Dalam plenary session IV Jakarta Geopolitical Forum (JGF) VIII/2024 pada Kamis (26/9), di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, menghadirkan sejumlah narasumber yaitu Head of Office and Liasion to ASEAN UNODC in Indonesia Erik van der Veen, Regional Humanitarian Affairs Adviser of the International Committee of the Red Cross (ICRC) Masayoshi Mita, dan Fellowship of the Australian National Center for Ocean Resources and Security (ANCORS) Sudarsan Shrikhande.
Plenary session II JGF VIII/2024 membahas tentang “Projecting Future Challenges In Maritime Security”. Kegiatan diawali dengan trigger speech yang disampaikan oleh Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksdya TNI (Purn.) Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian, ST., M.Sc., DESD., IPU., ASEAN.Eng.
Prof. Amarulla dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa saat ini terdapat banyak ancaman keamanan maritim tradisional dan kontemporer. Ancaman keamanan maritim tradisional merujuk pada berbagai bentuk aktivitas kriminal. “Laut adalah media untuk pembajakan, perampasan, perdagangan pasar gelap, penyelundupan, imigrasi ilegal, terorisme maritim, dan IUU (illegal, unreported, and unregulated) fishing,” ujarnya.
Disampaikan oleh Prof. Amarulla bahwa telah banyak kerja sama antara angkatan laut, penjaga pantai, dan kolaborasi dengan polisi internasional untuk mencegah dan menangani berbagai tindakan kriminal oleh aktor non-negara. Namun demikian, kerja sama dan kolaborasi internasional masih diperlukan untuk meminimalkan jumlah kejahatan.
Ancaman keamanan maritim dari aktor negara juga muncul dalam bentuk kontestasi dalam konflik perbatasan maritim yang menuju ke arah perang hibrida. Jenis perang baru tersebut merupakan kombinasi kapal perang yang diawaki oleh tentara dan sistem tak berawak yang dikendalikan oleh kecerdasan buatan. Prof. Amarulla menyampaikan kesepakatan tentang aturan internasional untuk penggunaan yang tepat dari sistem tak berawak dan pencegahan penyalahgunaan kecerdasan buatan masih belum tercapai.
Pada ancaman keamanan maritim kontemporer, orientasinya lebih kepada dampak negatif terhadap lingkungan laut akibat kerusakan ekosistem, polusi laut, dan polusi udara di atas laut yang sebagian besar disebabkan oleh limbah plastik dan zat beracun yang berbahaya dan sering ditemukan di dasar laut, di perut ikan, terumbu karang serta berbagai flora laut.
Hal tersebut mengancam keanekaragaman hayati, karena selain menyebabkan kenaikan permukaan laut, pencairan es di kutub utara dan selatan juga dikhawatirkan melepaskan gas kuno yang awalnya terperangkap dalam es. Pemanasan global juga mempengaruhi kesehatan lautan. Untuk saat ini, belum banyak negara atau organisasi internasional yang mendorong kerja sama antara angkatan laut dan penjaga pantai untuk mengatasi kerusakan ekosistem laut.
Lebih lanjut, Prof. Amarulla mengatakan geopolitik modern banyak diadopsi oleh berbagai negara dalam upaya mencapai kepentingan nasional masing-masing dan lebih menekankan pada pengaruh politik dalam mencapai kepentingan nasional daripada dominasi angkatan bersenjata, seperti dalam pemikiran geopolitik klasik. Sedangkan geo-ekonomi dalam geopolitik modern lebih mengoptimalkan semua sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan memastikan keberlanjutannya.
Berdasarkan pemahaman geopolitik modern dan geoekonomi, Prof. Amarulla mengatakan geomaritim adalah penerapan geopolitik modern untuk mengoptimalkan semua sumber daya alam di laut demi kesejahteraan umat manusia, sekaligus memastikan kelestarian ekosistem laut. Geomaritim menjadi dasar ilmiah untuk upaya bersama dalam memberdayakan laut sebagai sumber pangan, bahan baku obat-obatan, air bersih dan air minum serta energi. Hal tersebut juga berfungsi sebagai perspektif hukum dalam merumuskan berbagai aturan internasional untuk mendorong dan menerapkan kebijakan dan regulasi tentang pemberdayaan laut dan pelestarian ekosistem laut secara berkelanjutan.
Di akhir paparannya, Prof Amarulla menyimpulkan bahwa Indo-Pasifik adalah salah satu kawasan perairan terbesar di dunia yang membentang dari Samudra Hindia hingga Samudra Pasifik. Indo-Pasifik terdiri dari banyak negara yang tersebar di beberapa kawasan. “Keamanan maritim adalah kepentingan bersama semua kawasan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal demi kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan ekosistem laut,” ujar Prof. Amarulla. Untuk itu, sangat penting bagi akademisi dan praktisi untuk mengorganisir dualitas ketahanan nasional dan regional guna membangun fondasi yang kuat untuk kerja sama internasional di masa depan.
Regional Humanitarian Affairs Adviser of the International Committee of the Red Cross (ICRC) Masayoshi Mita yang juga menjadi salah satu narasumber pada sesi tersebut, menyampaikan bahwa ICRC adalah organisasi kemanusiaan yang netral dan independen. ICRC hadir untuk melindungi kehidupan dan martabat korban konflik bersenjata, situasi kekerasan lain, dan memberikan bantuan serta mencegah dan mengurangi penderitaan manusia dengan mempromosikan international humanitarian law (IHL) dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Masayoshi Mita menyampaikan potensi dampak kemanusiaan dari konflik di laut, yakni meningkatnya jumlah konflik bersenjata di seluruh dunia, risiko terhadap warga sipil yang tinggal di lingkungan maritim termasuk pelaut sipil, risiko terhadap infrastruktur penting warga sipil di laut, dampak lingkungan – tumpahan material dari kapal yang tenggelam, dan dampak terhadap pasokan makanan dan kebutuhan pokok.
Tentang IHL, Masayoshi mengatakan hal tersebut merupakan seperangkat aturan yang, atas dasar alasan kemanusiaan, berupaya mencegah atau mengurangi konsekuensi konflik bersenjata. Hukum tersebut melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi berperang dan membatasi sarana dan metode peperangan.
Di akhir paparannya, Masayoshi menyimpulkan beberapa hal utama, yakni IHL tetap relevan sebagai pilar utama untuk perlindungan warga sipil di masa konflik bersenjata, termasuk di laut, lalu menghormati dan memastikan penghormatan terhadap IHL sebagai jalur penting untuk membangun kepercayaan dan perdamaian untuk kesiapsiagaan kemanusiaan, serta ICRC tetap siap bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan terkait.
Adapun narasumber lain yang hadir dalam plenary session IV Jakarta Geopolitical Forum (JGF) VIII/2024 tersebut, yakni Head of Office and Liasion to ASEAN UNODC in Indonesia Erik van der Veen dan Fellowship of the Australian National Center for Ocean Resources and Security (ANCORS) Admiral (Ret) Sudarsan Shrikhande. (SP/CHP)