Hari kedua pelaksanaan Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) diisi oleh empat narasumber, salah satu diantaranya adalah Cendekiawan sosial-politik Dimas Oky Nugroho. Dalam JGF V/2021 yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”, Dimas menyampaikan bahwa dalam perspektif politik, momen pandemi yang terjadi ditekankan transformasi digital dan lanskap sosial ekonomi telah menjadi kesempatan untuk Indonesia. Pandemi Covid-19 memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk merumuskan ulang dan memformulasikan strategi kebangsaannya dalam mengantisipasi dan beradaptasi terhadap himpitan sekaligus peluang di era baru. “Saya berpendapat bahwa faktor pandemi Covid-19 telah menjadi variabel tidak terduga by nature, namun by force telah membuka peluang,” kata Dimas.

Dimas menilai pandemi Covid-19 juga memaksa bangsa Indonesia dengan segala problem sosio-historisnya untuk melakukan kompromi, rekonsiliasi, dan konsolidasi politik pada tataran suprastruktur negara. Selain itu, sekaligus pembenahan pada tataran infrastruktur pemerintahan dan pelayanan publik. Pada situasi krisis seperti di tengah pandemi saat ini, dibutuhkan komitmen soliditas dan gotong royong antara negara dan rakyat. Hal ini dilakukan dengan cara membangun kebersamaan kebangsaan secara inklusif dan perkuat tata kelola pemerintahan yang responsif dalam menghadapi musuh yang sama, yaitu virus Covid-19 dan ancaman ketimpangan sosial.

“Keberanian dan inovasi justru dibutuhkan pada saat kritis menghadapi pandemi dan kelesuan ekonomi,” kata Dimas. Menurut Dimas, kunci untuk menyongsong adaptasi kebiasaan baru adalah hadirnya sebuah kesadaran dan budaya politik baru dalam masyarakat. Sehingga, dibutuhkan kerja sama dan kerja keras seluruh warga negara, kelompok masyarakat, serta institusi negara dari pusat sampai daerah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan rekonsiliasi berbagai pertentangan ‘ideologi aliran politik’ melalui strategi sosialisasi dan pendidikan politik yang tepat dan relevan, memperkuat peran dan fungsi negara dalam hal pelayanan publik, serta menekan ego sektoral antar instansi, termasuk antar kementerian atau pemerintah daerah.

Menurut Dimas, pandemi Covid-19 telah membawa berbagai implikasi yang masif di sektor kesehatan, teknologi dan ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, bahkan sektor pemerintahan dan sosial politik.  “Skalanya tak hanya kita rasakan di Indonesia. Virus dan dampak Covid-19 secara global telah mengguncang, menghantam, dan menimbulkan berbagai kerentanan di berbagai entitas negara serta ekonomi politik dunia,” kata Dimas.

Transformasi digital dan pandemi ini, lanjut Dimas, juga membawa berbagai konsekuensi peradaban yang harus diantisipasi secara sosial politik, ekonomi dan budaya. Namun, Indonesia beruntung karena memiliki jumlah anak-anak milenial yang besar. Anak milenial memiliki orientasi kinerja, haus akan ilmu pengetahuan, keinginan untuk maju dan berkembang. Secara sosial, anak milenial peduli untuk memajukan komunitasnya dan secara karakteristik memiliki kemampuan rekonsiliatif untuk berkolaborasi. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat khususnya anak milenial harus ditingkatkan. Sehingga, negara akan mampu membangun sebuah formula politik yang lebih kondusif untuk mewujudkan suatu integrasi nasional, pembangunan sosial ekonomi dan kelembagaan politik, serta demokrasi yang berkelanjutan.

“Saya menganggap generasi muda Indonesia saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyegarkan dan meningkatkan kualitas politik dan persatuan ideologis kita secara demokratis dan dengan melakukan itu juga untuk meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi kita dalam konteks saat ini,” kata Dimas.

Lebih lanjut Dimas menjelaskan bahwa setiap negara memiliki banyak alat untuk membangun negara. Namun, dalam konteks Indonesia seluruh pihak harus menyebutnya sebagai kolaborasi. Diperlukan pendekatan kolaborasi antara persuasi dan paksaan, tetapi pertama-tama negara dan masyarakat harus memiliki kepercayaan satu sama lain. “Kita membutuhkan perspektif atau pendekatan yang relevan untuk memperkuat formula politik, untuk menyatukan polarisasi Indonesia dengan menggunakan generasi baru. Pandemi ini adalah momentum terbaik untuk menemukan dan menerapkan formula politik baru tersebut,” ujar Dimas.


Sejarawan Indonesia Baskara Tulus Wardaya turut menjadi salah satu narasumber pada penyelenggaraan hari kedua Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) pada Jumat, 22 Oktober 2021. “Ada kemungkinan bahwa karena kemajuan teknologi ciptaannya, manusia akan menyongsong kehancuran personal maupun kolektifnya sendiri,” kata Baskara pada JGF V/2021 mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”.

Lebih lanjut, Baskara menyampaikan bahwa teknologi bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, kemajuan teknologi telah membantu manusia dalam mengurangi ancaman kelaparan, menghadapi wabah penyakit, serta memperkecil kemungkinan bahaya perang global. Namun di sisi lain, perkembangan teknologi yang nyaris tidak terbendung telah membuka pintu ketidakpastian masa depan manusia. Baskara berpendapat bahwa di masa mendatang manusia akan semakin kehilangan jati diri dan menjadi semakin relatif bagi jejaring global yang dikuasai oleh para penguasa dan pengelola teknologi.

Menurut Baskara, untuk menanggulangi hilangnya eksistensi individu maupun hancurnya manusia secara kolektif, sejumlah langkah praktis perlu segera diambil.  Dalam ruang lingkup sosial-ekonomi-politik, semua pihak perlu diajak semakin berani mengangkat kembali berbagai bentuk kearifan lokal dan tradisional yang mengajarkan penghormatan kepada alam. "Komunitas-komunitas adat yang biasanya kental dengan pengalaman menjaga lingkungan maupun dalam menyikapi modernitas (termasuk teknologi), perlu terus diajak dialog dan berbagi pengalaman serta pengetahuan kepada masyarakat luas," kata Baskara.

Baskara juga merekomendasikan dalam dunia pendidikan generasi muda, perlu segera ditambahkan materi belajar yang mengajarkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lokal maupun universal. Artinya, kepada para siswa perlu ditawarkan materi belajar berisi pentingnya sikap-sikap yang melampaui sekat-sekat primordialitas serta sikap-sikap lain yang bisa mendorong para peserta-didik untuk berani ikut memikirkan masalah-masalah kemanusiaan pada umumnya.

"Termasuk di dalamnya adalah materi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan dampak teknologi terhadap perubahan iklim," ujar Baskara. Baskara memandang diperlukan pemahaman manusia akan dirinya sendiri sebagai pribadi maupun sebagai bagian komunitas kemanusiaan juga terhadap keberlangsungan manusia sendiri sebagai salah satu spesies penghuni planet bumi.

Baskara melihat adanya potensi skenario di masa mendatang, manusia sebagai pribadi akan semakin kehilangan jati diri karena kemajuan teknologi. Dikhawatirkan para pemilik dan pengelola teknologi internet, misalnya, akan memandang manusia sekedar sebagai “gumpalan informasi” yang akan diurai menjadi serpihan-serpihan data. Serpihan-serpihan data itu selanjutnya akan dinilai berguna sejauh bisa diolah dan diperjualbelikan di pasar data. Menurut Baskara, jika situasi seperti ini dibiarkan terus berlanjut, ada kemungkinan bahwa di tengah kemajuan teknologi hasil ciptaannya, manusia sedang menyongsong kehancurannya sendiri, berikut kebudayaan dan peradaban yang diciptakannya.

Berhadapan dengan skenario semacam itu, kini tiba saatnya bagi manusia untuk melakukan refleksi diri tentang keberadaannya di tengah kepungan teknologi. Diperlukan kesediaan umat manusia untuk lebih sering duduk bersama dan bertukar pikiran mengenai masalah-masalah global. Bersamaan dengan itu, dibutuhkan kesediaan manusia untuk menyingkirkan sekat-sekat perbedaan yang ada. Semua pihak perlu membicarakan langkah-langkah strategis demi menjamin eksistensi dan keberlangsungannya sebagai manusia, baik sebagai individu maupun sebagai sesama penghuni jagad yang sama. 

Untuk mewujudkan hal tersebut, Baskara mengajak lembaga-lembaga resmi negara seperti Lemhannas RI untuk membuka ruang-ruang bagi kerja sama tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional guna membahas masalah-masalah bersama sebagai sesama manusia penghuni planet yang sama. Baskara menegaskan bahwa masalah ketahanan nasional hendaknya tidak hanya mencakup masalah bagaimana mempertahankan diri dari kemungkinan serangan militer oleh negara lain. "Ketahanan nasional juga menyangkut ketahanan bersama segenap umat manusia dari kemungkinan kehancuran kolektif sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi," kata Romo Baskara.


Pelaksanaan hari kedua Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) pada Jumat, 22 Oktober 2021 menghadirkan empat narasumber. Salah satu narasumber tersebut adalah Ketua Dewan Penasihat School of Government and Public Policy (SGPP) Gita Wirjawan. JGF V/2021 mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads” dengan pelaksanaan dilakukan secara hybrid.

“Budaya dan kemanusiaan diwarnai oleh pengambilan keputusan atau penilaian dalam pikiran kita yang terpengaruh dari noise dan bias dari pemikiran kita,” kata Gita. Sejalan dengan hal tersebut, teknologi juga menjadi ujung tombak dalam menyebarkan pemikiran. Namun, teknologi tersebut juga digunakan dalam menyampaikan pemikiran yang berbeda, yang terkadang dapat menciptakan persaingan yang tidak perlu atau bahkan hingga mengakibatkan korban dalam konteks kemanusiaan.

Gita menyebutkan bahwa inovasi teknologi meningkat dengan cepat, tetapi inovasi teknologi tersebut dapat menciptakan batas kesalahan yang bisa mengancam peradaban manusia. “Kemajuan teknologi masih memberikan kemungkinan terciptanya kesalahan-kesalahan lain yang mengancam kemanusiaan jika salah dalam penggunaannya,” ujar Gita. Menurut Gita, sudah menjadi tanggung jawab bersama dalam berusaha mengurangi risiko-risiko dan memastikan mitigasi atas risiko tersebut bisa terus berjalan.

Dalam 150 tahun terakhir, terutama sejak Revolusi Industri pertama, teknologi telah diberdayakan untuk banyak tujuan. Meski tujuan dari pemanfaatan teknologi berbeda, namun penting bagi manusia untuk memperhatikan betapa cepat kemajuannya agar bisa menjadi dasar umat manusia dalam menyikapi teknologi. Di sisi lain, teknologi yang digunakan oleh umat manusia belum bergerak dengan cara yang ramah, contohnya banyaknya polarisasi pada percakapan di media sosial yang bisa menciptakan pertikaian. Bahkan negara-negara seperti Amerika dan China bisa terus bertikai dan dalam waktu dekat tidak akan akur. Padahal, seharusnya orang-orang ini bekerja sama dalam memajukan peradaban.

Pada kesempatan tersebut, Gita berpesan pada generasi muda, khususnya Generasi Z, untuk mengambil sikap politik. “Generasi muda yang memiliki modal politik dan bergabung dalam satu gerakan dan ide yang sama untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan,” harap Gita. Tidak lupa Gita mengingatkan larangan mengorbankan lingkungan hanya untuk kemajuan teknologi semata harus menjadi perhatian dari pelaku industri teknologi dan para pemangku kebijakan.


Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads” menghadirkan narasumber dengan beragam latar belakang. Salah satu narasumber yang hadir adalah dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS. atau yang sering disapa dr. Ryu Hasan yang merupakan seorang Pakar Neurosains dari Indonesia. Dokter Ryu Hasan menjadi salah satu pembicara dalam penyelenggaraan JGF V/2021 hari pertama, yakni pada Kamis, 21 Oktober 2021.

Pada kesempatan tersebut, dr. Ryu menyampaikan satu ancaman yang sudah mengintip abad modern tapi masih luput dari perhatian manusia, yaitu masalah kelebihan makanan. "Sekarang ancaman kita justru kelebihan makanan. Orang gembrot, obesitas adalah masalah peradaban ke depan," kata Ryu. Lebih lanjut, Ryu memaparkan bahwa obesitas merupakan persoalan global dan menjadi perhatian WHO sejak tahun 2000. Namun, dari sekian banyak negara yang menyadari bahaya obesitas, hanya Jepang yang paling serius menangani obesitas. "Jepang punya Undang-Undang anti gembrot sejak 2008," kata Ryu Hasan. Salah satu upaya yang dilakukan Jepang adalah menerapkan batas ukuran lingkar pinggang pada laki-laki 84,3 cm dan perempuan 81.3 untuk menentukan seseorang terkena obesitas atau tidak.

Jepang setidaknya membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menanamkan kesadaran mengenai bahaya obesitas dan berhasil menurunkan angka kasus obesitas. "Setelah diberlakukan denda dalam dua tahun sejak diundangkan, menurunkan angka kesakitan dan biaya kesehatan yang dikeluarkan," kata Ryu.

Bila melihat perilaku manusia soal obesitas, memang ada paradoks karena manusia memiliki gen tidak bisa berhenti makan. Gen ini menolong manusia pada saat mempertahankan hidup. "Orang yang tidak punya gen tidak bisa berhenti makan, punya peluang hidup lebih tinggi," ujar Ryu. Pada akhirnya manusia yang bertahan ialah manusia yang punya gen tidak bisa berhenti makan. "Ini memberikan advantage pada saat sumber daya terbatas," kata Ryu.

Dalam sesi paparannya, Ryu juga menjelaskan mengenai neuropolitik, yaitu cara otak membentuk perilaku politik pada manusia. Neuropolitik juga berkaitan dengan bagaimana manusia memandang diri dan lingkungan saat berinteraksi dengan manusia lain. Berkembang sejak awal tahun 2000-an, Neuropolitik juga membahas mengenai politik dari sudut pandang sains.

Ryu kemudian memaparkan tiga isu utama dalam konteks keinginan bebas dalam berpolitik. Pertama adalah rigidity atau kekakuan. Manusia pada dasarnya bersifat rigid atau sulit diubah. Ryu mengatakan bahwa hampir tidak mungkin dapat mengubah perilaku manusia. Kedua adalah flexibility atau fleksibilitas. Ryu menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang secara alamiah dibentuk untuk mudah beradaptasi dengan lingkungan dalam hal-hal tertentu. Ketiga adalah plasticity, di mana manusia terbentuk sepanjang manusia tersebut hidup. “Tiga hal tersebut adalah hal-hal yang terjadi dari otak manusia. Manusia disusun oleh bahan-bahan alam yang bekerja sesuai hukum alam,” ujar Ryu.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749