“Kestabilan ASEAN sangat penting bagi Indonesia,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan saat menjadi pembicara kunci dalam Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts” pada Rabu (14/6), di Hotel Borobudur, Jakarta.
Lebih lanjut, Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa ketegangan geopolitik dan konflik global semakin meningkat. Hal tersebut menjadi tantangan utama yang dihadapi ASEAN. Menurutnya, kerja sama antarnegara ASEAN menjadi sangat dibutuhkan dalam mengatasinya. Terkait hal tersebut, Ia juga melihat Indonesia ke depan akan fokus untuk menjadikan ASEAN menjadi kawasan ekonomi yang berkembang cepat, inklusif, dan berkelanjutan.
“Indonesia terlalu besar untuk condong ke negara superpower manapun,” ucap Luhut Binsar Pandjaitan. Dengan tegas, dirinya menyampaikan bahwa Indonesia mau bekerja sama dan berkolaborasi dengan negara manapun, negara yang mau melakukan transfer teknologi dan berinvestasi. Selain itu, ia juga mengatakan telah menyampaikan kepada negara lain untuk tidak menyentuh integritas wilayah Indonesia. “Jangan sentuh integritas wilayah kami, jangan mendiskusikan hal itu. Kita harus menghormati hukum internasional,” tegasnya.
Seiring dengan langkah tersebut, Indonesia tetap terus mempertahankan hubungan baik dengan siapapun, tapi disaat yang bersamaan setiap pihak juga harus memahami posisinya masing-masing. Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, Indonesia tidak menentang negara maju. Namun, negara maju juga harus memahami bahwa negara berkembang memiliki hak untuk menjadi negara dengan pendapatan tinggi.
“Negara berkembang juga memiliki hak untuk menjadi negara dengan pendapatan tinggi. Kita tidak ingin seperti dulu, kemiskinan tinggi, banyak masyarakat yang tidak berpendidikan, jadi kita harus terus maju melalui hilirisasi industrI,” pungkas Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Andi Widjajanto dalam pembukaannya menyampaikan bahwa saat ini dunia makin sulit untuk berkolaborasi dan memasuki era disconnectivity. Hal tersebut dinilai melemahkan kebutuhan untuk menciptakan rantai pasokan global yang berkelanjutan pada kawasan antarwilayah. “Kita gagal menyadari bahwa kita sekarang sebenarnya sudah memasuki era interdependensi yang kompleks,” katanya.
Terkait hal tersebut, sebenarnya dunia memiliki banyak teori yang dapat digunakan untuk menciptakan perdamaian global. Namun, dalam kondisi saat ini, dimana masih berlangsungnya konflik Rusia dan Ukraina serta meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China, perdamaian dan stabilitas global sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, kata Andi Widjajanto, harus ditemukan terobosan agar tidak terjebak dalam persaingan strategis.
Andi Widjajanto menyebut Lemhannas RI tengah mengusulkan dilaksanakannya studi kolaboratif tentang kekuatan regional dengan mitra regional guna memastikan Strategic Community Center di ALKI I, II, dan III. Kemudian hal tersebut, menurutnya, perlu diintegrasikan dengan rantai pasokan maritim yang menghubungkan negara-negara selatan yang akan menjadi pemain utama global seperti Nigeria, Afrika Selatan, Kenya, Kongo, Arab Saudi, India, Indonesia, Brazil, dan Argentina.
“Saya berharap melalui Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 dapat dihasilkan solusi yang sangat strategis dan juga operasional yang dapat ditawarkan kepada pemerintah kita masing-masing untuk diimplementasikan dalam memperkuat stabilitas kawasan kita,” ujar Andi Widjajanto.
Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 mengusung empat sub tema, yakni, Asean Maritime Security Challenges, Maritime Connectivity and Regional Stability, Asean Maritime Security Strategic Partnerships, dan Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone.
Turut hadir sebagai narasumber para pakar serta pemerhati geopolitik Asia Tenggara dari enam negara, yaitu Duta Besar Rizal Sukma dari CSIS; Maj Gen Datuk Mohd Nizam Bin Hj. Jaffar PSD, PSAT, DSDK, PMW, PAT, SMP, SDK, KMN, BCK, PJM, PNBB (Lebanon) MBA (Notts) Dip Strat (UKM) Fellow Scholar (NDUM) nrc CID psc dari The National Resilience College Malaysia; Perwakilan dari The Naval Strategic Studies Center (NSSC), Royal Thai Navy; Alan Ada Lachica dari The National Defense College of The Philippines; BG Tan Tiong Keat dari The Singapore Armed Forces Training Institute (SAFTI); Đỗ Mạnh Hoàng (Hoang Do) dari The East Sea Institute, Diplomatic Academy of Vietnam, Ministry of Foreign Affairs of Vietnam; Datuk Dr. Sabirin Ja’afar, dari Universiti Kebangsaan Malaysia; Amparo Pamela Fabe dari National Police College of The Philippines; Jane Chan Git Yin dari Institute Of Defence And Strategic Studies-RSIS, Singapore; Aaron Jed Rabena dari Asia Pacific Pathways to Progress Foundation Inc., The Philippines; Chiew-Ping Hoo dari The National University of Malaysia; dan William Choong dari Iseas-Yusof Ishak Institute. (NA/BIA)