Persatuan Istri Anggota Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Perista Lemhannas RI) menggelar kegiatan “Understanding You: Makes More Confidence than Before” dengan narasumber Dodi Rustandi dari STIFIn pada Rabu (15/9). Dalam sambutannya, Plt. Ketua Perista Lemhannas RI Lisa Wieko Syofyan menyampaikan bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan berkaitan dengan program kerja bidang pendidikan Perista Lemhannas RI. “Saya berharap apa yang disampaikan oleh Bapak Dodi Rustandi nantinya akan bermanfaat bagi kita semua,” kata Lisa.

STIFIn adalah akronim dari Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling dan Insting yang merupakan sebuah konsep mesin kecerdasan manusia berdasarkan sistem operasi otak yang dominan dan dapat diketahui dengan memindai sidik jari. STIFIn mengelompokkan menjadi 5 mesin kecerdasan, yakni Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling dan Insting.

“Setiap orang berhak untuk sukses,” kata Dodi Rustandi. Lebih lanjut Dodi menjelaskan mengenai teori FGL, yakni Fenotip, Genetik, dan Lingkungan. Teori tersebut menjelaskan bahwa 100 % Fenotip atau keadaan saat ini dibangun dari 20% Genetik yang bersifat tetap ditambah 80% pengaruh lingkungan yang sifatnya bisa berubah. Oleh karena itu, penting untuk mencari tahu mengenai genetik karena genetik merupakan hal yang tidak dapat diubah. “Ini sering terabaikan karena porsinya sedikit, padahal hal ini pokok. Hal ini juga yang menjadi kekuatan seorang ibu memahami anaknya,” kata Dodi.

“Otaklah yang memimpin, otaklah yang menjadi pengetahuan bagaimana karakter kita ini, perilaku kita ini secara given-nya itu seperti apa,” ujar Dodi. Dalam materi STIFIn dijelaskan bahwa bagian-bagian dalam otak bekerja secara bersamaan dan harmonis. Keharmonisan dan kebersamaan seluruh komponen otak dipimpin oleh salah satu bagian yang menjadi sistem operasi yang berperan secara aktif sebagai pemimpin. Setiap orang memiliki bagian otak yang sama, namun bagian yang berperan aktif berbeda-beda pada setiap orangnya.

Sebelum dimulainya sesi penjelasan, setiap peserta sudah terlebih dahulu melakukan pemindaian sidik jari dan mendapatkan hasil. Kemudian Dodi menjelaskan arti dari hasil pemindaian sidik jari peserta.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo melantik 22 pejabat eselon I, II, III, dan VI serta melepas 12 pejabat eselon I, II, III, dan VI pada Selasa, (14/9). Pelantikan dan pelepasan tersebut berdasarkan pada Keputusan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia Nomor, 101, 127, 129, 130, 131, 136, 137, 146 dan 147 Tahun 2021.

“Saya menyampaikan selamat kepada para pejabat yang baru dilantik dan selamat bergabung bagi pejabat yang baru datang di Lemhannas RI. Jadikan kehadiran Saudara sebagai kekuatan baru yang membawa semangat perubahan ke arah yang lebih baik,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo membacakan sambutannya. Agus berpesan kepada para pejabat yang baru dilantik agar melaksanakan amanah secara sungguh-sungguh, ikhlas, dan penuh rasa tanggung jawab dengan melakukan yang terbaik bagi Lemhannas RI. “Pelantikan dan pengangkatan pejabat dalam suatu organisasi bukan sekedar kepercayaan dan kehormatan semata, tetapi juga merupakan amanah,” kata Agus.

Agus juga menyatakan keyakinannya bahwa dengan bekal pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, para pejabat yang baru dilantik akan mampu berperan aktif dan memberikan keteladanan yang baik untuk mengubah pola pikir dan budaya kerja yang berorientasi pada efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan profesionalisme. Dengan tegas Agus menyampaikan bahwa kepemimpinan dan keteladanan para pejabat sangat menentukan sukses dan lancarnya program maupun sasaran kerja organisasi.

Bagi pejabat eselon I, khususnya kepada tenaga ahli pengajar dan tenaga ahli pengkaji, Agus menjelaskan bahwa memiliki tugas sebagai pengajar, pengkaji, penanggung jawab pembinaan peserta PPRA/PPSA, staf ahli Gubernur Lemhannas RI, dan melaksanakan tugas lain yang ditugaskan oleh Gubernur Lemhannas RI. Selanjutnya bagi pejabat eselon II diperlukan komunikasi dan sinergisitas yang kuat antara unsur pimpinan dengan jajaran di bawahnya guna mewujudkan pengembangan strategi yang terintegrasi untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi dan terwujudnya kapabilitas pada setiap unit kerja. Sejalan dengan hal tersebut, pejabat eselon III dan IV juga memiliki peran penting dalam pelaksanaan program yang telah ditetapkan organisasi, seluruh kegiatan harus dilaksanakan sesuai dengan standar prosedur operasional, sehingga peningkatan kinerja dapat terwujud secara berkesinambungan.

“Saya yakin dan percaya, dengan latar belakang serta bekal pengalaman tugas selama ini, Saudara akan mampu turut andil dalam mencapai keberhasilan organisasi dan sasaran reformasi birokrasi guna menciptakan birokrasi yang bersih, akuntabel, efektif, efisien, dan memiliki pelayanan publik yang semakin berkualitas,” ujar Agus.

Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa pelepasan pejabat dari Lemhannas RI merupakan suatu kehormatan karena pejabat yang dilepas telah mengabdikan diri, melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh, dan mewariskan nilai-nilai yang patut dicontoh oleh generasi penerus. Agus juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada kedua belas pejabat yang dilepas atas pengabdian dan kerja keras selama ini. “Kinerja dan prestasi saudara menjadi inspirasi bagi generasi penerus di Lemhannas RI,” tutur Agus.

Berpedoman pada protokol kesehatan, upacara tersebut dilaksanakan dengan hanya dihadiri perwakilan pejabat Lemhannas RI dan perwakilan personel Lemhannas RI yang dilantik. Pejabat dan personel Lemhannas RI yang lain dapat menyaksikan dengan metode jarak jauh, memanfaatkan teknologi informasi sebagai upaya physical distancing dalam rangka pelaksanaan PPKM di Provinsi DKI Jakarta.


Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 Lemhannas RI kembali mengadakan Focus Group Disussion (FGD) Road to Seminar Nasional PPSA 23 Lemhannas RI Tahun 2021 pada Selasa, (14/9). FGD 2 tersebut mengangkat topik “Alternatif Arah Kebijakan Sistem Pendidikan untuk Menghasilkan SDM Unggul Pada Masa Indonesia Emas 2045” dan menghadirkan dua narasumber, yakni Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A serta Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. dalam sambutannya saat membuka FGD menyampaikan bahwa Indonesia telah memiliki sebuah peta jalan yang akan memandu sektor pendidikan dalam mencapai tujuan pada tahun 2035. Dalam penyusunan peta jalan tersebut, terdapat beberapa sasaran utama yang menjadi pokok perhatian, di antaranya adalah perbaikan atas perbandingan atau tolok ukur terkait penerapan sistem pendidikan dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pada peserta didik. “Kriteria SDM yang ingin dibangun, yakni berkarakter, berakhlak mulia, dan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia serta Pancasila,” kata Sugeng.

Pokok perhatian yang juga menjadi sasaran utama dalam penyusunan peta jalan tersebut adalah penyusunan target-target yang terukur, terutama terkait target angka partisipasi untuk pendidikan dasar, menengah, serta pendidikan tinggi dan hasil belajar yang berkualitas, baik itu perbaikan kualitas guru, perbaikan kurikulum maupun infrastruktur sekolah, dan mewujudkan distribusi pendidikan yang inklusif dan merata serta mendorong reformasi pendidikan. Sugeng juga menyampaikan bahwa salah satu program unggulan dalam kerangka kerja 2020-2035 tersebut adalah program merdeka belajar.

Lebih lanjut Sugeng menyampaikan bahwa Pandemi Covid-19 yang terjadi hampir dua tahun telah memaksa banyak sektor untuk beradaptasi dan berubah, salah satu sektor terdampak paling berat adalah pendidikan. Pada tahun 2020, pandemi telah memaksa sekitar 45 juta siswa Indonesia untuk menjalani pembelajaran jarak jauh. Namun, pembelajaran jarak jauh yang diharapkan sebagai penganti pendidikan tatap muka masih banyak memiliki kendala.

Survei yang dilakukan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) menyebut bahwa 60% guru di Indonesia memiliki kemampuan yang sangat buruk dalam penggunaan teknologi. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2020 kepemilikan komputer hanya sebesar 18,78%. Selain itu, Satgas Ikatan Psikologi Klinis Indonesia juga menemukan bahwa terdapat peningkatan keluhan gangguan psikologis dan belajar yang sangat signifikan, yakni lebih dari 15.000 klien dalam lima bulan pertama pandemi akibat pembelajaran jarak jauh. Sugeng juga menyampaikan data yang dirilis oleh Bank Dunia memperkirakan capaian belajar jarak jauh di Indonesia yang hanya sebesar 33% apabila dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka biasa. Sejalan dengan data tersebut, Programme For International Student Assesment (PISA) memprediksi adanya penurunan skor kemampuan membaca pelajar Indonesia yang akan berakibat signifikan ketika pelajar tersebut memasuki usia kerja.

“Penurunan tersebut selain berakibat sistemik pada prestasi pendidikan anak, juga akan sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia. Selain itu, capaian yang telah dicanangkan dalam peta jalan pendidikan pasti akan mengalami berbagai hambatan,” kata Sugeng. Oleh karena itu, sejalan dengan judul seminar, Sugeng berpendapat perlunya dilakukan evaluasi dan pembaharuan terhadap perencanaan sistem pendidikan di Indonesia.

Sugeng juga mengatakan bahwa sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, sebenarnya sudah terdapat dasar hukum penanaman pendidikan karakter. Namun, dalam kurikulum pendidikan pada semua jenjang pendidikan masih belum terimplementasikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut juga dapat tercermin dalam kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan, sehingga hal ini ditengarai berpengaruh pada kualitas para lulusan tersebut dan integritas para lulusan di semua jenjang pendidikan. “Oleh karenanya, sangat pentingnya pendidikan karakter menjadi prasyarat menghasilkan SDM yang unggul, khususnya menghadapi Indonesia Emas 2045,” kata Sugeng.

Sugeng juga menyampaikan harapannya kepada seluruh Peserta PPSA 23 Lemhannas RI untuk aktif dan berpikir kreatif agar dapat memberikan sebuah gagasan reflektif atas kondisi terkini dan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin pemikiran dan gagasan untuk menemukan solusi dalam memperbaiki dan mengantisipasi loss generation akibat pandemi Covid-19.

Pada FGD tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A mengawali paparannya dengan mengutip pandangan filsuf Inggris yang mengatakan “education has its own object for character formation". “Pendidikan itu tujuan utamanya membentuk karakter,” kata Agus. Lebih lanjut Agus menegaskan bahwa pendidikan bukan membentuk seseorang sekedar pintar ilmu seperti matematika, fisika, atau kimia. “Tidak ada artinya orang itu cerdik, pandai, gelar panjang, tetapi kalau tidak berkarakter,” tegas Agus.

Agus juga berpesan bahwa karakter yang ingin dibangun dan diwujudkan pada manusia Indonesia adalah harus menjaga integritas. “Hidup akan meaningless kalau mengobarkan karakter integritas diri,” kata Agus. Dengan tegas Agus mengatakan tidak bisa berharap ada etos kerja dan ada gotong royong, kalau tidak ada integritas diri. Dalam hal tersebut, penentuan yang bertanggung jawab dalam membangun karakter dapat dikembalikan ke dalam pengertian pendidikan, di mana ada pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. “Rumah tangga harus menjadi induk dari semua sekolah. Jangan pernah berharap semua diserahkan di sekolah, kalau rumah tangga tidak menanamkan sejak awal tentang pembentukan karakter,” kata Agus.

Salah satu rekomendasi yang disampaikan Agus adalah program yang sudah dilakukan di Kemenko PMK, yakni pendidikan pra nikah yang memberikan pemahaman bagaimana untuk menjadi orang tua yang paham menanamkan karakter sejak dini. “Ayah dan ibu harus menjadi guru utama dalam pendidikan putra putrinya,” kata Agus. Kemudian Agus membahas mengenai pendidikan formal dan nonformal dan mengajak setiap peserta FGD untuk menjadi guru dan panutan baik bagi diri sendiri, maupun lingkungan terkecil. Agus berpendapat jika setiap orang dapat menjadi panutan dalam setiap lingkungan terkecil, maka akan mendukung pendidikan karakter. “Setiap kita harus menjadi role model,” kata Agus.

Selanjutnya Agus menyampaikan jika bicara tentang pendidikan, maka instrumen paling penting adalah guru. “Bangunan, infrastruktur bisa dibangun dengan mudah. Kurikulum, bisa kita susun yang bagus. Pendanaan, bisa kita cari. Tetapi the man who inspiring our children is the most important one,” kata Agus. Terutama jika bicara 2045, Agus menegaskan peran guru di sekolah adalah yang akan mengorkestrasi mimpi anak-anak. Oleh karena itu, Agus mengajak setiap individu untuk menjadi guru, mengambil peran dalam pendidikan.

Pada kesempatan tersebut, Agus menyampaikan potret besar luaran pendidikan dan alternatif solusi. Agus menjelaskan bahwa setiap tahun ada 3,7 juta lulusan pendidikan menengah (SMA, SMK, dan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama) dan dari jumlah tersebut 1,9 juta dapat melanjutkan kuliah, sedangkan 1,8 juta lainnya tidak tertampung di perguruan tinggi dan masuk ke pasar kerja. Sejalan dengan hal tersebut, setiap tahunnya Perguruan Tinggi menghasilkan 1,65 juta lulusan Perguruan Tinggi. “Pemerintah, mau tidak mau, harus juga memperluas industrialisasi, undang investasi, yang tidak mudah saat ini,” kata Agus saat menyampaikan data tersebut.

Agus mengatakan bahwa industri saat ini sedang bertransformasi akibat dari pandemi, semakin memanfaatkan digital. Hal tersebut membuat banyak lapangan usaha yang hilang, tapi juga banyak lapangan usaha baru yang muncul. Agus juga mengatakan rekrutmen di level industri semakin sedikit sementara lulusan semakin banyak.

Pandemi Covid-19, memaksa banyak hal berubah menjadi daring. Oleh karena itu, dalam pembangunan manusia juga menyesuaikan menjadi pembangunan SDM digital. Hal tersebut dapat dilakukan melakukan beberapa hal. Pertama, memperluas akses internet Data menunjukkan bahwa masih ada 46.000 dari 260.000 satuan pendidikan yang tidak memiliki akses internet. Agus menegaskan harus ada percepatan agar jurang pemisah antara yang memiliki dan tidak memiliki bisa semakin kecil. Kedua, kapasitas tenaga pendidik juga harus semakin ditingkatkan. Ketiga, kapasitas pendidikan tinggi ditingkatkan supaya semakin banyak yang bisa kuliah dengan kompetensi. “Pastikan mahasiswa punya worthy of knowledge,” kata Agus.

“Ke depan, yang dibutuhkan adalah kemampuan berpikir kritis untuk dapat menyelesaikan persoalan yang kompleks, bukan sekedar menghafal,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro. Oleh karena itu, Satryo menegaskan jika sekolah hanya mengajari menghafal maka tidak ada kemampuan berpikir kritis.

Lebih lanjut Satryo, menyampaikan bahwa Indonesia perlu keluar dari jebakan pendapatan menengah. “Indonesia perlu mengembangkan industri bernilai tambah tinggi, inovatif,” kata Satryo. Kemudian Satryo menyampaikan pengalaman di Eropa, yang sejarah investasinya di bidang inovasi dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai sepuluh kali lipat dalam waktu 25 tahun. Untuk mencapai target peningkatan PDB tersebut di Indonesia, diperlukan modal manusia yang mampu mengatasi tantangan revolusi industri 4.0 dan tantangan global menuju 2045.

“Berdasarkan hasil kajian Bank Dunia tahun 2019, Indonesia masih terkendala dengan rendahnya human capital,” kata Satryo. Dalam Human Capital Index (HCI) yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 87 dari 157 negara. Indeks tersebut menilai negara berdasarkan hasil pendidikan dan kesehatan serta dampaknya terhadap produktivitas. Satryo berpendapat bahwa meningkatkan modal manusia Indonesia, merupakan agenda yang kompleks dan perlu pelaksanaan dalam jangka waktu yang panjang, yang harus menjadi inti dari strategi pembangunan pemerintah. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan sistem pendidikan di seluruh jenjang, dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi serta kesempatan belajar seumur hidup.

Satryo juga menyampaikan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 yang menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat 4,2 juta orang Indonesia lulus dari sistem pendidikan. Survei tersebut juga menunjukkan rata-rata siswa lulus pada usia 16 tahun dengan lama pendidikan 10,94 tahun. Tetapi banyak dari lulusan pendidikan menengah tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja dan akhirnya menerima pekerjaan bergaji rendah. Satryo juga menyampaikan bahwa Lebih dari 55% siswa tidak mencapai kompetensi minimum dalam literasi dan matematika. “Dua itu yang harus kita kuasai, literasi dan matematika,” tegas Satryo. Selain itu, karena siswa berada dalam sistem pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi, kurikulum yang diajarkan cenderung tidak selaras dengan kebutuhan pasar saat ini, atau yang disyaratkan industri 4.0.


Pertemuan Rutin Persatuan Istri Anggota (Perista Lemhannas RI) dan Karyawati Lemhannas RI kembali dilaksanakan. Ini merupakan kali pertama pertemuan rutin dilaksanakan semenjak Maret 2020 dikarenakan adanya Pandemi Covid-19. Sebelum adanya pandemi Covid-19, pertemuan rutin yang diprakarsai Pengurus Perista Lemhannas RI ini biasanya dilaksanakan rutin setiap tiga bulan. Mengangkat tema “Kesehatan Mental di Era Perubahan”, pertemuan tersebut dilaksanakan secara tatap muka untuk beberapa karyawati yang sebelumnya sudah mengikuti tes usap antigen dan sisanya secara virtual pada Selasa (7/9).

Pada kesempatan tersebut, hadir selaku narasumber dr. Santi Yuliani, Sp.KJ., M.Sc. Dalam paparannya, dr. Santi menyampaikan bahwa membicarakan tentang mental ada tiga area yang dibicarakan, yakni mood, cognitive, dan behavior. Mood adalah suasana perasaan dan emosi, yang dimaksud emosi bukan hanya marah tapi suasana perasaan yang ada dalam diri. Cognitive adalah pola dan isi pikiran yang ada di dalam otak. Behavior adalah sikap dan perilaku. dr. Santi menekankan bahwa seseorang tidak bisa dibilang sehat mentalnya apabila mengalami gangguan di salah satu lini. “Artinya orang bisa disebut sehat mentalnya apabila suasana perasaan dan emosinya baik, pola dan isi pikirannya juga baik, dan juga sikap dan perilakunya baik. Jadi mental mencakup tiga hal ini mood, cognitive, dan behavior,” kata dr. Santi.

Lebih lanjut dr. Santi menjelaskan bahwa perasaan dan emosi letaknya berada di otak, bukan di dada. Ada area-area otak yang fungsinya untuk mental yang mencakup mood, cognitive, dan behavior. Kemudian dr. Santi menjelaskan fungsi dari tiap bagian di otak. Otak bagian depan (frontal lobe) fungsinya untuk berpikir, merencana, organisasi, menyelesaikan masalah, dan mengontrol perilaku kita. Selanjutnya motor cortex berfungsi untuk menjalankan gerakan tubuh. Kemudian ada sensory cortex untuk sensasi, ada parietal lobe untuk ejaan, berhitung, dan daya tangkap, lalu ada occipital lobe untuk melihat, dan temporal lobe untuk ingatan, pengertian, dan berbahasa. “Otak kita ini akan berfungsi untuk semua area mental yaitu emosi, cognitive, dan juga behavior,” ujar dr. Santi.

Selanjutnya dr. Santi menjelaskan mengenai limbic system, yakni salah satu area otak yang berfungsi untuk mengendalikan diri, baik emosi, nafsu makan, suhu tubuh, maupun hormone. Limbic system terutama bagian amygdala adalah bagian yang bekerja untuk area takut. “Sumber takut atau pusat ketakutan kita itu ada di area amygdala dan area inilah yang menyala hebat selama pandemi ini,” tutur dr. Santi.

Perubahan yang dialami saat ini adalah masuk ke dalam dunia pandemi. Perubahan luar biasa harus dialami, mulai dari cara berpakaian yang harus mengenakan masker, barang bawaan yang harus selalu siap sedia alat kebersihan, sampai metode komunikasi yang didominasi virtual. “Kondisi pandemi ini tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk bersiap-siap, tidak memberikan kesempatan kita untuk mencerna secara perlahan-lahan, dan semuanya serba cepat,” kata dr. Santi. Kondisi yang berubah secara tiba-tiba serta kondisi yang meminta untuk selalu berjaga-jaga dan waspada menyebabkan amygdala bekerja ekstra. Oleh karena itu, amygdala sangat penting keberadaannya karena sebagai alarm bahaya di otak. Tetapi di saat amygdala bekerja secara berlebihan, maka akan mengganggu kesehatan tubuh.

Dalam kesempatan tersebut, dr. Santi menyampaikan bahwa perasaan sedih, cemas, gelisah, stress, dan takut bukanlah hal yang salah, perasaan tersebut adalah hal biasa dan hal wajar saat menghadapi suatu kondisi perubahan yang dirasakan. Namun, sedih, cemas, gelisah, stress, dan takut yang berkepanjangan akan menimbulkan akibat lain karena amygdala menjadi sangat aktif dan merangsang keluarnya hormon kortisol atau hormon stress. Di saat hormon kortisol keluar secara terus menerus ditubuh, yang akan terjadi adalah gangguan fisik seperti mata lebih melotot, bibir lebih kering, pernapasan lebih cepat, jantung berdebar-debar, otot menjadi tegang, pencernaan terganggu, dan sering berkeringat.

Kondisi gangguan fisik tersebut bisa jadi merupakan respon otak terhadap ketakutan yang kemudian menjadi gangguan fisik sementara, tidak menetap disaat sudah bisa stress sudah bisa teratasi. Namun, jika stress tidak teratasi dengan baik maka bisa menjadi penyakit terus menerus. dr. Santi menegaskan bahwa saat mental terganggu dan tidak bisa teratasi, kondisi fisik sangat bisa terganggu. “Saat mental kita terganggu, tidak mungkin fisik kita tidak terganggu,” tutur dr. Santi.

dr. Santi juga memberikan beberapa cara untuk menenangkan diri. Pertama, disarankan untuk mengambil posisi duduk saat mengetahui berita yang menakutkan, yang membuat tidak nyaman, dan panik. Karena dengan mengubah dari posisi berdiri ke duduk akan memberikan kesempatan otak depan bagian logika untuk mengambil alih keributan amygdala. Kemudian diikuti mengatur nafas agar lebih perlahan-lahan, karena otak kita membutuhkan oksigen untuk bisa berpikir lebih baik. Kedua, disarankan membuat ceklis dengan membuat catatan tentang apa saja yang bisa dilakukan, siapa saja yang bisa membantu kondisi, dan bagaimana alur yang harus ditempuh. Ketiga, berpikir tentang saat ini, jangan berpikir terlalu jauh daripada yang seharusnya dipikirkan. Harus diingat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memastikan yang terjadi selanjutnya, tapi yang bisa dilakukan adalah mengendalikan apa yang terjadi saat ini. “Gunakanlah energi yang kita miliki untuk berfokus pada saat ini, kemudian berfokus kepada apa yang bisa aku lakukan untuk menguatkan diri hari ini dan mulai mengurangi berandai-andai tentang esok hari,” kata dr. Santi. Keempat, membaca referensi secara adil, jangan hanya membaca referensi yang negatif tapi juga membaca referensi yang positif dan tidak disarankan untuk mengikuti berita-berita yang sumbernya tidak jelas.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749