Penataran Istri/Suami Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 Tahun 2021 Lemhannas RI dibuka secara resmi pada Senin (04/10). Kegiatan tersebut akan dilaksanakan secara virtual selama enam hari dimulai Senin, 4 Oktober 2021 sampai dengan 11 Oktober 2021 dengan diikuti oleh 56 peserta istri dan 1 orang peserta suami.

Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. dalam laporannya menyampaikan bahwa para peserta akan menerima 13 unit kelas, yakni Pembekalan oleh Gubernur Lemhannas RI, Pengenalan Lemhannas RI, Orientasi Penataran, Empat Konsensus Dasar Bangsa Indonesia, Peran Istri/Suami dalam Menunjang Karier Suami/Istri, Cara Cerdas Indonesia Sehat, Perilaku Koruptif dan Dampak Sosialnya, Peranan Perempuan dalam Pembangunan Nasional, Etika Pergaulan dan Berbusana, Mempersiapkan Generasi Penerus Bangsa untuk Menghadapi Tantangan Masa Depan, Komunikasi dalam Konteks Multikulturalisme, serta Pencegahan Bahaya Narkoba.

“Keberhasilan para peserta Lemhannas RI dalam meniti karier dan mengemban tugas negara, tidak mungkin terwujud tanpa adanya peran istri/suami selaku pendamping,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Oleh karena itu, keharmonisan suami/istri harus terus dijaga melalui pemeliharaan dan penyesuaian wawasan, moral, serta etika.

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga tujuan dilaksanakannya Penataran Istri/Suami Peserta PPSA 23. Pertama, guna meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan cakrawala pandang para istri/suami agar sejalan dengan makin berkembangnya wawasan dan pengetahuan serta cakrawala pandang para istri/suami peserta PPSA 23 setelah mengikuti pendidikan di Lemhannas RI. Kedua, mempererat ikatan kekeluargaan antara sesama istri/suami peserta, termasuk dengan personel organik Lemhannas RI. “Keakraban dan saling mengenal yang dilandasi ikatan batin yang kokoh diharapkan dapat menjadi wahana terciptanya iklim persahabatan yang kondusif dan komunikatif di masa mendatang,” kata Agus. Ketiga, belajar memahami bagaimana untuk berinteraksi dalam kondisi masa pandemi yang sudah memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan tata kehidupan baru.

Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa semangat kebangsaan, iklim kekeluargaan yang penuh toleransi, dan kebersamaan dengan landasan Bhinneka Tunggal Ika dapat mengalami erosi akibat arus globalisasi dan dinamika situasi politik yang berkembang. Dalam menghadapi hal tersebut, pemahaman terhadap wawasan kebangsaan dengan lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa yang dilandasi akar kerakyatan perlu semakin dikukuhkan. “Melalui penataran ini hendaknya dapat dipahami makna moral dan etika kebangsaan yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dalam kehidupan sehari-hari,” kata Agus.

Hakikat penataran istri/suami peserta PPSA 23 adalah menyiapkan para istri/suami agar lebih memantapkan peranan dalam membantu dan mendampingi suami/istri, baik dalam hubungan kedinasan maupun dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Sebagai upaya memantapkan peran peserta penataran dalam organisasi, keluarga maupun di lingkungan masyarakat, Agus berharap kegiatan tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. “Pandai-pandailah menyerap pengetahuan, saling menukar pengalaman, dengan para tenaga ahli pengajar atau penceramah maupun antarsesama peserta penataran atau dengan peserta PPSA 23 Lemhannas RI, karena hal ini sangat penting dalam rangka menyongsong dan menghadapi tantangan tugas dan kehidupan di masa yang akan datang,” kata Agus.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) dengan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) menandatangani nota kesepahaman pada Selasa (28/9). Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, bersama Ketua Umum GAMKI, Willem Wandik, S.Sos., menandatangani langsung nota kesepahaman tersebut bertempat di Gedung Trigatra Lemhannas RI.

Penandatanganan nota kesepahaman kali pertama ini secara umum meliputi peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, pertukaran tenaga ahli, pemantapan nilai-nilai kebangsaan, tukar menukar informasi dan pelaksanaan pengkajian, serta bidang lain sesuai dengan kebutuhan yang disepakati bersama oleh Lemhannas RI dan GAMKI.

“Hari ini merupakan sejarah baru perjalanan berbangsa bernegara, dimana GAMKI bisa melakukan MoU bekerja sama dengan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia dalam rangka memberikan dukungan kepada Lemhannas RI supaya kerja Lemhannas RI bisa semakin maksimal lagi,” kata Ketua Umum GAMKI Willem Wandik, S.Sos. Lebih lanjut Willem menyampaikan bahwa dengan demikian kader-kader anggota GAMKI di seluruh wilayah nusantara bisa ikut terlibat di dalam penyelenggaraan pendidikan Lemhannas RI.

“Supaya digembleng, supaya memiliki karakter memiliki nasionalis yang kuat untuk memperkuat peran kita dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan kita bernegara dan juga bisa memberikan ide gagasan,” ujar Willem. Menurut Willem, kader-kader GAMKI yang tersebar di seluruh wilayah nusantara bisa memberikan usulan kajian terkait persoalan kontekstual yang dihadapi di masing-masing wilayah nusantara yang sangat beragam. Hal tersebut dinilai bisa menjaga kohesi dalam mengelola persoalan bernegara serta bisa mendukung kinerja Lemhannas RI agar bisa semakin meluas.

“Kerja sama yang baru terbangun ini merupakan suatu komitmen bersama GAMKI dan Lemhannas RI dalam bersinergi dengan membuat program-program kegiatan bersama sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dapat mendukung kemajuan bangsa,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Oleh karena itu, Agus menegaskan bahwa penandatanganan nota kesepahaman tersebut, diharapkan tidak sekedar menjadi seremonial semata. Namun, perlu diimplementasikan dalam kegiatan yang lebih nyata secara konsisten terkait dengan bidang-bidang yang ada dalam ruang lingkup yang dikerjasamakan. 

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menyampaikan harapannya bahwa sinergi antara kedua institusi dapat menjadi salah satu upaya bersama dalam memperkuat wawasan kebangsaan sebagai prasyarat mutlak dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, berdaya saing tinggi, dan memiliki karakter kebangsaan demi terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh. “Potensi yang dimiliki oleh Lemhannas RI dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia dapat saling bersinergi untuk dapat menghasilkan capaian dan sasaran yang lebih optimal,” tutup Agus.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, menjadi narasumber dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Hotel Santika Premiere Bintaro pada Sabtu (28/9). Gubernur berbicara mengenai pokok-pokok haluan negara bidang pertahanan dan keamanan. Ia menjelaskan bahwa pertahanan dan keamanan adalah sistem yang komprehensif.

Agus mengatakan fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah untuk menghadapi ancaman dari luar negeri yang bersifat militer. “Hakikatnya tugas pokok dari TNI itu tugas perang, untuk menghadapi kemungkinan invasi dari luar negeri,” tutur Agus.

Ancaman dari luar negeri yang bersifat nonmiliter merupakan tugas institusi fungsional untuk menanganinya. Agus mencontohkan, dalam kasus pandemi Covid-19, Kementerian Kesehatan lah yang memiliki tugas pokok untuk menghadapinya. “Ancaman dari luar negeri tetapi bersifat nonmiliter ini tidak harus lewat Kemhan, tidak harus lewat Menhan, ini menjadi policy-nya institusi fungsional,” kata Agus. “Contohnya pandemi sekarang ini, pandemi sekarang ini menjadi tugas pokok Kementerian Kesehatan,” tambah Agus.

Agus mengatakan setiap ancaman yang muncul dari dalam adalah pelanggaran hukum. “Setiap ancaman yang datang dari dalam pada hakikatnya adalah pelanggaran hukum dan tindakan responsnya itu pertama-tama adalah penegakan hukum, oleh aparat penegak hukum, secara operasional oleh Polri,” jelas Agus.

Mengakhiri uraiannya, Agus memberikan rekomendasi mengenai arah pokok-pokok haluan negara pada bidang pertahanan dan keamanan di hadapan para peserta FGD.

 

 


Restorative justice dengan titik berat pada humanisme bukanlah untuk menggantikan retributive justice,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, dalam Webinar Nasional “Penegakan Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif Pidana”. Webinar yang diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus 1945 Semarang tersebut diadakan pada Senin (27/9).

Pada kesempatan tersebut, Gubernur mengangkat topik “Keadilan Restoratif dalam Penegakan Hukum Menuju Peradilan yang Humanis”. Mengawali paparannya, Agus menyampaikan bahwa humanisme sebagai suatu gerakan membangkitkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki tekanan pokok pada manusia sebagai makhluk individual dan personal, manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan, serta manusia yang menyejarah dan membentuk dirinya serta membentuk dunia secara alamiah.

Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk penegakan hukum menuju peradilan yang humanis. Agus juga menyampaikan bahwa sudah ada pedoman penerapan keadilan restoratif di lingkungan peradilan umum, yakni Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. “Definisi ini penuh dengan karakteristik kriteria tentang apa itu humanis,” kata Agus. Selanjutnya Agus menyampaikan bahwa nilai-nilai humanisme dalam keadilan restoratif diwujudkan dengan melakukan gerakan-gerakan mendukung pendekatan generalis yang memungkinkan semua korban kejahatan untuk mengakses prosedur keadilan restoratif di semua tahap proses pidana.

Keadilan restoratif memiliki arti bahwa dalam proses tersebut melibatkan semua pihak terkait, memperhatikan kebutuhan korban, ada pengakuan tentang kerugian dan kekerasan, reintegrasi dari pihak-pihak terkait ke dalam masyarakat, dan memotivasi serta mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab. Artinya ada upaya untuk mengembalikan pengertian tentang keadilan kembali seperti saat sebelum terjadinya tindak kejahatan. “Namanya restorative justice dari kata to restore, memulihkan kembali rasa keadilan seperti sebelum terjadi tindakan kriminal tersebut,” tutur Agus.

Selanjutnya Agus memberikan pandangannya pada penerapan keadilan restoratif dalam perspektif hukum pidana. Pertama, jangan mengira bahwa keadilan restoratif bisa mengosongkan lembaga pemasyarakatan karena banyak kasus pidana bisa diselesaikan tanpa masuk sampai pada keadilan retributif. “Keadilan restoratif dan pendekatan humanis tidak untuk menggantikan keadilan retributif,” kata Agus. Kedua, pendekatan humanis sudah harus mulai diterapkan sejak perumusan sebuah undang-undang dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana serta kewenangan hati nurani seorang hakim dalam kedudukan dalam majelis hakim. 

Ketiga, pendekatan humanis bukan merupakan suatu dimensi pertimbangan baru yang diletakkan di luar sistem peradilan pidana, dengan mempertanyakan keabsahan dan menjadi checks and balance hati nurani hakim. “Sistem sudah mengatakan bahwa hakim membuat keputusan itu didasarkan kepada hati nurani, jadi kita serahkan itu dan kita harus terima itu,” kata Agus. Menurut Agus, kalau memang ada hal-hal yang mungkin belum dapat diterima, cukup dibicarakan dan dicari kesepakatannya. Keempat, hanya dalam aspek hukum pidana yang mempertimbangkan pembinaan manusia lebih besar manfaatnya dari penjatuhan hukuman badan, maka keadilan restoratif dengan tekanan humanis dapat hadir dalam perspektif pidana. Terakhir yang kelima adalah kehadiran keadilan restoratif tidak dapat dipisahkan dari proses pengadilan dan harus hadir terintegrasi dengan keadilan retributif.

Agus menutup sesinya dengan memberikan rekomendasi, yakni pemikiran tentang aspek humanis dalam perspektif pidana sebaiknya jangan ditinjau secara sektoral dengan pendekatan mengatasi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas, tapi diletakkan secara sistemik. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan, yakni penyelesaian proses hukum yang baik lebih diletakkan pada aspek kualitas dan bukan memberi target kuantitas pada tingkatan operasional, mencari solusi atas perlambatan dalam menyelesaikan proses, dan lebih memberikan penekanan kepada pencegahan daripada penanganan kasus dalam rangka fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749