Lemhannas RI Bekerja Sama dengan CSIS dan Kompas Luncurkan Buku Indonesia Menuju 2045

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) bekerja sama dengan Center For Strategic and International Studies (CSIS) dan Kompas meluncurkan Buku Indonesia Menuju 2045 pada Rabu (6/10). Hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan manusia dan Kebudayaan RI, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P memberikan keynote speech, serta 3 pembahas, yakni Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte, Penulis Nugroho Dewanto, dan Direktur Komunikasi Korporat Kompas Gramedia Glory Oyong. Kolaborasi ini merupakan contoh kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media dalam menjawab bersama tantangan bangsa.

“Revolusi industri 4.0 telah memudahkan kehidupan manusia, tapi revolusi industri 4.0 menimbulkan pula “disrupsi” di berbagai sektor,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Menurut Agus, berbagai sektor mulai dari pendidikan, kesehatan, bisnis, sampai militer, mesti sigap merespon situasi tersebut agar tak gagap menghadapi perubahan yang sangat drastis. Atas dasar tersebut, Lemhannas RI memprakarsai penulisan Buku Indonesia menuju 2045.

Dalam tempo 24 tahun menuju 100 tahun usianya, Indonesia harus belajar bagaimana negara-negara maju berhasil membangun Sumber Daya Manusia yang unggul. Agus berpendapat bahwa generasi muda memiliki fisik yang bagus dan kapasitas otak yang besar. Karakter generasi muda kuat dengan ciri-ciri memiliki rasa ingin tahu yang besar, percaya diri, tidak minder tapi juga tidak arogan, berani ambil risiko, berpikiran kritis dan kreatif, berani mempelajari hal-hal baru, mampu beropini dengan tajam, dan persuasif baik dalam berbicara maupun menulis.

“Studi yang dilakukan tim penulis mendapati bahwa pondasi kemajuan negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, dan sekarang China adalah pembenahan besar-besaran di bidang kesehatan dan pendidikan,” kata Agus. Dalam pembenahan tersebut, dipastikan generasi muda mendapat asupan gizi yang baik sejak masih menjadi janin, mendapat perawatan kesehatan yang bagus, dan memperoleh pendidikan yang bermutu. Secara paralel negara-negara tersebut juga melakukan pembangunan infrastruktur fisik secara besar-besaran, termasuk infrastruktur teknologi yang diimbangi dengan memperkuat penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi.

Menurut Agus, melalui metode serupa Indonesia semestinya dapat melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan berbudaya. Dengan begitu, Indonesia dapat menikmati bonus demografi. Sejalan dengan hal tersebut, SDM Indonesia yang unggul akan mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan, keadilan sosial dan kepuasan bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, Agus juga menyampaikan bahwa SDM yang unggul akan membentuk ketahanan nasional yang kuat dan merekatkan NKRI secara utuh. “Bangsa Indonesia akan menjadi kekuatan luar biasa yang berdiri sejajar dengan negara maju lain dan dihormati dalam percaturan global,” tutur Agus.

“Indonesia digadang akan mencapai masa keemasan pada tahun 2045 tepat saat usia kemerdekaan mencapai 100 tahun,” kata Menko PMK Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P. Guna mempersiapkan SDM yang unggul dan berkualitas agar dapat menjadi pemimpin negara di era tersebut, pemerintah kini fokus pada pembangunan SDM. Lebih lanjut, Muhadjir menyampaikan bahwa problem besar yang harus dihadapi di Indonesia adalah bagaimana menyiapkan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya yang memberikan kesempatan SDM usia produktif bisa bekerja secara produktif. “Usia produktif belum tentu bisa menghasilkan dan berproduksi kalau dia tidak bisa bekerja yang compatible dengan keahlian dan kecakapannya,” ujar Muhadjir.

Sejalan dengan apa yang disampaikan Agus Widjojo, Muhadjir menyampaikan bahwa Indonesia akan memasuki era bonus demografi. “Urusan kita tidak sederhana, urusan kita sangat berat kalau kita bicara tentang pembangunan SDM untuk menuju ke 2045,” kata Muhadjir. Oleh karena itu, Muhadjir menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa bersantai, harus bekerja keras, dan mencari peluang sebanyak-banyaknya dalam menciptakan lapangan kerja potensial yang seluas-luasnya. Namun, tidak mudah dalam mewujudkan hal tersebut, terlebih saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, menurut Muhadjir apa yang saat ini dilakukan sudah tepat, yakni menangani sejak masalah awal sampai akhir. “Kita sudah berada di track yang benar, dari stunting sudah kita tangani, sampai tidak drop out sudah kita atasi, sampai menyiapkan masuk dunia kerja sudah kita lakukan,” ujar Muhadjir. Namun, tetap tidak boleh lengah agar nantinya SDM pada usia produktif dapat bekerja secara produktif juga. Hal tersebut tentu saja bukan urusan dari satu pihak, tapi harus menjadi urusan semua pihak, termasuk Lemhannas RI. “Termasuk menjadi hal yang harus dipikirkan Lemhannas RI yang menjadi lembaga yang mempunyai tugas pokok melakukan pemikiran-pemikiran strategis,” tutur Muhadjir. Dalam kesempatan tersebut, Muhadjir menyampaikan harapannya agar semakin tumbuh kesadaran berbagai pihak bahwa masih sangat besar dan sangat berat beban Indonesia.

“Disrupsi akan terus terjadi. Apapun resikonya harus kita hadapi dan tentu saja kita harus terus siap untuk beradaptasi dengan keadaan-keadaan yang akan terjadi. Masih banyak yang harus dipikirkan, masih banyak yang harus direnungkan, masih banyak yang harus dirancang bagaimana untuk menuju SDM Tahun 2045,” tutup Muhadjir.

Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte yang hadir menjadi salah satu pembahas menyampaikan Indonesia perlu belajar dari Korea Selatan dalam membangun industri Korean Pop (K-Pop) di negara tersebut. “Korsel saat ini dipuja-puja di seluruh dunia karena industrinya. K-Pop tumbuh karena ada inovasi dan teknologi yang dikembangkan, bahkan saat ini produk Korsel seperti kosmetik lebih baik dari produk Eropa dan Amerika Serikat,” kata Philips. Korea Selatan tercatat sebagai negara maju yang berinvestasi besar pada penelitian, yakni sebanyak 4,1% dari total PDB, sedangkan Indonesia hanya 0,1% dari PDB.

Tidak hanya anggaran yang timpang, namun jumlah peneliti dalam satu juta penduduk Korea Selatan dan Indonesia juga memiliki perbedaan yang signifikan. Setiap satu juta penduduk Korea Selatan ada 6800 peneliti, sedangkan Indonesia hanya 89 peneliti. “Bila Indonesia mau berkompetisi dengan negara-negara maju, aspek penelitian dan investasi pada penelitian harus perhatikan, tidak hanya penelitian ekonomi, tapi juga sosial dan budaya untuk mencapai kebijakan yang lebih baik,” lanjut Philips.

Di Korea Selatan, pihak swasta juga mengambil peran dengan melakukan investasi. “Ini pelajaran, keterlibatan pihak non negara dalam pengembangan inovasi dan teknologi. Negara tidak mengurusi semua. Perlu kontribusi pihak dari luar negara,” kata Philips. Dari keadaan tersebut, dapat dilihat bahwa untuk menjadi negara yang unggul pada 2045, Indonesia perlu mengembangkan ekonomi berbasis inovasi. Ini yang dilakukan oleh negara-negara maju lainya, melakukan inovasi dan teknologi. “Tapi juga jangan terjebak oleh long term conflict yang menghabiskan anggaran begitu besar, sebagaimana pada negara AS,” kata Philips.

Menurut Philips, untuk melihat kondisi Indonesia pada tahun 2045, Indonesia harus mengukur relatif terhadap kondisi negara lain. Misalnya seperti Negara-negara Asia saat ini yang secara nyata sedang mengalami perubahan geo-ekonomi. “Seperti penelitian yang pernah dirilis oleh Bappenas pernah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu demografi Indonesia, kondisi penduduk di wilayah urban, adanya potensi kompetisi sengit, tidak hanya ekonomi, tapi juga geopolitik,” tutur Philips.

“Jika dibandingkan dengan negara-negara Korea, Jepang, China, bahkan juga Vietnam, kita masih jauh lebih baik, karena waktu mereka mulai melakukan pembangunan, kondisinya lebih berantakan dari kita,” kata Penulis Nugroho Dewanto. Lebih lanjut Nugroho menyampaikan bahwa pembenahan infrastruktur di Indonesia sampai saat ini masih dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam menyongsong Indonesia Maju 2045. Namun, perlu ada usaha dalam peningkatan SDM pada bidang pendidikan dan kesehatan. Meski demikian, Indonesia optimis menjadi negara maju pada 2045.

Menurut Nugroho, kondisi Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan kondisi ekonomi. Sebelumnya Indonesia sempat masuk ke level pendapatan menengah ke atas, namun karena pandemi Covid-19, kembali turun level menjadi pendapatan menengah ke bawah. Tidak hanya kondisi ekonomi yang mengalami penurunan, namun kesehatan generasi emas Indonesia juga masih perlu dibenahi. Sekitar 54% angkatan kerja di Indonesia terindikasi menderita stunting, yang tersebar di sektor kerja swasta, birokrasi sipil, kepolisian, dan kemiliteran. Kondisi stunting ini sangat memprihatinkan dan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kualitas SDM di Indonesia, terutama pada usia produktif.

Oleh sebab itu, Nugroho menyampaikan ada tiga pondasi yang dimiliki negara maju untuk membenahi masalah tersebut, yaitu investasi di bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan saat bersamaan membangun infrastruktur secara massive. Selain itu, juga melakukan investasi pada riset di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).

Pada kesempatan tersebut, Direktur Komunikasi Korporat Kompas Gramedia Glory Oyong menyampaikan data penelitian ahli dari Universitas of Washington yang menyebutkan bahwa dominasi kecerdasan yang diturunkan kepada anak berasal dari ibu. Hal ini disebabkan kecerdasan terletak di kromosom X dan perempuan memiliki dua kromosom X. “Meski tidak semua, tentu ada lagi pengaruh lingkungan dan lain sebagainya,” kata Glory.

Lebih lanjut Glory menyampaikan mengenai seribu hari pertama yang merupakan masa keemasan yang sangat penting. Dalam masa keemasan tersebut, tidak hanya kesehatan bayi atau balita saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga gizi para calon ibu. Oleh karena itu, menurut Glory perempuan mempunyai peranan penting dalam melahirkan SDM yang andal. Selain gizi yang baik, generasi emas juga akan lahir dari perempuan yang diberi kesetaraan dalam akses pendidikan, akses kesehatan, dan juga akses atau kesempatan untuk membesarkan anak-anaknya. Apabila hal tersebut tidak diberikan, maka generasi emas tidak akan terbentuk secara maksimal.

Sejalan dengan hal tersebut, salah satu syarat bonus demografi adalah sumber daya manusia yang mampu berinovasi dan berdaya saing. Akan tetapi, apabila kaum ibu, perempuan, dan generasi emas tidak mendapatkan kesetaraan dalam akses kesehatan dan pendidikan, maka puncak usia produktif tersebut justru akan menjadi beban demografi bagi Indonesia. Glory berharap berbagai stakeholders maupun pemerintah berperan aktif dalam membuka kesempatan kesetaraan bagi perempuan. Sehingga, generasi emas yang berkualitas dapat tercapai dan menjadi bonus demografi dalam memajukan Indonesia pada 2045.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749