Komisi Informasi Pusat telah selesai melaksanakan seluruh tahapan pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Keterbukaan Informasi Publik pada Badan Publik Tahun 2021. Penganugerahan tersebut diberikan kepada tujuh kategori Badan Publik, yakni Kategori Kementerian, Kategori Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LN dan LPNK), Kategori Lembaga Non Struktural, Kategori Pemerintah Provinsi, Kategori BUMN, Kategori PTN, dan Kategori Partai Politik. Kualifikasi terdiri dari lima jenis kualifikasi, yaitu Kualifikasi Informatif, Kualifikasi Menuju Informatif, Kualifikasi Cukup Informatif, dan Kualifikasi Kurang Informatif, dan Kualifikasi Tidak Informatif. Penganugerahan tersebut diberikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin secara virtual pada Selasa, 26 Oktober 2021.

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) berhasil meraih Kualifikasi Menuju Informatif, Kategori LN dan LPNK dalam Anugerah Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2021 dengan nilai 81,87. Sebelumnya, selama 3 tahun berturut-turut, Lemhannas RI berada pada kualifikasi Cukup Informatif dan berhasil meningkatkan diri menjadi Menuju Informatif. Hadir menerima penganugerahan tersebut Sekretaris Utama Lemhannas RI Komjen Pol. Drs. Purwadi Arianto, M.Si. selaku Atasan PPID dan Kepala Biro Humas Settama Lemhannas RI Brigjen TNI A. Yudi Hartono, S.Sos., M.M., M.Han. selaku PPID Lemhannas RI.

Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana dalam laporannya menyampaikan bahwa pada tahun 2021, Komisi Informasi Pusat telah melakukan penyusunan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP). Penilaian IKIP nasional di tahun 2021 merupakan gambaran pelaksanaan keterbukaan informasi publik selama tahun 2020 dari tahun Januari hingga Desember 2020. Adanya nilai IKIP tahun 2020, dapat memudahkan stakeholder dalam mengevaluasi pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang telah dijalankan oleh badan publik maupun masyarakat pengguna informasi publik.

“Nilai IKIP 2020 ini dapat menjadi catatan dan rekam jejak dalam proses pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Indonesia serta mengetahui dan memahami tantangan atau hambatan dalam pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik itu sendiri,” kata Ketua Komisi Informasi Pusat. Adapun nilai IKIP secara Nasional tahun 2021 sebesar 71,37. Nilai tersebut menunjukkan hasil pelaksanaan keterbukaan informasi publik di tanah air berada pada posisi sedang.

Ketua Komisi Informasi Pusat menyampaikan bahwa Komisi Informasi Pusat berdampingan dengan Komisi Informasi Indonesia di Provinsi, Kabupaten, dan Kota terus menekankan bahwa keterbukaan informasi sebagai suatu budaya bersama untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, efektif, dan efisien. Lebih lanjut, Ketua Komisi Informasi Pusat menyadari bahwa Komisi Informasi Pusat harus lebih menggelorakan budaya keterbukaan informasi publik, namun harus juga didukung oleh komitmen dari pemerintah. “Komisi Informasi Pusat akan terus berupaya mendorong untuk meningkatkan pelayanan dan pengelolaan informasi publik hingga berada pada kualifikasi informatif di jajaran badan publik,” ujar Ketua Komisi Informasi Pusat.

Menutup laporannya, Ketua Komisi Informasi Pusat menegaskan bahwa hasil penganugerahaan monitoring dan evaluasi bukanlah suatu ajang yang dimaknai sebagai konstetasi antarbadan publik, tetapi harus dimaknai sebagai tolok ukur implementasi keterbukaan informasi publik di tanah air yang kata kuncinya adalah kualifikasi, bukan pada peringkat dan nilai suatu badan publik. “Yang paling utama adalah keterbukaan informasi memberikan manfaat bagi masyarakat,” pungkas Ketua Komisi Informasi Pusat.

“Penganugerahan ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi badan publik untuk terus mengakselerasi upaya-upaya terbaik mengenai keterbukaan informasi melalui berbagai informasi yang tiada henti,” kata Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin. Lebih lanjut, Wakil Presiden RI menyampaikan bahwa pengelolaan keterbukaan informasi publik dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat guna terwujudnya tata kelola pemerintah yang baik dan transparan. Wakil Presiden RI mengharapkan kualifikasi yang didapatkan dapat menjadi sarana introspeksi semua badan publik untuk terus menjaga dan meningkatkan kinerja pelayanan publik dan produktivitasnya, walaupun di tengah masa pandemi Covid-19.

“Semua badan publik harus terus menggelorakan semangat keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang bertujuan untuk membangun kepercayaan dan dukungan masyarakat dalam mengukuhkan semangat bernegara kebangsaan yang demokratis,” ujar Wakil Presiden RI. Oleh karena itu, Wakil Presiden RI mengimbau agar semua badan publik harus terbuka dengan kritik, saran, dan masukan dari masyarakat dan menyikapinya dengan santun, baik, beretika, dan bernorma sesuai ketentuan dan adab yang berlaku dalam negara yang demokratis. “Indonesia sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia dituntut untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi di antaranya adalah prinsip keterbukaan informasi,” pungkas Wakil Presiden RI.

Perkembangan teknologi komunikasi dan aplikasi digital telah mendorong transformasi peradaban masyarakat ke era digital secara lebih cepat dan masif. Sejalan dengan hal tersebut, pemanfaatan teknologi sudah menjadi bagian dari keseharian bagi masyarakat informasi. Wakil Presiden RI memandang bahwa hal tersebut harus dimanfaatkan sebagai peluang bagi badan publik dan pemerintah dalam mendiseminasikan tata kelola pemerintah yang lebih bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang lebih berkualitas dan terpercaya. Secara paralel, modernisasi pelayanan publik melalui adopsi teknologi digital juga dilakukan untuk mewujudkan pemerintah digital yang mendukung terwujudnya Satu Data Indonesia.

Wakil Presiden RI juga mengapresiasi keterbukaan informasi publik yang terus mengalami perbaikan, bahkan ditengah kondisi pandemic Covid-19. Berdasarkan laporan Komisi Informasi Pusat, hasil monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi public menunjukkan tingkat partisipasi badan publik di tahun 2020 sebanyak 93,1%. Angka tersebut naik cukup signifikan dibanding tahun 2019 yang hanya 74,37% dan tahun 2018 sebesar 62,83%. “Ini menunjukan tingkat kepatuhan badan publik dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik di Indonesia cukup baik,” ujar Wakil Presiden RI.

Menurut Wakil Presiden RI, hal tersebut juga menjadi bukti bahwa lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah membawa perubahan yang baik bagi pelaksanaan serta pengawalan keterbukaan informasi. Dengan adanya keterbukaan informasi publik diharapkan partisipasi masyarakat makin meningkat dalam proses kebijakan publik karena mekanisme check and balances akan terbangun melalui partisipasi masyarakat sebagai bagian dari pengawasan publik guna terciptanya kebijakan yang kredibel dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat luas. Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik, tentu akan semakin tinggi literasi dan pengetahuan masyarakat terhadap substansi kebijakan pemerintah.

“Saya berpesan badan publik harus menjadikan informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan serta selalu berpedoman pada prinsip ketentutan dan tata cara yang berlaku dalam pemenuhan hak dan kewajiban atas informasi publik. Badan publik melalui pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi (PPID) dapat merespon dengan cerdas, cepat, tepat, dan aman dalam penyediaan informasi publik ditengah derasnya arus informasi pada era digital saat ini,” kata Wakil Presiden RI mengakhiri sambutannya.


“Forum ini sepakat bahwa keberadaan manusia harus mendorong yang disebut dengan ‘memanusiakan manusia’,” kata Tenaga Profesional Bidang Sumber Kekayaan Alam dan Ketahanan Nasional Lemhannas RI Prof. Dr. Ir. Dadan Umar Daihani, D.E.A. saat memberikan kesimpulan pada Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”.

Kemudian Dadan menyampaikan beberapa catatannya dalam pelaksanaan JGF V/2021 yang telah dilaksanakan selama dua hari, yakni Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021. Saat ini manusia dihadapkan pada dua game changers pada saat bersamaan, yaitu kemajuan teknologi yang sangat pesat dan pandemi Covid-19 yang telah mengacaukan dan menghancurkan dunia. Pada bidang teknologi, saat ini manusia berada di era digital yang telah mengubah tatanan kehidupan manusia.  Digitalisasi di berbagai bidang tidak hanya mempengaruhi cara manusia bekerja, namun juga mempengaruhi cara berpikir manusia. “Teknologi memiliki sifat seperti pedang bermata dua,” kata Dadan mengingat teknologi mempunyai dampak positif dan negatif.

Selanjutnya pandemi Covid1-19 telah mengacaukan tatanan dunia. Pandemi Covid-19 membuat ultranasionalisme terbatas semakin meningkat lintas negara, sikap curiga satu sama lain seakan-akan dunia terbagi menjadi ‘duniaku’ dan ‘duniamu’ sementara alam semesta menjadi milik bersama. “Dunia diselimuti ketakutan,” ujar Dadan. Pandemi juga memaksa manusia untuk mengubah perilaku dan gaya hidup manusia, salah satunya adalah pembatasan interaksi manusia melalui jarak dan bantuan teknologi. Untuk bertahan hidup setelah pandemi, dibutuhkan penerapan tatanan normal baru. Oleh karena itu, manusia harus menjadi semakin bijaksana.

Namun, merebaknya pandemi Covid-19 dan mutasi virus tidak meredam optimisme kemanusiaan setelah dibekali dengan pengetahuan. Kemanusiaan semakin maju dan memiliki kapasitas untuk mengendalikan risiko pandemi. Vaksin, penemuan obat baru, dan pengetahuan tentang karakter virus berkontribusi terhadap titik balik dari bencana pandemi Covid-19. “Ilmu pengetahuan menjadi senjata utama kemanusiaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bahkan saat peradaban berubah,” ujar Dadan.

Dadan juga menegaskan bahwa perubahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari, satu-satunya hal yang konstan di dunia adalah perubahan. Akibatnya, perbedaan peradaban menjadi semakin terlihat di era teknologi global yang dapat menembus batas ruang. Faktanya peradaban besar saat ini merupakan sinergi antara budaya dan peradaban telah ada.  “Fokus utama kita mengenai peradaban terkait dengan bidang kesehatan, lingkungan, dan pertumbuhan populasi. Namun, kemampuan manusia dari berbagai latar belakang peradaban dapat bergabung bersama dalam sinergi peradaban yang merupakan secercah cahaya,” tutur Dadan.

Dadan memandang Indonesia berkontribusi secara signifikan dalam sinergi peradaban karena Indonesia adalah sebuah negara yang menakjubkan dengan berbagai macam perbedaan. Perbedaan agama, etnis, budaya, dan bahkan perbedaan penguasaan teknologi ada. Indonesia menjalankan demokrasi dengan karakter, nilai-nilai, dan peradaban Indonesia. “Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi cocok dengan berbagai agama dan warisan peradaban. Namun, harmoni juga membutuhkan persiapan dan tradisi hukum yang konsisten dengan tradisi agama nasional dan juga ucapan terima kasih,” tutur Dadan. Walaupun begitu, Dadan mengingatkan untuk terus waspada dengan perubahan demografi di daerah multi agama dan jangan biarkan suatu institusi atau agama berubah menjadi pembela keadilan sosial, kecuali memang memiliki mandat demokratik yang kuat. 

Dadan menegaskan bahwa harus mencoba menciptakan keseimbangan baru dan berkompromi antara sikap mudah beradaptasi terhadap perubahan dan bertahan untuk tidak berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat memperkirakan yang akan terjadi di masa depan, tetapi harus terus berjuang untuk hidup yang lebih bermartabat. “Kita harus sadar akan banyaknya pemikiran-pemikiran yang hebat dari para profesional yang tidak kita sadari. Saya berharap, hal ini akan menjadi bagian dari tugas kita yang harus kita amati. Roda harus terus berputar dan hidup harus terus bermakna. Sebagai seorang manusia, mari kita bangun masyarakat yang beradab,” pungkas Dadan di akhir paparannya.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo secara resmi menutup Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) pada Jumat, 22 Oktober 2021. “Saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus kepada semua pembicara, pembahas, serta moderator,” kata Agus. Lebih lanjut Agus menyampaikan kekagumannya atas isi presentasi seluruh pembicara dan pembahas. Menurut Agus, JGF V/2021 yang dilaksanakan selama dua hari bisa memberikan pelajaran bagi semua yang hadir.

“Oleh karena itu, sangat tepat waktunya bagi saya untuk berharap bahwa para peserta semua akan memperoleh pencerahan baru atau ide-ide baru dan untuk itu sangat tepat bagi saya untuk menyampaikan rasa penghargaan kepada Anda semua,” kata Agus.

Pada kesempatan tersebut, Agus menyampaikan dua poin catatan. Pertama, Agus menegaskan bahwa jika berpikir tentang peradaban, tidak harus berpikir tentang hal-hal yang besar pada tingkat makro. Kedua, manusia memiliki pilihan antara identitas positif dan identitas negatif, jadi manusia harus membuat pilihan mana identitas yang akan diadopsi dan mana yang akan ditinggalkan. “Jadi kita harus membuat pilihan yang mana yang akan kita adopsi dan mana yang akan kita tinggalkan,” ujar Agus.

Mengakhiri penutupannya, Agus mengingatkan bahwa salah satu tujuan dari JGF V/2021 adalah untuk memfasilitasi pertukaran ide antara pakar dan ahli sains. Oleh karena itu, harus diingat bahwa hasil dari JGF V/2021 akan dituangkan ke dalam rekomendasi kebijakan dan ini bukan merupakan hasil akhir tapi hanya awal untuk memicu diskusi-diskusi lebih lanjut sebagai tujuan untuk meningkatkan kesadaran manusia.


Pelaksanaan hari kedua Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021) dihadiri empat narasumber yang salah satunya berasal dari Stanford University, yakni Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center, Stanford University Prof. Donald K. Emmerson. JGF V/2021 mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”. Sejalan dengan hal tersebut, Emmerson dalam sesinya membahas tentang globalisasi di mana Emmerson berpendapat bahwa wajah globalisasi saat ini dapat dikatakan diarahkan, di antara banyak hal lainnya, kepada penyebaran keadaan darurat.

Lebih lanjut Emmerson menjelaskan mengenai cockpit problem dan mandate problem. Cockpit problem adalah masalah yang mendesak dan waktu yang singkat, sedangkan mandate problem adalah masalah yang mengarah ke demokrasi yang di dalamnya terdapat diskusi, ketidaksetujuan, dan pendapat mayoritas untuk menyelesaikan masalahnya. Emmerson berpendapat proporsi masalah cockpit problem dibandingkan dengan mandate problem mungkin akan naik.

Menurut Freedom House, tahun 2020 adalah tahun ke 15 berturut-turut di mana kebebasan global menurun. Negara-negara yang mengalami penurunan kebebasan global semakin banyak dari yang mengalami kenaikan sejak 2006,” ujar Emmerson. Lebih lanjut Emmerson menyampaikan kesimpulan Freedom House bahwa resesi demokrasi yang panjang terjadi semakin dalam. Pada 2020, menurut analisa Unit Intelijen Ekonomi, demokrasi indeks menurun di setiap negara di dunia. Sehingga dapat dikatakan hal tersebut menjadi masalah mendesak di dunia. “Hampir 75% populasi dunia di tahun 2020 hidup di negara yang mengalami penurunan demokrasi,” ungkap Emmerson.

China merasa bahwa kediktatoran lebih baik dari demokrasi dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk Indonesia, menurut Emmerson, demokrasi adalah jenis pemerintahan yang terbaik. Indonesia adalah negara demokrasi ketiga di dunia. Mungkin akan ada banyak perubahan yang terjadi di masa mendatang. Menyambung pendapat dari Gita Wirjawan bahwa dengan adanya teknologi akan membuat manusia menjadi tidak berguna, Emmerson menilai negara akan mencari jalan keluar atas hal tersebut. 



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749