Founder of Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dr. Dino Patti Djalal memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62, Rabu (5/5). Pada kesempatan tersebut, Dino mengangkat topik Indonesia dan Keamanan Global: Mengarungi Dunia Sarat Ancaman dan Peluang.

Memulai paparannya, Dino menyampaikan bahwa saat ini dunia masuk dalam masa yang dinamakan perang dingin kedua atau bisa juga disebut sebagai hot peace. “Tidak sama dengan perang dingin dulu, tapi tetap saja diwarnai oleh rivalitas,” kata Dino. Beberapa ciri hot peace adalah adanya pergeseran kekuatan, rivalitas strategis, persaingan pengaruh politik, zero sum mindset, dan proxy war (perang proksi). Satu hal yang menonjol adalah perang proksi yang saat ini lebih marak dibanding perang konvensional.

“Sekarang ini ancaman non-tradisional itu lebih menonjol dari ancaman konvensional,” ujar Dino. Hal yang lebih mengancam saat ini adalah health security, environmental security, climate security, dan cyber security. Menurut Dino, ancaman non-tradisional sudah dibicarakan sebelumnya, tapi lebih sebagai teoretis dan konseptual. Pandemi Covid-19 membuktikan bahwa ancaman non-tradisional lebih dominan dan perlu dijadikan refleksi untuk mengkaji apa lagi ancaman tradisional yang akan muncul. “Kita perlu suatu kemampuan untuk benar-benar mengkaji kembali konsep pertahanan kita, keamanan kita, agar bisa lebih adaptif terhadap ancaman-ancaman baru dan real ini,” ujar Dino.

“Ancaman yang kita hadapi sebagian besar adalah ancaman di mana pengalaman kita masih minim dan belum sepenuhnya siap untuk menghadapinya,” ujar Dino. Dino berpendapat bahwa pandemi Covid-19 adalah salah satu contoh terbaik. Ancaman tersebut jelas, sangat nyata, dan menjadi pandemi. Namun, ancaman tidak hanya datang dari pandemi Covid-19 saja, tapi juga masalah siber dan ancaman iklim juga harus diwaspadai. Bahkan Dino berpendapat bahwa ancaman iklim adalah ancaman terbesar bagi bangsa Indonesia sepanjang sejarah dan ancaman bagi seluruh umat manusia. Namun, pemerintah dirasa belum sadar sepenuhnya atas hal tersebut. “Susah kita membayangkan keamanan, ketahanan, dan keselamatan bangsa Indonesia kalau kita menganggap remeh apalagi tidak memedulikan masalah climate security, yang merupakan biang dari segala masalah,” ujar Dino.

Lebih lanjut Dino menjelaskan nasionalisme Indonesia terbentuk karena harus melawan penjajah yang merupakan musuh.  Namun, realita saat ini Indonesia tidak mempunyai musuh bahkan dipandang sebagai strategic prize. Karena negara mana pun yang berseteru, posisi Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang perlu ditaklukkan, tapi dianggap sebagai negara yang harus dirangkul agar bisa berhubungan baik. “Posisi strategis kita perlu dipahami dengan jelas sekali,” kata Dino.

Dino berpendapat bahwa hal tersebut merupakan perkembangan strategik yang paling penting dalam beberapa dekade terakhir. “Posisi kita adalah posisi ideal sekarang,” ujar Dino. Oleh karena itu, politik bebas aktif menjadi sangat penting. Menurut Dino, saat kehilangan politik bebas aktif, Indonesia akan kehilangan strategic prize yang sangat unggul dan menguntungkan Indonesia. “Intinya adalah kita harus cerdik sekarang,” ujar Dino.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi Pembina Upacara Pelantikan dan Pengangkatan Sumpah Janji Pejabat Eselon I dan II serta Pelepasan Pejabat Eselon I Lemhannas RI, Senin (3/5). Pelantikan dan Pengangkatan Sumpah Janji serta Pelepasan tersebut berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Lemhannas RI Nomor 61 Tahun 2021 Tanggal 29 Maret 2021, Surat Keputusan Gubernur Lemhannas RI Nomor 34 Tahun 2021 tanggal 8 Februari 2021, Surat Keputusan Gubernur Lemhannas RI Nomor 88 Tahun 2021 tanggal 28 April 2021, dan Surat Keputusan Gubernur Lemhannas RI Nomor 89 Tahun 2021 tanggal 28 April 2021.

“Pelantikan dan pengangkatan pejabat dalam suatu organisasi bukan sekedar kepercayaan dan kehormatan semata, tetapi juga merupakan amanah,” kata Agus. Oleh karena itu, Agus berpesan kepada para pejabat yang baru saja dilantik agar melaksanakan amanah tersebut secara sungguh-sungguh, ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab dengan melakukan yang terbaik bagi Lemhannas RI.

Pada kesempatan tersebut Agus mengucapkan selamat kepada lima Perwira Tinggi TNI dan satu ASN yang dilantik menjadi Pejabat Eselon I, empat Perwira Tinggi TNI yang dilantik menjadi Pejabat Eselon II, dan dua Perwira Menengah TNI yang dilantik menjadi Pejabat  Eselon II. “Jadikan tugas sebagai amanah, tanggung jawab dan kehormatan yang dijunjung setinggi-tingginya,” ujar Agus. Lebih lanjut Agus menyatakan bahwa dengan bekal pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, Agus yakin pada pejabat yang dilantik mampu berperan aktif dan menerapkan standar tinggi dalam bekerja, menularkan komitmen kuat pada semua lini untuk mengubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) yang berorientasi pada efisiensi, efektivitas, produktivitas dan profesionalisme.

“Kepemimpinan dan keteladanan saudara sangat menentukan sukses dan lancarnya program maupun sasaran organisasi, karena sikap pimpinan sangat menentukan sikap bawahan dan pegawai lainnya,” tutur Agus. Oleh karena itu, Agus menegaskan bahwa semua yang hadir dalam upacara tersebut, terlebih bagi pejabat yang baru dilantik, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi fasilitator, motivator dan panutan dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Agus juga menyampaikan bahwa upacara tersebut juga dimaksudkan untuk melepas beberapa pejabat eselon I dari jabatan struktural Lemhannas RI. Dalam kesempatan tersebut, Agus mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada empat Perwira Tinggi TNI tersebut. “Atas pengabdian dan kerja keras saudara selama ini, kinerja dan prestasi saudara tentu saja menjadi inspirasi bagi generasi penerus di Lemhannas RI,” kata Agus.

Salah satu Perwira Tinggi TNI yang dilantik menjadi Pejabat Eselon I adalah Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. yang menjabat sebagai Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI.


Direktur Pengkajian Ideologi dan Politik Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Drs. Berlian Helmy, M.Ec. menjadi pembicara dalam Seminar “Nasionalisme, Semangat Kebangsaan, Pertahanan dan Gotong Royong dalam Membangun Negeri” yang diselenggarakan oleh Podomoro University, Selasa, 4 Mei 2021.

“Negara kita sedang memerlukan perubahan mental dalam pemikiran kita, dalam wawasan kita, untuk bisa bertransformasi diri menuju sebuah bangsa yang unggul” kata Berlian. Lebih lanjut Berlian menjelaskan pentingnya menjadi bangsa yang unggul, karena saat ini peta persaingan global sangat deras dan kompleks, sehingga jika tidak melakukan perubahan mental maka akan tergerus dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, Berlian menyampaikan bahwa bangsa Indonesia harus pandai, cerdas, cermat dan cerdik dalam merespons dinamika perubahan lingkungan eksternal secara lebih sistematis dan lebih intelektual.

Pada kesempatan tersebut, Berlian juga menyampaikan bahwa dalam era kekinian, nasionalisme tidak bisa hanya dipandang sebagai nasionalisme sempit yang menutup diri dan mengasingkan diri. Berlian menjelaskan bahwa nasionalisme dalam era kini secara pikiran lebih terbuka dan memperkaya diri terhadap nilai-nilai luar yang memperkaya khazanah nilai-nilai kebangsaan dan menambah pengembangan diri dalam nilai-nilai peradaban sehingga menjadikan bangsa nasionalis yang maju ke depan dan unggul dalam segala hal. “Oleh karena itu nasionalisme tidak hanya cukup jika wujud pemikiran dan jiwa nasionalis kita tidak didukung semata-mata dengan dasar semangat kebangsaan,” ujar Berlian.

Menurut Berlian jiwa semangat nasionalisme yang tinggi jika tidak diimbangi dengan rasa nilai kebangsaan yang seimbang hanya akan menghasilkan nasionalisme semu dan nasionalisme fiktif yang hanya ada dalam angan-angan dan tidak menjiwai ke dalam jiwa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa nasionalisme dan kebangsaan adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain.

Berlian berpendapat bahwa sebagai generasi penerus, mahasiswa yang menjadi peserta dalam seminar tersebut harus cerdas, cermat, dan cerdik dalam membaca situasi ke depan. Apalagi dalam menghadapi kompleksitas global di tengah situasi geopolitik dan geoekonomi yang semakin tidak menentu. “Kita harus pandai-pandai dalam mengambil langkah strategis dalam mengukur diri kita, dalam mengukur diri kemampuan kita, untuk sanggup atau tidak menghadapi ancaman yang sangat kompleks dan sangat berisiko,” tutur Berlian.

Oleh karena itu, modal nasionalisme dan kebangsaan saja tidak cukup, tetapi perlu juga diperkuat dan didukung dengan benteng pertahanan negara yang semesta, yang perlu diperkuat dan dibangun dari asas gotong royong. “Jadi keterkaitan nasionalisme, kebangsaan, pertahanan, dan gotong royong, itu saling kait mengkait satu sama lain, karena merupakan salah satu mata rantai yang memperkuat eksistensi bangsa dalam menghadapi gelombang ketidakpastian global yang semakin nyata,” kata Berlian.

Dalam kesempatan tersebut, Berlian juga menyampaikan harapannya kepada mahasiswa dalam belajar dalam dunia kampus nanti dapat berpikir lebih transformasional dan informatif dalam membuat rancangan strategi ke depan bagi bangsa agar unggul dalam persaingan yang semakin ketat. Berlian berpendapat bahwa kampus adalah salah satu benteng penumbuhan nasionalisme, kebangsaan, dan gotong royong. Berlian menegaskan bahwa jika mahasiswa mempunyai modal nasionalisme yang kuat dan sadar akan rasa kebangsaan serta didukung dengan gotong royong yang masif dengan pemikiran yang berlandaskan semangat Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia akan berada dalam posisi lebih atas dibandingkan negara berkembang lainnya.


Menteri Perdagangan Republik Indonesia periode 2011-2014 Gita Wirjawan memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62, Jumat, (30/4). Dalam kesempatan tersebut Gita mengangkat topik mengenai Ekonomi Politik Global Kontemporer.

“Dunia sudah sangat berubah dalam 15 bulan terakhir ini,” ujar Gita. Gita menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 merupakan fenomena yang mengguncang dunia, lebih dari 150 juta manusia sudah terdampak. Lebih spesifik Gita menyampaikan bahwa di Asia Tenggara sudah lebih dari 3 juta manusia yang terdampak di mana Indonesia mewakili kurang lebih sebanyak 50% dan dari sisi angka kematian Indonesia mewakili kurang lebih sebanyak 68% yaitu sekitar 40.000 orang dari total angka kematian di Asia Tenggara sekitar 60.000 orang. Padahal populasi Indonesia kurang lebih sebanyak 44% dari total populasi Asia Tenggara, namun angka kematian dan angka terdampak yang ada di Indonesia melebihi persentase semestinya. Menurut Gita hal tersebut tidak proporsional dengan representasi Indonesia dalam konteks ASEAN dari sudut ekonomi dan sudut populasi. “Ini harus sangat kita sikapi kalau kita mau menjurus ke pemulihan ekonomi yang komprehensif,” kata Gita.

“Pemulihan ekonomi ini sangat berkorelasi dengan secepat apa atau sejauh mana masing-masing negara itu bisa melakukan testing atau pun vaksinasi,” ujar Gita. Lebih lanjut Gita menyampaikan mengenai beberapa keadaan yang dapat digambarkan dari era pasca pandemi Covid-19. Gita berpendapat bahwa akan terlihat secara berkesinambungan penurunan daya beli dalam 2 sampai 3 tahun ke depan. Hal tersebut sangat membuahkan deselerasi pertumbuhan ekonomi. Menurut Gita, ekonomi akan tumbuh tapi pertumbuhannya akan lebih lambat dari sebelum-sebelumnya. Selanjutnya yang akan juga terjadi adalah penurunan produksi dan penurunan produktivitas, ini dikarenakan pematahan rantai pasokan. Pemulihan rantai pasokan akan berdampak pada pemulihan daya beli. Kemudian keadaan yang akan terjadi juga adalah peningkatan aktivitas utang yang terjadi baik di tingkat individu, di tingkat korporasi, maupun di tingkat negara. Keadaan yang juga dapat digambarkan pada era pasca pandemi Covid-19 adalah model bisnis yang lebih merangkul digitalisasi.

Pada kesempatan tersebut, Gita juga menyampaikan bahwa disrupsi inovasi sudah sangat terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa hal yang dapat diantisipasi dalam 5 sampai 10 tahun ke depan terkategorisasi dalam 5 kelompok, yakni blockchain, genome sequencing, artificial intelligence, robotics, dan energy storage.

Selanjutnya Gita menyampaikan ilustrasi bagaimana untuk bertahan ke masa depan, yakni dibutuhkan kecerdasan, kecepatan, dan kerendahan hati. Kecerdasan sangat dibutuhkan baik oleh individu, korporasi, ataupun oleh negara. Dengan kecerdasan dapat memilah di antara tren yang sifatnya sekuler atau pun siklus dan tren jangka pendek atau pun jangka panjang. Kecerdasan juga membuat manusia dapat beradaptasi dengan paradigma, inovasi, dan evolusi yang begitu pesat. Kemudian kecepatan yang terkait dengan respons terhadap berbagai hal yang datang, kecepatan juga berkorelasi dengan kualitas SDM. “Semakin kita berkualitas dari sisi SDM, semakin kita bisa memberikan respons dengan kecepatan yang lebih tinggi dan juga sistem pengambilan keputusan yang sifatnya jauh lebih horizontal dibandingkan vertikal,” kata Gita.

Terakhir adalah kerendahan hati yang harus selalu ditanamkan. Bukan hanya harus sopan dan santun, tapi juga harus lebih membumi untuk bisa merasakan pergerakan perubahan dan pergeseran tren-tren yang nyata, bukan hanya dalam konteks sosioekonomi tapi juga dalam konteks teknologi. “Saya rasa hal-hal seperti itu sangat sudah dan akan terus membentuk atau me­-reshape pola pikir manusia ke depan sehingga at the end of the day Indonesia itu bisa menjadi kekuatan tengah yang sangat relevan dalam konteks geopolitisasi dunia yang semakin complicated,” kata Gita.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749