Agus Widjojo: Keadilan Restoratif dan Pendekatan Humanis Tidak untuk Menggantikan Keadilan Retributif

Restorative justice dengan titik berat pada humanisme bukanlah untuk menggantikan retributive justice,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, dalam Webinar Nasional “Penegakan Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif Pidana”. Webinar yang diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus 1945 Semarang tersebut diadakan pada Senin (27/9).

Pada kesempatan tersebut, Gubernur mengangkat topik “Keadilan Restoratif dalam Penegakan Hukum Menuju Peradilan yang Humanis”. Mengawali paparannya, Agus menyampaikan bahwa humanisme sebagai suatu gerakan membangkitkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki tekanan pokok pada manusia sebagai makhluk individual dan personal, manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan, serta manusia yang menyejarah dan membentuk dirinya serta membentuk dunia secara alamiah.

Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk penegakan hukum menuju peradilan yang humanis. Agus juga menyampaikan bahwa sudah ada pedoman penerapan keadilan restoratif di lingkungan peradilan umum, yakni Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. “Definisi ini penuh dengan karakteristik kriteria tentang apa itu humanis,” kata Agus. Selanjutnya Agus menyampaikan bahwa nilai-nilai humanisme dalam keadilan restoratif diwujudkan dengan melakukan gerakan-gerakan mendukung pendekatan generalis yang memungkinkan semua korban kejahatan untuk mengakses prosedur keadilan restoratif di semua tahap proses pidana.

Keadilan restoratif memiliki arti bahwa dalam proses tersebut melibatkan semua pihak terkait, memperhatikan kebutuhan korban, ada pengakuan tentang kerugian dan kekerasan, reintegrasi dari pihak-pihak terkait ke dalam masyarakat, dan memotivasi serta mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab. Artinya ada upaya untuk mengembalikan pengertian tentang keadilan kembali seperti saat sebelum terjadinya tindak kejahatan. “Namanya restorative justice dari kata to restore, memulihkan kembali rasa keadilan seperti sebelum terjadi tindakan kriminal tersebut,” tutur Agus.

Selanjutnya Agus memberikan pandangannya pada penerapan keadilan restoratif dalam perspektif hukum pidana. Pertama, jangan mengira bahwa keadilan restoratif bisa mengosongkan lembaga pemasyarakatan karena banyak kasus pidana bisa diselesaikan tanpa masuk sampai pada keadilan retributif. “Keadilan restoratif dan pendekatan humanis tidak untuk menggantikan keadilan retributif,” kata Agus. Kedua, pendekatan humanis sudah harus mulai diterapkan sejak perumusan sebuah undang-undang dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana serta kewenangan hati nurani seorang hakim dalam kedudukan dalam majelis hakim. 

Ketiga, pendekatan humanis bukan merupakan suatu dimensi pertimbangan baru yang diletakkan di luar sistem peradilan pidana, dengan mempertanyakan keabsahan dan menjadi checks and balance hati nurani hakim. “Sistem sudah mengatakan bahwa hakim membuat keputusan itu didasarkan kepada hati nurani, jadi kita serahkan itu dan kita harus terima itu,” kata Agus. Menurut Agus, kalau memang ada hal-hal yang mungkin belum dapat diterima, cukup dibicarakan dan dicari kesepakatannya. Keempat, hanya dalam aspek hukum pidana yang mempertimbangkan pembinaan manusia lebih besar manfaatnya dari penjatuhan hukuman badan, maka keadilan restoratif dengan tekanan humanis dapat hadir dalam perspektif pidana. Terakhir yang kelima adalah kehadiran keadilan restoratif tidak dapat dipisahkan dari proses pengadilan dan harus hadir terintegrasi dengan keadilan retributif.

Agus menutup sesinya dengan memberikan rekomendasi, yakni pemikiran tentang aspek humanis dalam perspektif pidana sebaiknya jangan ditinjau secara sektoral dengan pendekatan mengatasi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas, tapi diletakkan secara sistemik. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan, yakni penyelesaian proses hukum yang baik lebih diletakkan pada aspek kualitas dan bukan memberi target kuantitas pada tingkatan operasional, mencari solusi atas perlambatan dalam menyelesaikan proses, dan lebih memberikan penekanan kepada pencegahan daripada penanganan kasus dalam rangka fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749