Dalam session I expert forum Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 pada Kamis (15/6), di Hotel Borobudur, Jakarta, membahas tentang kemitraan strategis keamanan maritim ASEAN. ASEAN dapat mengembangkan lebih banyak kemitraan maritim melalui tindakan yang diusulkan berdasarkan rencana untuk mencapai tujuannya. Platform ini untuk membahas kekhawatiran maritim yang akan membangun kepercayaan dan transparansi dalam jaringan pertukaran informasi ASEAN.

Selain itu, kemitraan strategis keamanan maritim yang lebih kuat diharapkan dapat membantu ASEAN menerapkan langkah-langkah keamanan maritim, mencapai keseimbangan yang lebih pada pembagian beban keamanan maritim, dan tata kelola maritim yang lebih solid di antara negara-negara ASEAN.

Dalam sesi yang dimoderatori oleh Acting Assistant Deputy for Maritime Security and Resilience, Deputy for Maritime Sovereignty and Energy, Coordinating Ministry for Maritime and Investment Affairs Dr. Adriani Kusumawardani, Adjunct Professor Universiti Kebangsaan Malaysia Datuk Dr. Sabirin bin Ja'afar, sebagai narasumber pertama, memfokuskan pembahasan pada perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi. 

Meski tidak seramai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, Laut Sulu dan Laut Sulawesi penting dalam perdagangan antara Australia dan Selandia Baru di selatan hingga negara-negara industrialis Timur Jauh di utara seperti Tiongkok, Jepang, Korea, dan Taiwan. Hal tersebut dapat diproyeksikan kepentingannya yang akan semakin meningkat dengan berpindahnya ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Nusantara di masa mendatang.

Lebih lanjut, Datuk Sabirin bin Ja'afar menyampaikan prospek ekonomi di Pulau Kalimantan. Seperti diketahui bersama, Kalimantan terbagi menjadi dua wilayah. Bagian utara di Malaysia adalah Sabah dan Serawak, lalu ada Brunei Darussalam dan Kalimantan yang posisinya ditengah.

Dilihat dari sejarahnya, kondisi yang terjadi di selat Malaka akan membuat jalur air lain, Laut Sulu, menjadi lebih penting dan memungkinkan akan menjauh dari konflik di Malaka dan Laut China Selatan ini. 

Datuk Sabirin bin Ja'afar juga menyampaikan bahwa kini BIMP-EAGA (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area) berjalan cukup aktif dan sudah ada cukup lama. “Saya pikir dengan pindah ke Nusantara ini, itu akan mengalihkan fokus dan akan mengarahkan banyak hal penting pada sumber daya di pulau itu,” tuturnya.

Disampaikan juga bahwa jumlah kapal di Selat Malaka terus meningkat dari tahun ke tahun dan harus melakukan sesuatu untuk mengontrol kecelakaan kedepannya. Hal tersebut tentu menjadi tugas semua anggota ASEAN dan pengguna internasional untuk fokus agar dapat mengatasi masalah ini.

Narasumber berikutnya, Prof. Amparo Pamela Fabe dari National Police College, Philippines, menyampaikan cara memperkuat keamanan Maritim Filipina, yakni dengan keterlibatan Filipina dalam kerja sama dan pelatihan di Asia Tenggara.  

Filipina juga sangat antusias dengan latihan Maritim bersama ASEAN yang pertama kali akan diadakan pada bulan September mendatang. Hal ini, menurut Prof. Amparo Pamela Fabe, akan mengarah pada operasi interoperabilitas yang lebih baik dengan negara-negara ASEAN lainnya, lalu pengaturan komunikasi dan koordinasi yang lebih baik, dan sistem berbagi intelijen yang lebih dalam tentang ancaman keamanan maritim yang terus berkembang.

Prof. Amparo Pamela Fabe juga menyampaikan bahwa Filipina menghargai kemitraan keamanan strategis maritimnya serta keterlibatannya dengan mitra regional tambahan karena mengetahui dengan baik bahwa keyakinannya dengan sekutu pertahanannya terjalin erat. Pendekatan pemerintah terhadap tantangan keamanan maritim terukur dan bijaksana, mulai dari diplomasi hingga konsultasi pertahanan pelatihan tenaga kerja, latihan bersama, patroli bersama, serta akuisisi dan pengadaan aset Maritim. “Filipina mendukung kerja sama regional dan diplomasi lunak untuk mendorong masa depan maritim yang stabil dan makmur,” ujarnya.

Sedangkan narasumber terakhir, Senior Fellow and Coordinator of the Maritime Security Program, Institute of Defence and Strategic Studies - RSIS, Singapore Ms. Jane Chan Git Yin, menyampaikan beberapa tren tentang tema yang berlangsung. 

Tren pertama, Ms. Jane Chan Git Yin menganggap bahwa semua pemangku kepentingan setuju dengan tiga proposisi tentang aspirasi untuk perdamaian di laut yang hanya bisa dicapai jika ada hukum internasional. Tren kedua dalam domain maritim, hukum ditempatkan di antara hal-hal lain UNCLOS. Oleh karena itu, UNCLOS harus dilindungi. Kemudian tren ketiga dalam hal sengketa antar negara tentang penafsiran dan penerapan UNCLOS, sengketa tersebut harus diselesaikan secara damai sesuai dengan hukum internasional.

Berbicara tentang konteks Asia Tenggara, Ms. Jane Chan Git Yin melihat semua keamanan maritim regional sebagian tergantung pada pengembangan global dan sebagian pada yang lokal. Daerah maritim yang inklusif didirikan berdasarkan aturan dan norma internasional meletakkan dasar untuk menyimpan dan keamanan. Hal tersebut sangat penting untuk perkembangan regional yang berkelanjutan dan kemakmuran.

Lebih lanjut, Ms. Jane Chan Git Yin juga menyampaikan bahwa ketentuan tentang zona maritim disusun dengan cara memastikan bahwa langit-langit utama tetap terbuka untuk kapal angkatan laut di atas kapal komersial. Bagi Asia Tenggara, hal yang menarik adalah zona ekonomi eksklusif yang digunakan secara ketat untuk navigasi internasional dan jalur laut kepulauan. Dalam visi dunia ini, kita dapat mengharapkan sedikit kerja sama dan risiko tinggi merusak lembaga regional dan konflik.

Melanjutkan paparannya, Ms. Jane Chan Git Yin membahas Asian Maritime Outlook (AMO). AMO merupakan alat terbaru dalam toolkit ASEAN yang akan segera online dengan sangat cepat. Menurutnya, hal tersebut bisa menguraikan prioritas maritim ASEAN dan memiliki peluang untuk menciptakan agenda maritim bersama yang akan menjadi lebih jelas. “Dan ini akan penting karena ini akan membantu kerjasama maritim yang berpusat antara ASEAN dan mitra regional ekstra kita termasuk organisasi multilateral,” pungkasnya. (SP/BIA)


Sejumlah narasumber yang hadir pada sesi kedua Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 pada Rabu (14/6), di Hotel Borobudur, Jakarta, yaitu Vice President for Academic Affairs and Dean of Students of the National Defense College of the Philippines Dr.  Alan Ada Lachica, Commandant of the Singapore  Armed  Forces Training Institute (SAFTI) BG Tan Tiong Keat, Research  Officer,  East Sea Institute,  Diplomatic Academy of Vietnam,  Ministry of Foreign Affairs  of Vietnam Mr. Do Manh Hoang (Hoang Do).

Dalam sesi yang membahas konektivitas maritim dan stabilitas kawasan, Alan Ada Lachica menyatakan bahwa sengketa di Laut China Selatan merupakan konvergensi dari benturan kepentingan nasional di antara negara-negara yang bersengketa. Isu tersebut, menurutnya menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh ASEAN.

Terkait hal tersebut, Alan Ada Lachica memandang ASEAN harus memainkan peran sentral dalam isu tersebut. “ASEAN tidak boleh kehilangan peran sentralnya dalam menciptakan Laut Cina Selatan yang damai dan stabil,” ujarnya. Diakuinya, hal tersebut menjadi tugas yang berat untuk menyatukan negara-negara anggota ASEAN ditengah perbedaan kepentingan yang ada.

Namun, menurut Alan Ada Lachica, sentralitas ASEAN sangat penting karena memberikan ASEAN kekuatan untuk mengendalikan dan mengatur agenda kawasan, meningkatkan reputasi ASEAN, serta meningkatkan kredibilitas ASEAN dalam mengoordinasikan dan memimpin. “Sentralitas ASEAN dapat mencegah kekuatan luar untuk memanipulasi atau membajak program dan inisiatif ASEAN,” terangnya.

Oleh karena itu, Alan Ada Lachica menekankan bahwa ASEAN perlu menemukan cara untuk memproyeksikan sikap bersatu, bukan untuk melawan negara atau pihak tertentu, tapi untuk menciptakan supremasi hukum dan membentuk tatanan berbasis aturan di Laut China Selatan. “Pembentukan tatanan berbasis aturan hukum di Laut Cina Selatan harus menjadi tujuan untuk mengurangi ketegangan dengan mematuhi aturan dan norma yang telah disepakati,” tegasnya. Dirinya juga melihat berbagai mekanisme seperti ARF, Asean Plus Three, EAS, ADMM-Plus, dan pengadopsian Code of Conduct (COC) juga dinilai perlu diperkuat.

Sejalan dengan Alan Ada Lachica, Commandant of the Singapore Armed Forces Training Institute (SAFTI) BG Tan Tiong Keat memandang pentingnya sentralitas ASEAN. Dengan sentralitasnya, ASEAN dapat menyediakan banyak jalan bagi negara-negara untuk menyelenggarakan dialog dan kolaborasi, salah satunya melalui ADMM-Plus. ASEAN dapat membuat platform seperti ADMM-Plus memiliki daya tarik yang baik dengan banyak pemangku kepentingan.

Keberadaan ADMM-Plus, dinilai Tan Tiong Keat akan memberikan dialog konstruktif serta kerja sama praktis dengan mitra regional tambahan, termasuk Tiongkok dan AS. Hal tersebut dapat mendukung upaya kolaboratif antarpihak yang dipandang sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas dan memastikan bahwa perdagangan serta konektivitas maritim dapat terus berlanjut.

Di sisi lain, ASEAN dinilai perlu memperluas keterlibatannya dengan menyertakan semua pemangku kepentingan utama maritim. Salah satunya dapat dilakukan dengan memperluas Code for Unplanned Encounters at Sea (CUES). Saat ini CUES hanya berlaku untuk Angkatan Laut ASEAN, tetapi diharapkan CUES dapat melibatkan pihak yang lebih banyak seperti penjaga pantai dan Badan Penegakan Hukum Maritim.

Penegakan ketertiban internasional berbasis aturan juga menjadi kunci untuk menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan. Salah satunya dapat dilaksanakan melalui UNCLOS 1982. “Selama beberapa dekade, UNCLOS telah menciptakan ketertiban di perairan. UNCLOS telah menghasilkan solusi bersama yang konstruktif,” ujar Tan Tiong Keat.

Dalam kesempatan tersebut juga, Research Officer of the East Sea Institute, Diplomatic Academy of Vietnam, Ministry of Foreign Affairs of Vietnam Mr. Do Manh Hoang (Hoang Do) menjelaskan pentingnya kontribusi potensial melalui penggunaan Maritime Domain Awareness (MDA) Initiative. Kemampuan MDA di masa depan dinilai berpotensi untuk mengintegrasikan berbagai sumber informasi yang lebih baru.

MDA juga memungkinkan dilakukannya penggalian domain lebih baru, penemuan sumber daya baru untuk pengembangan, melacak kenaikan permukaan laut. Dapat dikatakan bahwa MDA adalah teknologi masa depan, sehingga pengetahuan cara mengelola dan menggunakannya dapat menjadi bonus besar bagi ASEAN.

Selain mengintegrasikan banyak data, MDA dinilai dapat meningkatkan kerja sama koordinasi. “Program MDA dapat membantu meningkatkan kerja sama koordinasi, tidak hanya diantara anggota ASEAN tetapi diantara lembaga yang berbeda,” kata Do Manh Hoang. Oleh karena itu, menurutnya harus ada gambaran jelas terkait program MDA yang disampaikan sebagai informasi publik kepada masyarakat ASEAN.

Mengakhiri sesinya, Do Manh Hoang memproyeksikan ASEAN di masa depan tidak hanya menjadi penerima MDA, tetapi ASEAN juga berpotensi memberikan bantuan untuk menghubungkan semua mitra MDA bahkan memperluas cakupan partisipasi. Dalam mewujudkan hal tersebut, ASEAN dapat menggunakan platform seperti ADMM-Plus atau memperluas Forum ASEAN Maritim. “Kita dapat menggunakan semua koneksi yang sudah kita miliki untuk menghidupkan ASEAN sebagai hub (pusat) MDA,” pungkasnya. (NA/BIA)


Dalam session II Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 pada Kamis (15/6), di Hotel Borobudur, Jakarta, mengangkat sub-tema “Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone/SEANWFZ)”.

Diangkatnya sub-tema tersebut karena memandang sentralitas ASEAN akan diuji lebih lanjut oleh beberapa kemitraan keamanan maritim yang baru dibentuk di sekitar Asia Tenggara sebagai upaya untuk menyeimbangkan kekuatan Tiongkok di kawasan ini. Salah satu kemitraan tersebut sedang mengerjakan proyek kapal selam bertenaga nuklir untuk melawan pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik. Proyek tersebut dapat menjadi tantangan yang lebih besar bagi ASEAN, karena komitmennya untuk mempertahankan lingkungan yang bebas nuklir.

Selain itu, dalam hal keamanan militer di kawasan, memang negara-negara ASEAN tidak secara langsung terlibat dalam ketegangan kekuatan maritim di Indo-Pasifik, namun arena geopolitik negara-negara besar ini terjadi di Laut China Selatan dan titik-titik lainnya di kawasan Asia Tenggara. Hal ini membuat terjadinya pergeseran fokus perhatian dari kemakmuran ke keamanan.

Mengawali paparannya, Senior Lecturer, Strategic Studies and International Relations Program of the National University of Malaysia Dr. Chiew-Ping Hoo selaku narasumber menjelaskan bahwa SEANWFZ merupakan perjanjian zona bebas senjata nuklir di dunia yang mencakup laut teritorial, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif, perairan kepulauan, dan semua zona maritim seperti yang diklaim oleh negara-negara anggota ASEAN.

“Ini juga satu-satunya perjanjian zona bebas senjata nuklir di dunia, sejauh ini, yang tidak memiliki kekuatan utama khususnya negara-negara senjata nuklir yang menandatangani dan setuju dengan protokol kita,” kata Dr. Chiew-Ping Hoo.

Pada kesempatan tersebut, Dr. Chiew-Ping Hoo juga menyoroti berbagai organisasi yang telah didirikan ASEAN, diantaranya Komite Eksekutif Perjanjian SEANWFZ, Jaringan Badan Regulasi ASEAN tentang Energi Atom (ASEANTOM), Jaringan Kerja Sama Energi Nuklir ASEAN Sub Sektor Network (NEC-SSN), dan Forum Regional ASEAN. Menurutnya, organisasi dan forum tersebut dapat dijadikan sebagai jembatan berdialog terkait pelucutan senjata dan untuk meyakinkan negara-negara senjata nuklir terkait niat ASEAN untuk tetap bebas senjata nuklir.

“Saya pikir ASEAN dapat memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan oleh komisi SEANWFZ untuk mengusulkan untuk menginstitusionalisasikan bentuk mekanisme konsultatif dengan negara-negara senjata nuklir,” ucap Dr. Chiew-Ping Hoo. Diharapkannya, Amerika Serikat dan negara-negara senjata nuklir lainnya mau untuk bergabung ke dalam menyetujui protokol SEANWFZ, seperti China yang baru-baru ini setuju untuk menandatangani perjanjian SEANFWZ dan protokolnya.

Sementara, menurut Dr. Aaron Jed Rabena, dalam menghadapi SEANWFZ, ASEAN perlu lebih banyak bertindak dengan Code of Conduct (COC). ASEAN juga perlu menentukan banyak hal, seperti bagaimana memfasilitasi perjanjian pengendalian senjata antara AS dan Tiongkok serta perjanjian pengendalian senjata antara AS, Rusia, dan Tiongkok. Selain itu ASEAN juga bisa menyusun beberapa skenario diantaranya bagaimana jika Taiwan menggunakan nuklir, bagaimana jika kapal selam Australia menjadi bersenjata nuklir, apakah akan ada pertemuan lainnya selain AUKUS dan QUAD.

“Jika ASEAN menganut prinsip non-intervensi, maka tidak perlu khawatir dengan apa yang dilakukan negara lain seperti AUKUS atau QUAD. Tapi tentu saja ada implikasi keamanan karena itu ASEAN peduli,” kata Research Fellow Asia Pacific Pathways to Progress Foundation Inc, The Philippines Dr. Aaron Jed Rabena selaku narasumber dalam sesi tersebut.

Menyoroti hal tersebut, Dr. Aaron Jed Rabena menyarankan agar ASEAN dapat berusaha memposisikan diri menjadi tiang dalam persaingan strategis antara AS dengan Tiongkok. Posisi tersebut menjadi penting karena persaingan yang terjadi tidak hanya berdampak pada AS dengan Tiongkok, tetapi kepada dunia. Oleh karena itu, kekuatan kecil dan menengah perlu terhubung satu sama lain dan memperkuat diri, termasuk ASEAN.

“Menurut saya, ASEAN adalah pemain geopolitik. Kekuatan ekonomi kolektif ASEAN berarti kekuatan ekonomi dan jika ASEAN dapat membuat kekuatan lain bergantung padanya dan bukan sebaliknya, maka menurut saya ASEAN akan lebih aman,” pungkas Dr. Aaron Jed Rabena.

Di sisi lain, Senior Fellow Regional Strategic and Political Studies Programme ISEAS - Yusof Ishak Institute, Singapore, Dr. William Choong lebih fokus terhadap keberadaan AUKUS dan implikasinya di Asia Tenggara. Menurutnya, jika berbicara tentang bagaimana Asia Tenggara tidak memiliki kemampuan militer untuk memastikan perdamaian dan stabilitas, kemampuan proyeksi kekuatan Australia akan membantu menjaga keseimbangan kekuatan dan Australia tidak berusaha untuk memperoleh senjata nuklir. “Oleh karenanya AUKUS tidak melanggar SEANWFZ atau komitmen kamera terhadap NPT,” kata Dr. William Choong.

Menyoroti hal tersebut, Dr. William Choong berpendapat bahwa keberadaan AUKUS akan tetap ada, namun tidak se-mengancam yang dipikirkan. “AUKUS dan alun-alun serta semua sisi-sisi kecil ini ada di sini untuk tetap ada dan penting bagi kita untuk setidaknya sedikit tercerahkan bahwa ini bukan sesuatu yang seserius yang sebenarnya,” pungkas Dr. William Choong. (NA/BIA)


Dalam sesi pertama Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 pada Rabu (14/6), di Hotel Borobudur, Jakarta, menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Commandant of National Resilience College, Malaysia Maj Gen Datuk Mohd Nizam bin Hj Jaffar PSD PSAT DSDK PMW PAT SMP SDK KMN BCK PJM PNBB (Lebanon) MBA (Notts) Dip Strat (UKM) Fellow Scholar (NDUM) nrc CID psc; Deputy Director of the Naval Strategic Studies Center, Royal Thai Navy, Thailand Captain Dorne Tipnant; dan Senior Fellow at Center for Strategic and International Studies, Indonesia Ambassador Dr. Rizal Sukma.

Dalam sesi yang dimoderatori oleh Indonesian Ambassador for Australia 2003-2005 and China 2010-2013 Ambassador Prof. Dr. Imron Cotan, Maj Gen Datuk Mohd Nizam bin Hj Jaffar PSD PSAT DSDK PMW PAT SMP SDK KMN BCK PJM PNBB (Lebanon) MBA (Notts) Dip Strat (UKM) Fellow Scholar (NDUM) nrc CID psc, sebagai narasumber pertama, menyampaikan bahwa keamanan maritim ASEAN adalah masalah geopolitik yang melintasi multi batas. 

Datuk Mohd Nizam bin Hj Jaffar mengatakan bahwa area maritim ASEAN terbentuk menjadi fulcrum kompetisi kekuatan besar. “Dan ASEAN hanya memiliki satu pilihan yaitu bersatu menjadi sebuah entitas,” ujarnya. Menyinggung keamanan maritim, Datuk Mohd Nizam bin Hj Jaffar menilai kompleks, beragam, dan diperdebatkan. Dirinya melihat bahwa ASEAN memiliki kematangan dan mampu berdiri sendiri sehingga solidaritas menjadi sangat penting ketika geopolitik wilayah menjadi titik fokus dan persimpangan pengaruh.

Datuk Mohd Nizam bin Hj Jaffar ungkap beberapa hal yang dibutuhkan ASEAN diantaranya adalah efektivitas keamanan kooperatif regional, dialog efektif dengan konsensus dalam menyusun upaya atau rencana aksi, transparansi dan kemandirian, eksklusivitas, jaminan timbal balik, dan pemahaman konsep keamanan komprehensif. “Ini sangat penting karena keamanan Maritim adalah agenda utama dan akan tetap ada untuk tahun-tahun mendatang,” ungkapnya.

Kesempatan berikutnya, Deputy Director of the Naval Strategic Studies Center, Royal Thai Navy, Thailand Captain Dorne Tipnant menyampaikan tentang peran yang diwakili oleh sentralitas ASEAN di kawasan tantangan keamanan maritim. Dirinya memandang ada tiga area fokus dalam tantangan keamanan geomaritim, yakni keamanan, stabilitas, dan kemakmuran.

Keamanan dan stabilitas negara-negara ASEAN, jelas Dorne Tipnant menjadi prioritas bagi kepentingan maritim ASEAN karena setiap perairan merupakan kepentingan utama sehingga kolaborasi dan kerja sama sangat diperlukan. Oleh karena itu, ASEAN Maritime Forum (AMF) perlu mengambil peran dalam tatanan keamanan maritim dengan menyediakan platform untuk mengembangkan blok bangunan untuk kesadaran bersama untuk mengatasi nilai dan kepentingan bersama, untuk melihat keterlibatan konstruksi dan untuk diskusi di masa depan. 

Senior Fellow at Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia Ambassador Dr. Rizal Sukma, yang menjadi narasumber berikutnya menyampaikan ada enam tren yang harus diperhatikan dengan sangat hati-hati untuk kedepannya. Pertama adalah tentang perubahan sifat dan nilai dari laut dengan konsekuensi yang diakibatkan hubungan antara kekuatan-kekuatan besar. Kedua, masa depan laut juga akan ditentukan oleh hubungan antara Amerika Serikat dan China. Ketiga, semakin ramainya wilayah Indo-Pasifik seiring bergesernya pusat gravitasi geopolitik dan geoekonomi dunia ke wilayah tersebut. 

Kemudian tren keempat adalah seiring perubahan nilai laut dari ekonomi menjadi strategis, upaya untuk menemukan solusi terhadap sengketa maritim akan menjadi semakin sulit. Kelima, muncul karena adanya kekhawatiran keamanan tradisional yang meningkat. Sehingga, negara akan lebih fokus pada pemeliharaan keunggulan maritim, antara lain melalui kehadiran angkatan laut, pembentukan koalisi, penguatan aliansi, serta peningkatan militer. Dan keenam, terlihatnya peningkatan marginalisasi tantangan keamanan non-tradisional berbasis maritim dalam wacana akademik dan kebijakan. 

Sementara, Senior Fellow CSIS, Indonesia Ambassador Dr. Rizal Sukma yang juga menjadi narasumber, menyoroti tiga hal yang menjadi tantangan untuk dihadapi ASEAN. Pertama, melemahnya persatuan negara-negara ASEAN, yang saat ini terjadi polarisasi kelompok, yakni Pro AS, Pro Cina, Non-Block, dan Confused State. Kedua, berkurangnya peran ASEAN sebagai pengelola tatanan kawasan akibat lemahnya persatuan ASEAN dalam menangani konflik maupun persaingan di kawasan. Yang ketiga adalah pentingnya menjaga otonomi strategis ASEAN yang dipertegas dengan Asia Tenggara, Samudra Pasifik, dan Samudra Hindia yang akan menjadi mandala sentral di tengah persaingan kekuatan besar.

Mengakhiri paparannya, Rizal Sukma menyampaikan empat rekomendasi. Pertama, ASEAN perlu mempelajari bagaimana persaingan maritim yang sedang berkembang akan berdampak pada masa depan UNCLOS. Kedua, ASEAN perlu mencari ide-ide baru untuk mencapai terobosan dalam mengelola Laut China Selatan, terutama dalam mendorong penerapan code of conduct. Ketiga, ASEAN perlu merenungkan kelemahan-kelemahan di dalam institusinya, dan berusaha untuk memperkuatnya. Terakhir, ASEAN perlu mengusulkan East Asia Summit Plus tentang keamanan regional yang komprehensif sebagai kerangka baru untuk mengamankan dan memakmurkan wilayah (Indo-Pasifik). (SP/BIA)



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749