CEO and Chairman of BR Strategic, Seattle, Amerika Serikat, Mr. Rudy Breighton, M.B.A., M. Sc. menjadi salah satu pembicara dalam sesi pertama Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021), Kamis, (21/10). Pada kesempatan tersebut, Rudy menyampaikan bahwa saat ini kekuatan pemrosesan komputer terbukti melebihi kecepatan kekuatan pemrosesan otak manusia. Komputer tercepat saat ini yang bernama Fugaku dari Jepang memiliki 7,6 juta cores atau inti dan kecepatan pemrosesan data 442 peta flops dan 87 miliar transistor.

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan berdampak pesat pada perkembangan budaya secara global. Breighton menuturkan bahwa kecepatan pemrosesan pada kecerdasan buatan lebih baik dari otak manusia. Di sisi lain, pernyataan yang menyebutkan bahwa kemampuan kecerdasan buatan dapat sepenuhnya menggantikan otak manusia masih menjadi perdebatan, karena GIGO atau Garbage in Garbage out.

Breighton menyatakan bahwa saat ini sudah terdapat human exoskeleton yang digunakan oleh militer Amerika Serikat. Breighton menjelaskan bahwa seorang prajurit diperkirakan dapat membawa 22 kg beban. Namun pada kenyataannya, mereka membawa sekitar 63 kg beban. Sementara human exoskeleton yang disebut juga dengan HULC (Human Unversal Load Carrier) dapat mengangkat beban hingga 90 kg dan membantu prajurit untuk berlari dengan kecepatan 11 km/jam hingga 16 km/ jam dengan durasi lama.

Dalam kesempatan tersebut, Breighton menyebutkan bahwa sebuah hal yang tidak mustahil bagi kecerdasan buatan untuk bekerja dengan se-efisien otak manusia, walaupun tidak dapat bekerja secepat otak manusia. Kecerdasan buatan memiliki kecepatan pemrosesan sepuluh kali lebih cepat dari otak manusia.

Terkait teknologi, Breighton menyarankan bangsa Indonesia harus menciptakan teknologi secara jangka panjang, tidak terpengaruh politik. “Tidak hanya lima atau 10 tahun. Kita harus menciptakan kebijakan jangka panjang yang tidak dipengaruhi oleh partai politik yang sedang menjabat,” saran Breighton. Menurut Breighton, hubungan antara teknologi, masa depan budaya, dengan geopolitik sangat berkaitan. Tidak lupa Breighton menyampaikan bahwa penting bagi berbagai negara untuk mempersiapkan sumber daya manusia.

“Hal paling penting, yaitu infrastruktur untuk mendukung kebijakan,” kata Breighton. Alasan dibutuhkannya infrastruktur tersebut adalah karena negara membutuhkan sistem data yang baik. “Jika kita tidak memiliki sistem data yang baik, kita akan menghasilkan data yang tidak layak. Garbage in Garbage out. Kita harus berinvestasi pada infrastruktur dan pengelolaan sumber daya manusia,” jelas Breighton.

Pendidikan dalam bidang teknologi, teknik, matematika dan ilmu komputer dinilai sangat penting. Jika tidak memiliki orang-orang yang pandai, maka tidak akan memiliki orang yang mahir dalam memprogram komputer. “Investasi dalam bidang infrastruktur dapat menghasilkan sistem data yang baik. Sistem data yang baik tersebut akan diolah oleh sumber daya manusia yang baik untuk mengolah data tersebut, yang kemudian dapat mendorong terciptanya alat yang dapat membantu kerja manusia” ujar Breighton.

Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”. JGF V/2021 merupakan salah satu bentuk Lemhannas RI merespons dinamika geopolitik dan menyikapi tantangan yang dihadapi dunia dengan kompleksitas yang begitu meningkat. Diharapkan JGF V/2021 dapat menjawab berbagai tantangan dan pertanyaan yang terkait dengan perilaku manusia pada saat proses perubahan peradaban.


Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) mengadakan Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021. JGF V Tahun 2021 mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads” dengan pelaksanaan secara hybrid.

Pada hari pertama hadir Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Ph.D memberikan keynote address serta enam narasumber lainnya, yakni Mr. Rudy Breighton, M.B.A., M. Sc., CEO and Chairman of BR Strategic Seattle, Amerika Serikat; Prof. Dr. Robert W. Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston; Dr. Jean Couteau seorang Antropolog dan Budayawan dari Prancis; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; Dr. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; dan dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS., atau lebih dikenal dengan dr. Ryu Hasan, seorang Pakar Neurosains dari Indonesia.

Kemudian pada hari kedua hadir empat pembicara, yakni Dr. Gita Wirjawan, yakni Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia; Prof. Donald K. Emmerson, Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University; Baskara Tulus Wardaya, Ph.D., seorang Sejarawan Indonesia, dan Dimas Oky Nugroho, Ph.D., seorang Cendekiawan Sosial-Politik dari Indonesia.

Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo saat membuka JGF V/2021 mengingatkan perkembangan peradaban yang terjadi seharusnya tidak menghancurkan budaya dari peradaban atau bangsa mana pun. Meskipun akses budaya dari peradaban lain terbuka luas, tetapi suatu bangsa harus mampu membangun dan mempertahankan budaya yang telah dimiliki dari masa lalu. “Pemikiran-pemikiran mainstream juga dapat berujung pada musnahnya peradaban. Hal ini memerlukan adanya pengelolaan yang baik terhadap budaya bangsa dan menjadi paradoks bahwa suatu bangsa memiliki budaya yang kaya di masa lalu tetapi kemudian peradaban bisa hancur karena adanya budaya-budaya atau nilai-nilai yang dibawa oleh budaya atau peradaban lain,” kata Agus.

Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa saat ini masyarakat sedang berada di persimpangan jalan, karena dihadapkan antara nilai-nilai kemanusiaan dan manfaat dari teknologi. Peradaban yang terjadi saat ini membuat manusia lebih menikmati hak-hak politik maupun manfaat sosial. Namun, juga membawa ketidakstabilan sosial maupun ketidaksetaraan yang menimbulkan kehancuran. “Peradaban akan berubah menjadi lebih maju dengan adanya teknologi, ekonomi, idealisme, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, teknologi juga dapat menghilangkan moralitas manusia sedikit demi sedikit,” kata Agus.

Agus juga menyampaikan bahwa pemikiran post modernism telah terevolusi dan merevolusi pemikiran manusia. Ini membuat manusia menjadi berpikir secara lebih rasional dan pragmatis. Realita palsu bisa juga dibuat atau dipancing oleh teknologi yang membantu orang lebih memiliki imajinasi yang lebih kuat dengan adanya penggunaan teknologi artifisial. "Jadi, kemajuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi punya dampak yang besar terhadap peradaban manusia," katanya.

Oleh karena itu, menurut Agus, teknologi tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah peradaban, tetapi menjadi alat untuk kemajuan manusia dan kemanusiaan. Sehingga, hidup manusia akan terbantu oleh kemajuan teknologi. Pengembangan teknologi akan membawa banyak konsekuensi negatif apabila tidak dikelola dengan baik. Selain perkembangan atau kemajuan teknologi, faktor lainnya seperti pandemi, politik, kesenjangan sosial, dan kekurangan sumber daya juga turut mempengaruhi masa depan manusia.

Jakarta Geopolitical Forum (JGF) merupakan tempat para pakar geopolitik dunia dalam menelaah situasi kawasan di dunia. JGF merupakan salah satu bentuk Lemhannas RI merespons dinamika geopolitik dan menyikapi tantangan yang dihadapi dunia dengan kompleksitas yang begitu meningkat. “Kita harus menjawab berbagai tantangan dan pertanyaan yang terkait dengan bagaimana perilaku kita agar tidak punah pada saat adanya proses perubahan peradaban,” kata Agus. Agus meyakini JGF V Tahun 2021 akan membentuk objektivitas suatu sistem geopolitik bahwa peradaban dunia mampu membawa manfaat yang lebih baik.


Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Ph.D. menghadiri dan memberikan keynote address pada Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) yang diselenggarakan Lemhannas RI pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021. JGF V/2021 mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”. Bambang yang hadir secara virtual menyampaikan bahwa Ia optimis Indonesia bisa memasuki masyarakat 5.0 seperti yang dialami Jepang saat ini. "Ada lebih dari 1800 startup yang kita punya, beberapa di antaranya menjadi unicorn, decacorn. Kita juga punya enterpreneur baru. Itu sebuah kesempatan," kata Bambang.

Jepang merupakan negara pertama yang memasuki Masyarakat 5.0. Sementara itu, Indonesia saat ini baru memasuki Masyarakat 4.0. Menurut Bambang, Indonesia memiliki kesempatan menjadi Masyarakat 5.0 karena mempunyai tiga sektor potensial yakni agrikultur, manufaktur dan ICT (information, communication and technology). Meski begitu Indonesia juga memiliki tantangan lain, yakni populasi yang besar, SDM, infrastruktur digital, integrated data base (penta helix).  "Semoga Indonesia dapat mencapai Masyarakat 5.0 seperti Jepang, dengan adanya beberapa teknologi sebagai penunjangnya," ujar Bambang.

Lebih lanjut Bambang menyampaikan bahwa teknologi penunjang tersebut juga berhubungan dengan kesenjangan. Teknologi bisa mempersempit jurang kesenjangan di masyarakat, walaupun juga bisa memperdalam jurang kesenjangan. Contohnya dalam mempersempit jurang kesenjangan adalah masyarakat di pelosok daerah bisa memanfaatkan teknologi untuk menjual dan mempromosikan produk masing-masing di berbagai marketplace. Apalagi kini Indonesia memiliki banyak start up yang beberapa di antaranya sudah menjadi unicorn dan decacorn.

Dengan Masyarakat 5.0, diharapkan Indonesia bisa menjadi salah satu negara dengan pendapatan perkapita yang tinggi. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan beberapa kemajuan teknologi utama seperti Internet of Things, kecerdasan buatan, robotic, dan pemanfaatan data. “Hal ini untuk mencapai beberapa kunci pertumbuhan ekonomi, seperti meningkatnya kualitas SDM, tumbuhnya produktivitas produksi, tumbuhnya investasi, dan banyaknya lapangan pekerjaan,” kata Bambang.

Lebih lanjut Bambang juga menjelaskan mengenai pentingnya keberadaan big data saat ini. “Saat ini orang-orang menilai big data sama seperti emas, di mana mereka yang menguasai dan memilikinya bisa berpotensi menjadi kaya raya,” ujar Bambang. Namun, untuk membuat big data semakin berharga tetap diperlukan kemampuan pengolahan yang tepat yang kembali lagi membutuhkan SDM berkualitas.


“Untuk menanamkan nilai-nilai dan wawasan kebangsaan, tidak bisa hanya diserahkan kepada Lemhannas RI saja,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Hal tersebut disampaikan Agus saat memberikan pembekalan pada kegiatan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan kepada Pimpinan dan Manajemen PT Summarecon Agung Tbk pada Kamis, (21/10).

Kemudian Agus menyampaikan bahwa Lemhannas RI tidak memiliki kewenangan untuk mengimplementasikan materi-materi pembekalan atau pun hasil kajian dalam implementasi operasional kepada lembaga-lembaga lainnya. Hal tersebut harus melibatkan peran lembaga-lembaga fungsional dalam peran dan kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Harus dikeroyok oleh semua lembaga fungsional untuk mengimplementasikan, menegakkan konsep secara menyeluruh,” tutur Agus. Menurut Agus, penanaman nilai-nilai dan wawasan kebangsaan harus diberikan sejak sedini mungkin melalui berbagai lini mulai dari keluarga, lingkungan, sampai sekolah atau tempat kerja dengan konsep dan gagasan yang tepat guna.

Lebih lanjut, Agus menyampaikan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menutup kesempatan keterpaparan karyawan atas paham-paham yang berdampak negatif. Pertama, dimulai dari proses rekrutmen dengan melihat latar belakang calon karyawan seperti pengalaman organisasi dan tokoh-tokoh yang memimpin organisasi tersebut serta peran aktif calon karyawan pada berbagai kegiatan yang pernah diikuti. Kedua, setelah menjadi karyawan maka dapat diberikan pembekalan dengan mengundang narasumber yang tepat. ”Pembicara yang positif, yang bicara kepentingan bangsa dan negara,” ujar Agus. Ketiga, memelihara komunikasi yang disertai dengan tidak adanya kesempatan penyebaran paham-paham yang berdampak negatif. Keempat, berkoordinasi dengan pihak-pihak atau lembaga yang berwenang.

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menjelaskan mengenai intoleransi dan radikalisme. Agus berpendapat bahwa intoleransi adalah ketidakmampuan untuk melihat sikap yang berbeda dan memaksakan kehendak bahwa semua hal harus mengikuti cara yang dikehendaki satu pihak dan menganggap cara sendiri yang paling benar. Menurut Agus, jika intoleransi diteruskan dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka akan menimbulkan kekerasan dalam memaksakan cara yang dikehendaki pihak tersebut.

Selanjutnya Agus menjelaskan bahwa sebenarnya kata radikal bersifat netral, tidak hanya negatif tapi bisa menjadi positif. Namun, jika kata radikal yang dilakukan adalah pemaksaan kepada arah yang sebetulnya tidak mempunyai kewajiban dan biasanya menggunakan kekerasan, maka biasanya radikal tersebut menjadi pintu masuk kepada terorisme dan radikal tersebut merupakan pintu masuk untuk hal-hal negatif. “Intoleransi kemudian radikal kemudian terorisme itu merupakan satu kesinambungan,” tutur Agus.

Oleh karena itu, Agus menyampaikan bahwa intoleransi dan radikalisme merupakan masalah bersama. “Ini adalah permasalahan kita bersama, bukan hanya permasalahan PT Summarecon Agung Tbk, bukan hanya permasalahan Lemhannas RI, tetapi adalah persoalan masyarakat, persoalan kita bersama,” ujar Agus. Sehingga Agus melihat bahwa baik adanya kegiatan-kegiatan yang mengingatkan kepada nilai-nilai dan wawasan kebangsaan dilaksanakan secara rutin untuk mengingatkan para karyawan.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749