pihak non negara dalam pengembangan inovasi dan teknologi. Negara tidak mengurusi semua. Perlu kontribusi pihak dari luar negara,” kata Philips. Dari keadaan tersebut, dapat dilihat bahwa untuk menjadi negara yang unggul pada 2045, Indonesia perlu mengembangkan ekonomi berbasis inovasi. Ini yang dilakukan oleh negara-negara maju lainya, melakukan inovasi dan teknologi. “Tapi juga jangan terjebak oleh long term conflict yang menghabiskan anggaran begitu besar, sebagaimana pada negara AS,” kata Philips.

Menurut Philips, untuk melihat kondisi Indonesia pada tahun 2045, Indonesia harus mengukur relatif terhadap kondisi negara lain. Misalnya seperti Negara-negara Asia saat ini yang secara nyata sedang mengalami perubahan geo-ekonomi. “Seperti penelitian yang pernah dirilis oleh Bappenas pernah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu demografi Indonesia, kondisi penduduk di wilayah urban, adanya potensi kompetisi sengit, tidak hanya ekonomi, tapi juga geopolitik,” tutur Philips.

“Jika dibandingkan dengan negara-negara Korea, Jepang, China, bahkan juga Vietnam, kita masih jauh lebih baik, karena waktu mereka mulai melakukan pembangunan, kondisinya lebih berantakan dari kita,” kata Penulis Nugroho Dewanto. Lebih lanjut Nugroho menyampaikan bahwa pembenahan infrastruktur di Indonesia sampai saat ini masih dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam menyongsong Indonesia Maju 2045. Namun, perlu ada usaha dalam peningkatan SDM pada bidang pendidikan dan kesehatan. Meski demikian, Indonesia optimis menjadi negara maju pada 2045.

Menurut Nugroho, kondisi Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan kondisi ekonomi. Sebelumnya Indonesia sempat masuk ke level pendapatan menengah ke atas, namun karena pandemi Covid-19, kembali turun level menjadi pendapatan menengah ke bawah. Tidak hanya kondisi ekonomi yang mengalami penurunan, namun kesehatan generasi emas Indonesia juga masih perlu dibenahi. Sekitar 54% angkatan kerja di Indonesia terindikasi menderita stunting, yang tersebar di sektor kerja swasta, birokrasi sipil, kepolisian, dan kemiliteran. Kondisi stunting ini sangat memprihatinkan dan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kualitas SDM di Indonesia, terutama pada usia produktif.

Oleh sebab itu, Nugroho menyampaikan ada tiga pondasi yang dimiliki negara maju untuk membenahi masalah tersebut, yaitu investasi di bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan saat bersamaan membangun infrastruktur secara massive. Selain itu, juga melakukan investasi pada riset di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).

Pada kesempatan tersebut, Direktur Komunikasi Korporat Kompas Gramedia Glory Oyong menyampaikan data penelitian ahli dari Universitas of Washington yang menyebutkan bahwa dominasi kecerdasan yang diturunkan kepada anak berasal dari ibu. Hal ini disebabkan kecerdasan terletak di kromosom X dan perempuan memiliki dua kromosom X. “Meski tidak semua, tentu ada lagi pengaruh lingkungan dan lain sebagainya,” kata Glory.

Lebih lanjut Glory menyampaikan mengenai seribu hari pertama yang merupakan masa keemasan yang sangat penting. Dalam masa keemasan tersebut, tidak hanya kesehatan bayi atau balita saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga gizi para calon ibu. Oleh karena itu, menurut Glory perempuan mempunyai peranan penting dalam melahirkan SDM yang andal. Selain gizi yang baik, generasi emas juga akan lahir dari perempuan yang diberi kesetaraan dalam akses pendidikan, akses kesehatan, dan juga akses atau kesempatan untuk membesarkan anak-anaknya. Apabila hal tersebut tidak diberikan, maka generasi emas tidak akan terbentuk secara maksimal.

Sejalan dengan hal tersebut, salah satu syarat bonus demografi adalah sumber daya manusia yang mampu berinovasi dan berdaya saing. Akan tetapi, apabila kaum ibu, perempuan, dan generasi emas tidak mendapatkan kesetaraan dalam akses kesehatan dan pendidikan, maka puncak usia produktif tersebut justru akan menjadi beban demografi bagi Indonesia. Glory berharap berbagai stakeholders maupun pemerintah berperan aktif dalam membuka kesempatan kesetaraan bagi perempuan. Sehingga, generasi emas yang berkualitas dapat tercapai dan menjadi bonus demografi dalam memajukan Indonesia pada 2045.


Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional pada Rabu, 6 Oktober 2021. Seminar tersebut mengangkat tema “Roadmap Sistem Pendidikan Alternatif dalam Pusaran Pandemi dan Perkembangan Teknologi Untuk Menyambut Indonesia Emas 2045”. Hadir dalam seminar tersebut tiga narasumber, yakni Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK RI) Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A., Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI) Anindito Aditomo S. Psi., M.Phil., Ph.D., Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Periode 2009-2014 Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh, D.E.A., dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Prancis, Andorra, Monako, serta Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO Arrmanatha Christiawan Nasir, dan Komunitas Merah Putih Cecilia Sumarlin.

Ketua Seminar Nasional Brigjen TNI Mohammad Fadjar, MPICT dalam laporannya menyampaikan bahwa sebelum dilaksanakannya seminar tersebut, peserta PPSA 23 telah melaksanakan dua kali FGD pada 2 September 2021 dengan judul Perubahan Sistem Pendidikan di Era Perkembangan Teknologi Digital dan FGD kedua pada 14 September 2021 yang berjudul alternatif arah kebijakan sistem pendidikan dalam menghasilkan SDM Unggul pada masa Indonesia Emas 2045. “Harapan kami pada pelaksanaan seminar hari ini kita akan dapat memperoleh banyak masukan dan solusi yang akan menjembatani celah dari roadmap sistem pendidikan yang telah ada,” kata Fadjar.

Pada kesempatan tersebut, Fadjar juga menyampaikan tiga tujuan dari seminar tersebut. Pertama, didapatnya hasil seminar yang optimal sehingga dapat dijadikan bahan masukan kepada pemerintah dan pimpinan untuk mengambil keputusan lebih lanjut. Kedua, terhimpunnya data dan informasi serta perkembangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Ketiga, terwujudnya masukan yang kontributif dalam upaya mencari roadmap alternatif pada sistem pendidikan akibat pengaruh dari pusaran pandemi dan perkembangan teknologi untuk menyambut Indonesia Emas 2045.

Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menyampaikan bahwa seminar tersebut menjadi salah satu indikator dari kemampuan para peserta PPSA 23 dalam menyerap dan memahami berbagai materi selama mengikuti pendidikan di Lemhannas RI. Agus Widjojo berpendapat bahwa melalui seminar tersebut, para peserta dapat menuangkan ilmu pengetahuannya untuk menyusun hasil seminar yang strategis dengan menggunakan kemampuan berpikir secara komprehensif, integral, holistik, dan sistemik.

Pada kesempatan tersebut, Agus Widjojo juga menyampaikan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat di era globalisasi tidak bisa dihindari lagi dampak positif dan negatifnya terhadap dunia pendidikan. Beberapa dampak positif dari perkembangan teknologi terhadap dunia pendidikan, antara lain adalah memudahkan dalam mencari informasi yang sedang dibutuhkan, informasi yang dibutuhkan semakin cepat dan mudah di akses untuk kepentingan pendidikan, serta inovasi dalam pembelajaran semakin berkembang dengan adanya inovasi e-learning yang semakin memudahkan proses pendidikan serta dapat membuat kelas virtual.

Di sisi lain, dampak negatifnya adalah banyaknya informasi yang menarik bagi siswa di internet membuat siswa terkadang tidak fokus ketika pembelajaran sedang berlangsung, mempermudah terjadinya pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) karena semakin mudahnya mengakses data dapat menyebabkan munculnya penjiplakkan atau plagiarisme untuk melakukan suatu kecurangan, dan banyaknya informasi menarik seperti game online membuat peserta didik menjadi malas belajar. “Peserta didik lebih suka menjelajahi dunia mayanya dengan berbagai informasi menarik yang disajikan,” ujar Agus Widjojo.

“Sangat pentingnya pendidikan karakter yang menjadi prasyarat menghasilkan SDM yang unggul khususnya menghadapi Indonesia Emas 2045,” kata Agus Widjojo. Saat ini sudah terdapat dasar hukum penanaman pendidikan karakter, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Namun, implementasinya dalam kurikulum pendidikan pada semua jenjang pendidikan masih belum dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat tercermin dalam kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan, sehingga hal ini ditengarai berpengaruh pada kualitas para lulusan tersebut dan juga integritas para lulusan di semua jenjang pendidikan.

“Kelemahan kita itu adalah untuk mentransformasikan, menerjemahkan  gagasan-gagasan dan ide-ide yang ada di dalam benak kita yang biasanya sempurna,” kata Agus Widjojo mengingatkan bahwa seringkali terjadi kelemahan dalam mentransformasikan dan menerjemahkan gagasan dan ide dengan sebuah tindak lanjut.

Kemudian Agus Widjojo menyampaikan bahwa dalam mewujudkan Indonesia Emas pada tahun 2045, sesuai visi dan misi presiden dalam mewujudkan SDM yang unggul, diperlukan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dan mampu untuk memprediksi kondisi yang terjadi pada tahun 2045. “Sistem pendidikan nasional saat ini masih berorientasi kepada peningkatan kapasitas knowledge peserta didik, padahal seharusnya lebih mengarah kepada pembentukan karakter peserta didik,” kata Agus Widjojo.

Kondisi saat ini dimana pada era disrupsi yang antara lain karena adanya pengaruh perubahan iklim, perkembangan digital, dan pandemi Covid-19 juga mempengaruhi ketahanan sistem pendidikan nasional pada semua jenjang pendidikan. Pada era kondisi disrupsi saat ini, sangat mempengaruhi orang tua, guru, peserta didik, serta penyelenggara pendidikan dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan. Harus dilakukan upaya-upaya yang tidak biasa dalam mengantisipasi perubahan yang luar biasa cepat akibat adanya disrupsi,” tutur Agus Widjojo. Menurut Agus Widjojo, kurang siapnya orang tua, tenaga pendidik, pola pengajaran yang belum berubah, kesiapan infrastruktur pendidikan, dan belum siapnya masyarakat menghadapi pandemi, juga sangat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan di era disrupsi ini.

“Diperlukan upaya-upaya antisipasi sebagai bentuk adaptif yang cepat dan inovasi dalam penyelenggaraan pelaksanaan pendidikan pada semua jenjang pendidikan baik pada tingkat pendidikan sekolah dasar, pendidikan menengah dan pada jenjang perguruan tinggi dalam membentuk SDM unggul yang berkarakter kebangsaan yang kuat dalam menyambut indonesia emas 2045,” tegas Agus Widjojo.

“Kualitas manusia Indonesia yang unggul tentu dapat dicapai melalui layanan pendidikan yang merata dan bermutu, sehingga memiliki kompetensi yang tinggi dan mampu bersaing dengan SDM yang lain,” Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK RI Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A. Namun, proses pembentukan SDM, yang salah satunya dibentuk melalui pendidikan, adalah proses yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu.

“Diperkirakan dari lima pekerjaan yang ada (saat ini), hanya satu yang akan bertahan di masa yang akan datang,” kata Agus Sartono. Hal tersebut disebabkan adanya penyusutan pekerjaan yang semakin besar jumlahnya. Namun, bidang pekerjaan pada beberapa sektor yang diperkirakan menurun kebutuhannya, dapat memiliki kesempatan bertahan melalui peningkatan keterampilan. Oleh karena itu, pemerintah sedang menata pendidikan dan pelatihan vokasi guna meningkatkan keterampilan SDM Indonesia. “Kita ingin at the same time menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru supaya tidak semua menjadi pencari kerja,” kata Agus Sartono.

Pada kesempatan tersebut, Agus Sartono juga memaparkan mengenai keahlian yang paling dibutuhkan di masa mendatang. Pertama, kemampuan kognitif yang lebih tinggi, yakni kemampuan literasi dan menulis tingkat tinggi, berpikir kritis, dan analisis kuantitatif dan keterampilan statistik. Kedua, kemampuan sosial emosional, yakni kemampuan berkomunikasi, berempati, dan beradaptasi, serta kemampuan untuk melakukan pembelajaran yang berkelanjutan. Ketiga, kemampuan pengusaan teknologi, yakni kemampuan menganalisa data dan rekayasa teknologi.

“Kita memimpikan bahwa di era Indonesia Emas pada saat 2045 nanti, Indonesia akan menjadi negara yang makmur, tetapi ada tantangan yang harus kita antisipasi,” kata Agus Sartono. Tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi salah satunya melalui peningkatan keterampilan. Agus Sartono juga mengingatkan bahwa pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik secara manual akan tergantikan dengan mesin. Oleh karena itu, penting untuk menguasai penggunaan teknologi informasi.

Menutup paparannya, Agus Sartono menegaskan bahwa pendidikan pada dasarnya bertujuan membentuk karakter dan membangun keadaban. Oleh sebab itu, jika bicara tentang sistem pendidikan alternatif, setiap rumah tangga harus dijadikan sebagai induk dari semua sekolah. “Marilah kita jadikan rumah tangga sebagai induk dari semua sekolah, supaya tujuan membangun karakter dan keadaban guna menghadapi masa depan yang sangat volatile bisa berjalan dengan baik,” kata Agus Sartono.


Direktur Penguatan Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) dr. Bina Ampera Bukit, M.Kes. memberikan ceramah kepada peserta Penataran Istri/Suami Peserta PPSA 23 pada Rabu (6/10). Pada kesempatan tersebut, dr. Bina menyampaikan materi mengenai Penanggulanangan Narkoba di Masa Pandemi Menuju Indonesia Bersih Narkoba (Bersinar).

Memulai ceramahnya, dr. Bina menegaskan bahwa kejahatan narkotika merupakan salah satu jenis kejahatan luar biasa yang merupakan kejahatan terorganisir lintas negara dan dapat menjadi ancaman serius karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. Sehingga, kejahatan narkotika menjadi tantangan bagi Indonesia. “Kita perlu melakukan perlawanan terhadap kejahatan ini,” kata dr. Bina.

Kemudian dr. Bina menyampaikan mengenai strategi dan kebijakan BNN dalam penanggunalangan kejahatan narkotika. dr. Bina menyebut bahwa strategi yang diterapkan BNN adalah perang melawan narkoba guna mewujudkan Indonesia bersih dari narkoba melalui Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Dalam P4GN ada tiga strategi yang digunakan, yakni hard power, soft power, dan empowering. Dalam hard power melalui pemberantasan. Sedangkan soft power melalui pencegahan, pemberdayaan masyarakat, dan rehabilitasi. Kemudian empowering melalui kerja sama. “Diharapkan bahwa adanya kegiatan strategi yang trustable dan accountable, sehingga itu nanti akhirnya menuju ke Indonesia bersih narkoba, Indonesia bersinar,” ujar dr. Bina.

Lebih lanjut, dr. Bina secara spesifik menyampaikan mengenai penanggulangan narkoba terhadap Generasi Milenial dan Generasi Z. “Narkoba merupakan musuh bersama, itu harus kita ingat,” tutur dr. Bina. Oleh karena itu, upaya pencegahan narkoba dimulai dari lingkungan keluarga, yakni peran orang tua amat sangat dominan dalam intervensi ketahanan keluarga terhadap pengaruh narkoba. Dengan tegas dr. Bina menyampaikan jika keluarga memiliki ketahanan yang kuat, hal tersebut akan berdampak pada level lebih tinggi seperti ketahanan kecamatan, ketahanan kabupaten/kota, ketahanan provinsi, dan akhirnya ketahanan Indonesia bersih narkoba. “Dimulai dari ketahanan keluarga, sehingga Indonesia bersih narkoba dapat kita capai,” ujar dr. Bina.

Bina menjelaskan bahwa ketahanan keluarga mengacu pada pola tingkah laku positif dan kompetensi fungsional yang ditampilkan individu dan keluarga ketika mengalami peristiwa yang menekan, yang menandakan kemampuan keluarga untuk pulih. Sejalan dengan hal tersebut, ketahanan keluarga anti narkoba merupakan kemampuan keluarga untuk meningkatkan daya tangkal dari ancaman penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dimensi ketahanan keluarga anti narkoba adalah sistem keyakinan, proses organisasi, dan proses komunikasi.

Prinsip utama pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah meningkatkan faktor protektif dan meminimalisasi faktor risiko. Oleh karena itu, dr. Bina menyampaikan bahwa seluruhnya harus mengenali faktor-faktor tersebut. Mengenali faktor pelindung dan risiko tersebut dapat melalui pengenalan karakter dan minat anggota keluarga khususnya anak, memperhatikan pola asuh dalam keluarga, mengetahui harapan keluarga, serta tata nilai dalam keluarga. Selain keluarga, lingkungan umum juga harus dikenali dengan mengenali teman-teman anggota keluarga dan sekolah anak-anak dalam keluarga tersebut.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi pembicara pada Program Eksklusif Pelatihan Kepemimpinan dan Kebangsaan Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP) pada Rabu (6/10). Kegiatan tersebut mengangkat topik “Ketahanan Indonesia di Era Transformasi Global”.

Memulai paparannya, Agus memberikan gambaran ketahanan nasional seperti karet yang bentuknya akan menyesuaikan dengan tarikan yang dihadapi, tapi saat dilepas akan kembali ke bentuk semula. Hal tersebut sama seperti sifat ketahanan nasional yang akan menyesuaikan keadaan dengan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang dihadapi dan setelahnya akan kembali ke bentuk aslinya. “Ketahanan nasional harus bisa untuk mengatasi (ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan) dalam rangka pencapaian tujuan nasional,” kata Agus.

Lebih lanjut Agus menjelaskan bahwa kondisi ketahanan nasional dibangun melalui pendekatan pancagatra, yakni gatra ideologi, gatra politik, gatra ekonomi, gatra sosial budaya, dan gatra pertahanan keamanan. Ketahanan nasional merupakan akumulasi dari kondisi ketahanan gatra lainnya. Oleh karena itu, apabila salah satu kondisi gatra tidak baik, maka akan mempengaruhi kondisi ketahanan nasional. Dalam membangun kondisi ketahanan tiap-tiap gatra diperlukan disiplin ilmu masing-masing gatra yang ditransformasikan menjadi kebijakan publik. “Ketahanan nasional itu bukan merupakan sebuah disiplin ilmu tunggal, tetapi sebuah kondisi, sebuah outcome untuk mencapai tujuan nasional,” ujar Agus.

“Kalau kita bicara ketahanan maka kita bicara spesifik menghadapi kerentanan tertentu,” ujar Agus. Menurut Agus, masing-masing kerentanan memiliki ciri khas masing-masing, memerlukan respons spesifik, dan sulit untuk diperkirakan. Oleh karena itu, konsep ketahanan nasional bukanlah konsep yang mudah dan perlu dibangun melalui seluruh aspek dan lingkup kehidupan.

Berbicara mengenai Ketahanan Indonesia di Era Transformasi Global, Agus berpendapat bahwa pandemi Covid-19 merupakan sebuah contoh yang sangat jelas terhadap ketahanan. Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa virus tidak dapat langsung dibunuh, namun yang dapat dilakukan adalah meningkatkan daya tahan terhadap virus tersebut. Jika sudah terbangun ketahanan yang bagus dan kuat, maka virus dapat dikalahkan.

Menurut Agus, transformasi global pada dasarnya adalah perubahan terhadap cara hidup menuju kepada sistem baru. Oleh karena itu, pada masa transformasi global dibutuhkan kemampuan mengenali karakteristik lingkungan, kemampuan mengetahui ancaman yang akan dihadapi, dan kemampuan menyiapkan generasi baru kepemimpinan Indonesia. “Jadi dalam menghadapi tantangan yang dilahirkan oleh global transformation dalam konteks generasi baru kepemimpinan Indonesia, harus kita identifikasi dulu,” tutur Agus.

Kemudian Agus mengatakan bahwa harus ada identifikasi prioritas pembangunan Indonesia menuju negara maju. Prioritas tersebut di antaranya terbagi menjadi kesehatan yang dimulai dari janin, karena merupakan faktor untuk membangun SDM yang memiliki daya saing, kemudian identitas dan karakter bangsa, infrastruktur teknologi, sejarah, peradaban dan warisan budaya nusantara, serta terobosan dalam pendidikan.

Agus juga menyampaikan langkah-langkah yang harus diambil dalam menyiapkan pemimpin masa depan dalam program jangka panjang. Pertama, memberikan kesetaraan dan kesempatan seluas-luasnya bagi individu yang mempunyai aspirasi untuk menjadi pemimpin di berbagai lapangan dan aspek kehidupan terutama bagi individu yang tidak punya latar belakang keluarga atau dukungan organisasi yang bisa membantu merealisasikan aspirasi tersebut untuk menjadi pemimpin. Kedua, memberikan pembekalan kemampuan kepemimpinan bagi individu yang belum terpapar kesempatan belajar. Ketiga, membantu peserta untuk mencari aspirasi dan memperluas jaringan.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749