“Sains dan teknologi membuka potensi-potensi yang tidak terbayangkan mengenai masa depan manusia,” kata Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Dr. Robertus Robert juga turut hadir menjadi pembicara pada Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021), Kamis, (21/10). Mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”, JGF V/2021 diyakini akan membentuk objektivitas suatu sistem geopolitik bahwa peradaban dunia mampu membawa manfaat yang lebih baik. Dilaksanakan selama dua hari pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021, JGF V/2021 dilaksanakan secara hybrid.

Pada kesempatan tersebut, Robert menyatakan bahwa mayoritas negara-negara maju serta negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, telah mengalami penurunan struktur tenaga kerja secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan struktur tenaga kerja tersebut terjadi akibat hilangnya pekerjaan yang disebabkan oleh meluasnya inovasi dan teknologi. “Hilangnya pekerjaan-pekerjaan lama disertai dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja ahli yang tidak serta merta dapat dipenuhi oleh banyak masyarakat,” kata Robert.

Lebih lanjut Robert menjelaskan mengenai uraian Klaus Schwab yang menyebutkan bahwa pengambil keuntungan terbesar pada revolusi industri keempat adalah para pemodal, industriawan penyedia tenaga intelektual atau modal psikis: para inovator, para penemu, dan shareholder. Kondisi ini menegaskan adanya kesenjangan antara para pekerja dengan para inovator dan para pemilik kapital. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa meluasnya ketidaksetaraan sosial merupakan ancaman terbesar dari revolusi industri keempat. “Uraian Schwab ini membawa kita kembali berhadapan dengan persoalan lama, bahwa di dalam sains dan teknologi, masyarakat kita mengalami progres, tapi progresivitas itu mengambil tempat dalam tatanan yang timpang,” kata Robert.

Robert berpendapat bahwa segala kemajuan sains dan teknologi justru semakin menegaskan dimensi kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Begitu pula pada masa pandemi Covid-19, strata dan hierarki kesenjangan antarnegara makin terlihat dan menguat. Negara-negara dengan ekonomi yang lebih miskin, sumber daya keuangan yang terbatas, dan sistem kesehatan yang rapuh, sering terjebak dilema antara menyelamatkan nyawa atau menyelamatkan ekonomi.

Teknologi semakin berkembang dalam bentuk yang tidak dapat lagi diperkirakan arah dan ujungnya. Menurut Robert, hal tersebut memungkinkan terjadinya kemampuan refleksi historisitas manusia akan dilampaui oleh teknologi. Sehingga suatu saat, teknologi akan mengalami otonomisasi, terasing, dan lepas dari kendali manusia. Kemudian, sedikit demi sedikit, keyakinan manusia akan kemajuan industri akan sama dengan pesimisme manusia akan nasib bumi dan umat manusia di masa depan.

Pada kesempatan tersebut, Robert juga menyampaikan kenyataan bahwa manusia telah mengatasi kelangkaan pangan dan kelaparan. Namun, pada waktu yang bersamaan manusia menghadapi ancaman penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh obesitas. Data WHO menyebutkan setiap tahunnya tercatat 2,6 juta orang meninggal akibat obesitas. “Obesitas merupakan faktor penyebab kematian tertinggi kelima di dunia,” tutur Robert.


“Kita hidup di zaman tantangan yang luar biasa, tantangan yang mempertanyakan struktur dan kepentingan tatanan global yang ada,” kata Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston Prof. Dr. Robert W. Hefner saat menjadi pembicara dalam Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021), Kamis, (21/10). JGF V/2021 dihelat dengan mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”. Diharapkan JGF V/2021 dapat menjawab berbagai tantangan dan pertanyaan yang terkait dengan bagaimana perilaku manusia agar tidak punah pada saat adanya proses perubahan peradaban.

Pada kesempatan tersebut, Hefner menyatakan penilaiannya terhadap Indonesia bahwa Indonesia adalah negara yang luar biasa. Lebih lanjut Hefner menyampaikan bahwa ada beberapa hal penting yang dapat dipelajari di Indonesia, bukan tentang kecerdasan buatan, tetapi mengenai kecerdasan sosial dan kecerdasan nasional. Beberapa di antaranya adalah budaya, wawasan, dan sejarah yang unik. Oleh sebab itu, Hefner menilai Indonesia memiliki peran yang sangat positif dalam era globalisasi.

“Saya rasa Indonesia sebagai negara yang sangat luar biasa dan memiliki banyak kelebihan, sehingga tesis Huntington itu salah,” kata Hefner. Menurut Hefner, Indonesia adalah negara yang luar biasa, tetapi sering diabaikan oleh bangsanya sendiri. Hal tersebut dikarenakan manusia hidup di dunia yang rumit, di mana orang-orang memiliki pemikiran sendiri-sendiri mengenai peradaban, seperti Samuel Huntington.

Hefner menjelaskan bahwa dalam tesis Samuel Huntington yang berjudul Clash of Civilization, peradaban digambarkan tidak memiliki sinergi lintas peradaban. Huntington mengasumsikan bahwa peradaban berkembang secara terpisah dan selamanya ditentukan oleh satu set nilai. Selain itu, peradaban digambarkan saling berdiri berlawanan satu sama lain. “Sudah lama terjadi bahwa peradaban barat, muslim, India, dan China telah menghasilkan pencapaian dalam bidang sains, matematika, kemanusiaan, dan filosofi. Pencapaian tersebut membuat peradaban manusia menjadi lebih baik dengan sinergi lintas peradaban,” ujar Hefner.

Analis politik barat, analis kebijakan barat, dan beberapa organisasi HAM berasumsi bahwa pemisahan antara negara dan agama haruslah menjadi model pemerintahan semua negara di dunia. “Asumsi kebijakan ini keliru,” kata Hefner. Tidak harus ada pemisahan antara negara dan agama untuk demokrasi tetap berkembang, hal ini dibuktikan oleh Indonesia. Sistem pemerintahan yang dijalankan tidak memisahkan antara agama dan negara, namun justru bekerja dengan baik melalui Pancasila dan Kebhinekaan.

Menurut Hefner, Indonesia memberikan contoh kolaborasi yang tepat dalam sistem pluralisme. Agama tidak hanya berkontribusi, melainkan meningkatkan dan menguatkan demokrasi, kerakyatan, dan kebhinekaan. Kontribusi kedua untuk sinergi peradaban berkaitan dengan efek demonstrasi. Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Indonesia mampu menunjukkan bahwa demokrasi dan Islam dapat bergerak beriringan. Para cendekiawan muslim, pendidik, dan pemimpin politik juga sangat penting bagi keberhasilan peradaban manusia. “Indonesia tidak hanya mampu membuat demokrasi berfungsi, tetapi telah berbuat lebih banyak,” kata Hefner.

Hefner memandang demokrasi dapat berjalan lebih baik ketika dibangun melalui warisan sejarah dan budaya unik Indonesia, yaitu sopan santun. Hal inilah yang membuat Indonesia menjadi negara yang luar biasa. “Ini adalah pelajaran besar untuk seluruh dunia,” tutur Hefner.


Selain mendatangkan pembicara internasional yang berasal dari luar negeri, Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) juga mendatangkan pembicara dari dalam negeri. Salah satu pembicara yang berasal dari dalam negeri adalah Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Dalam Sesi Pleno 1 JGF V/2021 pada Kamis (21/10), Komaruddin menyambung pembahasan terkait hubungan antara agama dan negara yang disampaikan pembicara Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston Prof. Dr. Robert W. Hefner.

Menurut Komaruddin, keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan ikut bersumbangsih dalam membentuk masyarakat Indonesia yang toleran dan senang bergaul. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat tidak saling memperebutkan sumber daya alam sehingga yang muncul adalah seni keberagamaan. Sepaham dengan Hefner, Komaruddin berpendapat bahwa jika Indonesia terus berhasil mempertahankannya, maka Indonesia bisa menjadi model memberikan kontribusi besar kepada teori politik dan kepada dunia. Hal tersebut bisa terjadi jika Indonesia bisa terus mempertahankan keadaan kebudayaan lokal, agama, dan modernisme tumbuh bersama.

“Kalau ini berhasil, Indonesia menjadi satu model memberikan kontribusi besar kepada teori politik dan kepada dunia bahwa ada satu model di mana antara local culture, agama, dan modernism itu bisa tumbuh bersama, yaitu di Indonesia,” ujar Komaruddin.

Terkait dengan demokrasi, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menyampaikan dalam sesi paparannya bahwa tahun 2024 adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi dan menata ulang demokrasi reformasi Indonesia. Komaruddin menilai evaluasi yang penting menjadi perhatian adalah neo dinasti. Untuk membicarakan mengenai neo dinasti perlu ditinjau kembali bagaimana kondisi para pejabat dan tokoh publik masa pra-kemerdekaan.  “Ternyata reformasi ini telah melahirkan neo dinasti dan sumber korupsi karena biaya politik yang mahal,” kata Komaruddin.

Menurut Komaruddin, apabila permasalahan neo dinasti tidak diselesaikan maka akan berdampak pada konstitusi dan partai politik, bahkan sampai ke penggunaan dukungan massa untuk kepentingan politik. “Modal massa ini salah satu instrumennya adalah simbol-simbol emosi agama,” kata Komaruddin.  Penggunaan simbol agama ini berdampak pada pendangkalan dan pembusukan pada proses demokratisasi di Indonesia.

Selain permasalahan neo dinasti, tantangan lainnya bagi demokrasi Indonesia di masa depan adalah belum adanya sosok membanggakan bagi karakter milenial saat ini. Milenial saat ini tak lagi terikat kuat pada tradisinya contohnya bahasa. “Generasi saat ini tidak bisa bahasa daerah, tapi mereka juga sayangnya belum menemukan bangunan rumah Indonesia secara kokoh dan membanggakan,” kata Komaruddin. Oleh karena itu, Komaruddin memandang pemuda saat ini sulit mencari tokoh yang menginspirasi.  “Kita sulit mencari tokoh-tokoh yang menginspirasi dan kalau kita bicara Indonesia. Sekali-kali kita perlu membaca Indonesia dari pinggiran, dari Papua, dari perbatasan, maka wajah Indonesia akan lahir,” lanjut Komaruddin.

 


Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”. JGF V/2021 adalah kegiatan tahunan yang dilaksanakan Lemhannas RI. Mengangkat tema tersebut, merupakan salah satu bentuk Lemhannas RI merespons dinamika geopolitik dan menyikapi tantangan yang dihadapi dunia dengan kompleksitas yang begitu meningkat. Pembicara yang dihadirkan berskala internasional, salah satunya adalah Antropolog dan Budayawan dari Prancis Dr. Jean Couteau.

Pada kesempatan tersebut, Jean menilai ada ancaman pada masa depan yang disebabkan oleh transformasi. Beberapa transformasi berjangka panjang, terutama yang berhubungan dengan manusia dan alam, ketidakseimbangan demografis, pergeseran distribusi kekuatan ekonomi dunia antara kutub raksasa baru di China dan kutub kapitalistik dinamis baru yang berkembang di luar kekuasaan barat. “Daripada fokus pada transformasi itu sendiri, saya memilih untuk menilai risiko masa depan yang disebabkan oleh transformasi dengan berfokus pada ketahanan wilayah geografis dan budaya yang dipilih di dunia,” kata Jean.

Menurut Jean, negara barat telah lama berhasil mempertahankan keadaan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi melalui tiga cara. Tiga cara itu adalah inovasi teknologi, perluasan pasar yang konstan melalui ekspor modal, dan akses berkelanjutan ke tenaga kerja murah melalui imigrasi atau delokalisasi. Kebijakan-kebijakan tersebut membawa negara-negara barat berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tepat, menjaga harga barang-barang konsumen tetap rendah, dan mempertahankan standar hidup yang tinggi. Namun, kontradiksi yang merusak kebijakan ini telah muncul, yaitu transformasi.

Secara budaya, sebagian negara-negara barat telah melepaskan sikap positivistik. Namun ketika kepercayaan akan kemajuan menurun, maka skeptisisme spiritual semakin luas sehingga harapan ideologis berjalan ke segala arah. Secara politis, hal ini mengkhawatirkan dan dapat menyebabkan krisis yang tidak terduga. Menurut Jean, perkembangan ini memiliki konsekuensi politik yang mendalam terhadap impor tenaga kerja asing dan melemahnya serikat pekerja, sehingga menghancurkan kekuatan politik kelas pekerja. “Ekspor modal telah menciptakan pesaing ekonomi dan strategis yang secara drastis mengurangi daya tawar serikat pekerja,” kata Jean.

Di sisi lain, China berhasil dengan sistem ekonomi pasar yang dikelola dengan menciptakan sistem “masyarakat terkelola” yang lengkap, yakni penggabungan ideologi komunis dengan politik. Hal ini membutuhkan kendali yang ketat atas media moderen dengan menggunakan kecerdasan buatan dan menekankan batasan kebebasan berekspresi. Tingkat “otonomi orang” yang dicapai di bawah sistem Tiongkok dapat membebaskan China dari kontradiksi sosial dan gangguan politik yang menghantui negara-negara barat. Hal ini dikarenakan budaya Tiongkok selalu mengutamakan kebaikan bersama di atas individu. Komunisme yang bersandar pada analisis radikal barat tentang realitas ekonomi dan sosial, tidak akan berhasil tanpa latar belakang budaya tersebut.

Dalam jangka panjang, Jean melihat segalanya akan menjadi lebih sensitif. Tingkat otonomi orang yang disebabkan oleh pembangunan, dapat membuka kontradiksi masyarakat China yang mampu membawa gangguan dan pergolakan politik dengan konsekuensi internasional yang dramatis.

Jean juga menyatakan bahwa dunia sedang menuju turbulensi dan krisis iklim sedang berlangsung. Di beberapa kalangan, kesadaran global sedang terbangun seputar isu ekologi dan pemanasan global. Dalam strata yang kurang berpendidikan, ketegangan tentang identitas nasional dan identitas agama mungkin meningkat. “Dengan demikian, dunia mungkin berada di persimpangan jalan antara pencerahan dan kegelapan,” kata Jean. Oleh sebab itu, Indonesia harus tetap berada di luar pertikaian ekonomi dan budaya yang terjadi di Kawasan Asia yang lebih luas maupun yang sedang dilakukan. Jean menyarankan Indonesia perlu mewaspadai perubahan demografis di wilayah multi agama. “Untuk saat ini Indonesia belum keluar dari jalur,” kata Jean.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749