Dalam session I expert forum Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 pada Kamis (15/6), di Hotel Borobudur, Jakarta, membahas tentang kemitraan strategis keamanan maritim ASEAN. ASEAN dapat mengembangkan lebih banyak kemitraan maritim melalui tindakan yang diusulkan berdasarkan rencana untuk mencapai tujuannya. Platform ini untuk membahas kekhawatiran maritim yang akan membangun kepercayaan dan transparansi dalam jaringan pertukaran informasi ASEAN.
Selain itu, kemitraan strategis keamanan maritim yang lebih kuat diharapkan dapat membantu ASEAN menerapkan langkah-langkah keamanan maritim, mencapai keseimbangan yang lebih pada pembagian beban keamanan maritim, dan tata kelola maritim yang lebih solid di antara negara-negara ASEAN.
Dalam sesi yang dimoderatori oleh Acting Assistant Deputy for Maritime Security and Resilience, Deputy for Maritime Sovereignty and Energy, Coordinating Ministry for Maritime and Investment Affairs Dr. Adriani Kusumawardani, Adjunct Professor Universiti Kebangsaan Malaysia Datuk Dr. Sabirin bin Ja'afar, sebagai narasumber pertama, memfokuskan pembahasan pada perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi.
Meski tidak seramai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, Laut Sulu dan Laut Sulawesi penting dalam perdagangan antara Australia dan Selandia Baru di selatan hingga negara-negara industrialis Timur Jauh di utara seperti Tiongkok, Jepang, Korea, dan Taiwan. Hal tersebut dapat diproyeksikan kepentingannya yang akan semakin meningkat dengan berpindahnya ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Nusantara di masa mendatang.
Lebih lanjut, Datuk Sabirin bin Ja'afar menyampaikan prospek ekonomi di Pulau Kalimantan. Seperti diketahui bersama, Kalimantan terbagi menjadi dua wilayah. Bagian utara di Malaysia adalah Sabah dan Serawak, lalu ada Brunei Darussalam dan Kalimantan yang posisinya ditengah.
Dilihat dari sejarahnya, kondisi yang terjadi di selat Malaka akan membuat jalur air lain, Laut Sulu, menjadi lebih penting dan memungkinkan akan menjauh dari konflik di Malaka dan Laut China Selatan ini.
Datuk Sabirin bin Ja'afar juga menyampaikan bahwa kini BIMP-EAGA (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area) berjalan cukup aktif dan sudah ada cukup lama. “Saya pikir dengan pindah ke Nusantara ini, itu akan mengalihkan fokus dan akan mengarahkan banyak hal penting pada sumber daya di pulau itu,” tuturnya.
Disampaikan juga bahwa jumlah kapal di Selat Malaka terus meningkat dari tahun ke tahun dan harus melakukan sesuatu untuk mengontrol kecelakaan kedepannya. Hal tersebut tentu menjadi tugas semua anggota ASEAN dan pengguna internasional untuk fokus agar dapat mengatasi masalah ini.
Narasumber berikutnya, Prof. Amparo Pamela Fabe dari National Police College, Philippines, menyampaikan cara memperkuat keamanan Maritim Filipina, yakni dengan keterlibatan Filipina dalam kerja sama dan pelatihan di Asia Tenggara.
Filipina juga sangat antusias dengan latihan Maritim bersama ASEAN yang pertama kali akan diadakan pada bulan September mendatang. Hal ini, menurut Prof. Amparo Pamela Fabe, akan mengarah pada operasi interoperabilitas yang lebih baik dengan negara-negara ASEAN lainnya, lalu pengaturan komunikasi dan koordinasi yang lebih baik, dan sistem berbagi intelijen yang lebih dalam tentang ancaman keamanan maritim yang terus berkembang.
Prof. Amparo Pamela Fabe juga menyampaikan bahwa Filipina menghargai kemitraan keamanan strategis maritimnya serta keterlibatannya dengan mitra regional tambahan karena mengetahui dengan baik bahwa keyakinannya dengan sekutu pertahanannya terjalin erat. Pendekatan pemerintah terhadap tantangan keamanan maritim terukur dan bijaksana, mulai dari diplomasi hingga konsultasi pertahanan pelatihan tenaga kerja, latihan bersama, patroli bersama, serta akuisisi dan pengadaan aset Maritim. “Filipina mendukung kerja sama regional dan diplomasi lunak untuk mendorong masa depan maritim yang stabil dan makmur,” ujarnya.
Sedangkan narasumber terakhir, Senior Fellow and Coordinator of the Maritime Security Program, Institute of Defence and Strategic Studies - RSIS, Singapore Ms. Jane Chan Git Yin, menyampaikan beberapa tren tentang tema yang berlangsung.
Tren pertama, Ms. Jane Chan Git Yin menganggap bahwa semua pemangku kepentingan setuju dengan tiga proposisi tentang aspirasi untuk perdamaian di laut yang hanya bisa dicapai jika ada hukum internasional. Tren kedua dalam domain maritim, hukum ditempatkan di antara hal-hal lain UNCLOS. Oleh karena itu, UNCLOS harus dilindungi. Kemudian tren ketiga dalam hal sengketa antar negara tentang penafsiran dan penerapan UNCLOS, sengketa tersebut harus diselesaikan secara damai sesuai dengan hukum internasional.
Berbicara tentang konteks Asia Tenggara, Ms. Jane Chan Git Yin melihat semua keamanan maritim regional sebagian tergantung pada pengembangan global dan sebagian pada yang lokal. Daerah maritim yang inklusif didirikan berdasarkan aturan dan norma internasional meletakkan dasar untuk menyimpan dan keamanan. Hal tersebut sangat penting untuk perkembangan regional yang berkelanjutan dan kemakmuran.
Lebih lanjut, Ms. Jane Chan Git Yin juga menyampaikan bahwa ketentuan tentang zona maritim disusun dengan cara memastikan bahwa langit-langit utama tetap terbuka untuk kapal angkatan laut di atas kapal komersial. Bagi Asia Tenggara, hal yang menarik adalah zona ekonomi eksklusif yang digunakan secara ketat untuk navigasi internasional dan jalur laut kepulauan. Dalam visi dunia ini, kita dapat mengharapkan sedikit kerja sama dan risiko tinggi merusak lembaga regional dan konflik.
Melanjutkan paparannya, Ms. Jane Chan Git Yin membahas Asian Maritime Outlook (AMO). AMO merupakan alat terbaru dalam toolkit ASEAN yang akan segera online dengan sangat cepat. Menurutnya, hal tersebut bisa menguraikan prioritas maritim ASEAN dan memiliki peluang untuk menciptakan agenda maritim bersama yang akan menjadi lebih jelas. “Dan ini akan penting karena ini akan membantu kerjasama maritim yang berpusat antara ASEAN dan mitra regional ekstra kita termasuk organisasi multilateral,” pungkasnya. (SP/BIA)