"Sebagai bangsa besar haruslah menjaga, memahami, dan mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan demi tetap tegak dan utuhnya NKRI,” kata Gubernur Lemhannas RI Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo dalam upacara pembukaan Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan bagi Birokrat, Akademisi, Tokoh Masyarakat, Organisasi Profesi, TNI dan Polri bertempat di Hotel The Papandayan, Bandung mulai Selasa, 10 Maret 2020 hingga Selasa, 17 Maret 2020.

Kekayaan Bangsa Indonesia yang memiliki ragam suku, budaya, bahasa, etnis, golongan dan agama merupakan kekuatan positif yang dapat mendukung pembangunan bangsa. Namun disisi lain, juga mengandung potensi konflik, yang bila tidak dikelola dengan baik dapat mengancam kelangsungan dan tetap tegak utuhnya NKRI.

Selain potensi konflik atas keberagaman, perkembangan lingkungan strategis global, regional dan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi era industri 4.0 dan era society 5.0, serta merebaknya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, menambah tantangan Indonesia. Tantangan tersebut adalah bagaimana merangkai keberlanjutan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak Bangsa Indonesia berdasarkan nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari empat konsensus dasar bangsa sebagai pijakan dalam merumuskan kebijakan nasional baik di bidang geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan keamanan.

Menurut Agus penting bagi generasi saat ini untuk mewariskan kepada generasi milenial dan generasi bangsa berikutnya, agar dapat mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan seperti berbagai manuver asing di perairan wilayah yurisdiksi nasional, munculnya berbagai konflik terkait isu SARA, merebaknya intoleransi, radikalisme, terorisme, dan fenomena degradasi moral. “Hal ini untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih maju, percaya diri, dan searah dengan cita-cita nasional dan tujuan nasional yang telah digariskan oleh para pendiri negara,” tutur Agus.

 

“Dengan dilaksanakannya Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan ini diharapkan dapat memupuk rasa, paham, dan semangat kebangsaan saudara sekalian untuk menjadi manusia berkarakter kebangsaan ke-Indonesia-an yang kuat,” ujar Agus.

Kegiatan tersebut merupakan salah satu jawaban Lemhannas RI terhadap permasalahan masa kini Bangsa Indonesia, yaitu memudarnya nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari empat konsensus dasar bangsa yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Sesanti Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, terutama di kalangan generasi penerus bangsa.

Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan tersebut bertujuan untuk mentransformasikan, menumbuhkan dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan kepada setiap komponen bangsa yang bersumber dari Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Diharapkan nilai-nilai kebangsaan tersebut dapat tercermin di dalam pemikiran, sikap dan perilaku setiap Warga Negara Indonesia, untuk memahami pentingnya mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Sistem peraturan perundang-undangan negara kita memerlukan penataan ulang secara mendasar dan masif, tumpang tindih regulasi baik dalam hubungan hierarki secara horizontal maupun vertikal disinyalir menjadi penghambat sektor tertentu yang berdampak pada pembangunan nasional. “Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah sedang berupaya melakukan penyederhanaan dengan mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, praktis, dan efisien melalui omnibus law,” tambah Kepala Biro Kerja Sama dan Hukum, Laksma TNI Budi Setiawan yang membacakan sambutan dari Sekretaris Utama Lemhannas RI, Komjen Pol Drs. Mochamad Iriawan, S.H., M.M., M.H. Dalam Sosialisasi Pembinaan Kesadaran Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan tentang “Kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Omnibus Law Dalam Sistem Hukum Nasional” yang diselenggarakan oleh Biro Kerja Sama dan Hukum Lemhannas RI selenggarakan pada Senin, 9 Maret 2020 di Auditorium Gadjah Mada, Gedung Panca Gatra, Lemhannas RI.

Budi juga mengatakan, sistem perundang-undangan tidak akan lepas dari sistem hukum yang berlaku di suatu negara, peraturan perundang-undangan seperti hukum tertulis merupakan bagian yang sangat penting dan ciri utama dari sistem hukum Civil Law sehingga dibutuhkan banyak sekali produk peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan negara, pembatasan kekuasaan, melindungi hak-hak warga negara, dan mengatur aspek kehidupan lainnya. 

Dr. Nasrudin, S.H., M.M. selaku Tenaga Ahli Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyampaikan, ada tiga tujuan hukum, yang pertama adalah kepastian hukum yang merupakan landasan ketentuan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintah. Kepastian hukum ini merupakan suatu latar belakang dibutuhkannya peraturan perundang-undangan agar masyarakat mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh, “Kalau tidak ada kepastian hukum masyarakat akan sulit mengetahui perbuatannya itu diperbolehkan atau tidak,” tambah Nasrudin. Kedua, Keadilan yang merupakan perlakuan yang sama sesuai dengan hak dan kewajibannya, dan yang terakhir adalah kemanfaatan yakni memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.

Menyambung pernyataan Nasrudin, Bivitri Susanti yang merupakan Ahli Hukum Tata Negara menjelaskan, aspek positif dari Omnibus Law yaitu Omibus Law baik untuk secara cepat merapikan dan mengharmonisasikan pengaturan-pengaturan yang tumpang tindih, bahkan bertabrakan satu sama lain tentang satu topik yang diatur dalam Undang-undang atau peraturan yang berbeda sehingga positif bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang membutuhkan perubahan dalam waktu cepat. 

Bivitri menyampaikan bahwa ada dua hal yang harus dijadikan kerangka besar, yang pertama dari segi kerangka konstitusional ia adalah produk legislasi yang harus berada dalam dua koridor yaitu koridor konstitusi yang harus dipenuhi, dan konstitusionalisme juga harus dipenuhi. “Karena ia (Omnibus Law) adalah undang-undang, maka tidak hanya konstitusi tapi ia juga harus tunduk betul di dalam UU nomor 12 tahun 2011,” tambah Bivitri. Omnibus Law harus mengikuti UU nomor 12 tahun 2011 dan tunduk pada Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, juga teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. 


“Ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa,” kata Deputi Bidang Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. membuka Focus Group Discussion (FGD) tentang Mencari Bentuk Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Era Globalisasi bertempat di Ruang Gatot Kaca, Senin, 9 Maret 2020.

Reni menjelaskan bahwa Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa. Namun, di sisi lain diharuskan adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Apabila Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus ideologi luar tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia sendiri yakni Pancasila malah terlupakan baik nilai-nilainya maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono, M.E., menjelaskan mengenai tantangan yang dihadapi saat ini. Tantangan pertama adalah banyaknya ideologi alternatif melalui media informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh anak bangsa seperti radikalisme, ekstremisme, konsumerisme. Hal tersebut juga membuat masyarakat mengalami penurunan intensitas pembelajaran Pancasila dan juga kurangnya efektivitas serta daya tarik pembelajaran Pancasila.

Kemudian tantangan selanjutnya adalah eksklusivisme sosial yang terkait derasnya arus globalisasi yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas, gejala polarisasi dan fragmentasi sosial yang berbasis SARA. Bonus demografi yang akan segera dinikmati Bangsa Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda di tengah arus globalisasi.

Pada kesempatan tersebut Dave juga memberikan rekomendasi implementasi nilai-nilai Pancasila di era globalisasi. Pertama, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang menarik bagi generasi muda dan masyarakat.

Rekomendasi selanjutnya adalah membumikan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan dan/atau pembelajaran berkesinambungan yang berkelanjutan di semua lini dan wilayah. Oleh karena itu, Dave menganggap perlu ada kurikulum di satuan pendidikan dan perguruan tinggi yaitu Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (P3KN). 

Menanggapi pernyataan Dave, Analis Kebijakan Direktorat Sekolah Menengah Atas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) Dr. Juandanilsyah, S.E., M.A., menjelaskan bahwa Pancasila saat ini diajarkan dan diperkuat melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dengan penekanan pada teori dan praktik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh perkembangan global juga berdampak pada anak-anak. 

Menurut Juan, Pancasila di masa mendatang akan mempertahankan otoritas negara dan penegakan hukum serta menjadi pelindung hak-hak dasar warga negara sebagai manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan kesadaran terhadap potensi bahaya gangguan dari luar yang dapat merusak dan mengajak siswa untuk mempertahankan identitas bangsa serta meningkatkan ketahanan mental dan ideologi bangsa.

“Seharusnya representasi sosial tentang Pancasila yang diingat orang adalah Pancasila ideologi toleransi, Pancasila ideologi pluralisme, dan Pancasila ideologi multikulturalisme,” kata Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Moeloek.

Representasi sosial tentang Pancasila yang dimaksud adalah kerangka acuan nilai bernegara dan berbangsa yang menjadi identitas Bangsa Indonesia. Hamdi menjelaskan bahwa jika Pancasila menjadi acuan, maka implementasi nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah terlihat dalam praktik bernegara, misalnya saat pengambilan kebijakan-kebijakan politik. Selanjutnya Hamdi menjelaskan bahwa terlihat Pancasila bisa memberikan solusi di tengah adanya beragam ideologi seperti sosialis dan liberal serta di tengah usaha politik identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan.


Menteri Agama, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi Batubara menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Panel Pancasila PPRA 60 dengan tema “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Indonesia Menghadapi Fundamentalisme Agama” pada Jumat, 6 Maret 2020 di Ruang NKRI, Gedung Panca Gatra Lantai 3, Lemhannas RI. Selain Fachrul, diskusi panel tersebut juga dihadiri oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, dan Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kemensetneg RI, Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum.

Mayjen TNI Achmad Yuliarto, S.Sos., MAP. sebagai moderator menyampaikan bahwa Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila tidak cukup untuk sekedar dimengerti dan dipahami tetapi nilai-nilai tersebut harus diterapkan atau diimplementasikan dan diamalkan dalam segenap kehidupan masyarakat sehingga mampu mengantar bangsa Indonesia mencapai cita-citanya yaitu masyarakat yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 

Dalam paparannya yang berjudul “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Beragama,” Fachrul juga menyampaikan bahwa topik tersebut sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, karena gerakan dan paham keagamaan fundamentalis marak di masyarakat Indonesia. 

Fachrul menyampaikan, Presiden Jokowi menekankan arti penting cara pandang dan sikap beragama yang moderat, “Hal ini penting sebagai modal bagi pembangunan nasional. Karakter kepribadian umat beragama yang moderat, akan menciptakan suasana sosial yang aman dan damai, sehingga hal itu memungkinkan berbagai aktivitas lainnya seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam akan berjalan dengan baik, persaingan politik sehat dan laju pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat,” sambung Fachrul. Kementerian Agama juga memiliki program yang disebut “Moderasi Beragama”, “Kami selalu garis bawahi yang kita moderatkan itu bukan agamanya, tetapi kehidupan beragamanya,” tambah Fachrul. 

Kementerian Agama juga merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) melalui litbangnya, KUB ini berdasarkan kepada tiga indikator besar, yaitu toleransi, kesetaraan dan kerja sama. Tujuan dari indeks KUB ini adalah untuk memberikan masukan pada pemerintah tentang kondisi kerukunan umat beragama di masyarakat sebagai wujud implementasi nilai-nilai Pancasila terutama sila pertamanya. Semakin tinggi indeks KUB maka semakin bagus nilai implementasi Pancasila dalam kehidupan beragama di Indonesia. 

Selama lima tahun terakhir, angka rata-rata indeks KUB selalu berada di atas angka 70, atau pada kategori tinggi hal ini menunjukkan bahwa kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia adalah baik. 

“Terakhir, Saya menghimbau pada semua untuk senantiasa menjunjung tinggi toleransi dengan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu atau golongan, juga untuk saling bekerjasama,” ujar Fachrul. 



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749