“Berdasarkan hasil penelitian disebutkan setiap hari rata-rata orang menghabiskan waktu 135 menit untuk berselancar di berbagai media sosial seperti, Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan lain sebagainya,” kata Deputi Pengkajian Strategik Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. dalam sambutannya pada Diskusi Kelompok Terarah/Focus group discussion (FGD) Kajian Jangka Panjang tentang “Optimalisasi Peran Media Sosial Guna Mengembangkan Wawasan Kebangsaan”, pada Selasa (23/02).

Reni berpendapat bahwa media sosial saat ini bahkan sudah menjadi candu bagi masyarakat, hampir tidak ada warga perkotaan yang tidak mengakses media sosial. Karakteristik media sosial yang interaktif, menarik, cepat dan mudah diakses menjadikan media sosial mempunyai kekuatan besar dalam membentuk pola kehidupan masyarakat. Media sosial juga dianggap mampu menyebarkan pesan secara revolusioner. Efek yang ditimbulkan dari pesan tersebut dapat menjadi sedemikian luas sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku kolektif masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan wawasan kebangsaan diharapkan semakin pesat ketika dapat memanfaatkan segala sarana dan sumberdaya yang ada, termasuk media sosial. Nilai-nilai wawasan kebangsaan dapat diinformasikan secara luas kepada masyarakat dengan menggunakan media sosial, sehingga dapat mendorong masyarakat untuk mengantisipasi nilai-nilai yang merugikan bangsa dan mengadopsi sikap mental yang mendukung terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Namun kondisi yang kita hadapi saat ini media sosial belum banyak digunakan untuk mensosialisasikan materi wawasan kebangsaan. Proporsi konten yang berisi tema wawasan kebangsaan masih jauh lebih kecil dibandingkan konten-konten lain yang bersifat hiburan yang banyak diantaranya kurang bermanfaat bahkan dapat memberikan dampak negatif. “Media sosial memiliki peran strategis untuk menyampaikan informasi mengenai berbagai persoalan. Oleh karena itu, penggunaan media sosial untuk mensosialisasikan pengetahuan mengenai wawasan kebangsaan perlu diusahakan agar lebih optimal,” ujar Reni.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh beberapa narasumber dan pembahas guna mendapatkan masukan, konsep, dan pemikiran yang tepat. Narasumber yang hadir adalah Deputi Bidang Pengembangan Setjen Wantannas Marsda TNI Dr. Sungkono, M.Si, Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN Dr. Wawan Purwanto, Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kemenkominfo RI Wiryanta Muljono, Ph.D., serta Pakar Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Dr. Firman Kurniawan Sujono, M.Si.

Selain 4 (empat) narasumber di atas, kegiatan tersebut juga dihadiri oleh pembahas, yakni Tenaga Profesional Bidang Sosial Budaya dan Kepemimpinan Lemhannas RI Dr. Anhar Gongong, Peneliti Kompas Totok Suryaningtyas, Pemerhati Media Sosial, Guru Besar Akuntansi UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, Alumni PPSA 22 Lemhannas RI Prof. Dr. Amilin, S.E., M.Si.,Ak., CA., QIA, BKP, CRMP, Guru Besar STF Driyarkara, Rohaniawan dan Budayawan Prof. Dr. Fx. Mudji Sutrisno, S.J. dan Pimpinan Redaksi nu.or.id Ahmad Mukafi Niam.


Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Muhammad Lutfi, menyampaikan ceramah kepada para peserta program Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan (Taplai) Angkatan I Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan topik “Indonesia Economic Outlook 2021” secara daring pada Senin (22/02).

Mengawali ceramahnya, Lutfi menyampaikan bahwa dunia saat ini sedang mengalami fase kedua evolusi perdagangan internasional. Fase pertama dimulai pada masa Ferdinand Magellan dari Portugal mulai menjelajah dan mencari barang-barang yang dapat diperdagangkan, kemudian dilanjutkan oleh Spanyol, Inggris, dan Belanda. Fase tersebut, yang berlangsung hingga abad ke-19, menunjukkan negara-negara penjelajah pada akhirnya memiliki tingkat kemakmuran tinggi dan menjadi penguasa zaman kolonialisme. Setelah memasuki masa modern, terutama setelah Perang Dunia II, terjadi dekolonialisasi dan iklim perdagangan internasional beralih menjadi persaingan.

Memasuki tahun 60-an, perdagangan internasional mulai diatur supaya pajak-pajak diturunkan serta agar perdagangan memberikan kemakmuran bagi penduduk dunia. Kebijakan-kebijakan yang dibuat menjadikan banyak negara mampu memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui kolaborasi. Kolaborasi merupakan kunci dalam menghadapi iklim perdagangan internasional pada masa evolusi kedua ini. “Kalau kita tidak bisa berkontribusi dalam suatu kolaborasi maka kita akan menjadi parasit,” ujar Lutfi.

Meskipun dilanda pandemi, lanjut Lutfi, pada tahun 2020 lalu Indonesia memperoleh surplus neraca perdagangan sebesar 21,74 miliar dolar AS atau yang terbesar sejak 2012. Ia menjelaskan Indonesia memiliki peluang yang besar pada ekspor migas. Ia menunjukkan nilai ekspor besi dan baja pada tahun 2020 sebesar 10,85 miliar dolar AS atau mengalami pertumbuhan sebesar 46,84% dibandingkan tahun sebelumnya. Lutfi juga menyoroti nilai ekspor produk dan suku cadang otomotif yang tetap masuk ke dalam sepuluh besar komoditas ekspor nonmigas walaupun mengalami penurunan sebesar -19,36% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Lutfi, tingginya nilai ekspor kedua komoditas tersebut menunjukkan kesempatan baik bagi Indonesia untuk berkolaborasi dalam perdagangan internasional sebab kedua komoditas tersebut berpotensi menarik investasi besar yang pada masa depan dapat menjadi pilar ekspor Indonesia.

Menutup ceramahnya, Lutfi menyatakan perlunya strategi yang tepat untuk berkolaborasi dalam perdagangan internasional agar Indonesia nantinya dapat menjadi pusat produksi dunia. “Di era kolaborasi ini kita harus bisa memainkan strategi yang jitu, yaitu membuka pasar dengan cerdik, kemudian mendekatkan investasi, begitu investasi datang kita menjadi center of production,” tuturnya.

 

 

 


Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia kembali menyelenggarakan Intellectual Exercise, Senin, 22 Februari 2021. Intellectual Exercise merupakan kegiatan berseri yang secara reguler diadakan oleh Kedeputian Pengkajian Strategik dalam rangka penguatan pengetahuan dan penajaman kompetensi dengan mendalami dan menggali pemahaman secara lebih komprehensif tentang konsepsi ketahanan nasional dalam konteks kedinamikaan lingkungan strategik maupun dalam rangka pengayaan pengetahuan tentang ketahanan nasional sebagai sebuah multidisiplin ilmu.

Intellectual Exercise dengan tema yang terfokus pada ketahanan nasional, diadakan karena relevansi ketahanan nasional dalam kehidupan saat ini dihadapkan pada berbagai perubahan yang terjadi begitu cepat bahkan lebih cepat dari yang diduga dan tidak dapat diprediksi dengan berbagai ragam tantangannya. Dengan demikian perlu adanya pemikiran dan pemahaman kembali tentang arti dan makna ketahanan nasional itu sendiri, baik secara konsepsional maupun kontekstual disesuaikan dengan warna kehidupan yang dilalui saat ini maupun yang akan dilalui kedepan.

“Dunia pengetahuan itu seperti dunia demokrasi, tidak pernah ada hal yang final,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo. Lebih lanjut, Agus berpendapat bahwa dunia pengetahuan bisa berada pada tahap akhir hanya apabila tidak bisa ditemukan temuan-temuan baru, itu pun bersifat sementara sampai ada temuan baru. Oleh karena itu, Intellectual Exercise dinilai penting untuk dilakukan sebagai wadah penguatan pengetahuan dan penajaman kompetensi banyak pihak.

“Ketahanan nasional itu bukan merupakan sebuah disiplin ilmu tunggal,” kata Agus menjelaskan. Agus menegaskan bahwa ketahanan nasional adalah sebuah keadaan yang merupakan totalitas, akumulasi, atau agregat untuk mencapai tujuan nasional yang dalam perjalanannya akan selalu menghadapi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Ketahanan nasional dicapai melalui pendekatan Ketahanan Pancagatra, yakni Gatra Ideologi, Gatra Ekonomi, Gatra Politik, Gatra Sosial Budaya, dan Gatra Pertahanan Keamanan. Oleh karena itu, keadaan ketahanan nasional dapat dikatakan baik, jika ketahanan tiap-tiap gatra juga baik. Untuk menciptakan keadaan baik pada ketahanan tiap-tiap gatra, harus bersumber pada disiplin ilmu tiap-tiap gatra tersebut.

Kemudian, Agus menyampaikan bahwa tantangan yang dihadapi saat ini adalah mentransformasikan ketahanan gatra yang berasal dari disiplin ilmu menjadi suatu yang konkret, yang bisa bermanfaat, yang bisa dirasakan oleh masyarakat. “Tantangannya adalah mentransformasikan dari ilmu menjadi kebijakan,” kata Agus. Segala sesuatu tidak bisa berhenti pada ilmunya saja, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan. Hal tersebut diperlukan guna menjawab persoalan-persoalan secara aktual.

Untuk bisa membangun ketahanan nasional, Agus berpandangan bahwa pengambil kebijakan harus berdasarkan pada pengetahuan dasar tentang lintas disipliner dan harus memiliki kompetensi untuk membangun kebijakan. Beriringan dengan hal tersebut, Agus menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi memang menghargai perbedaan, tetapi perbedaan tersebut harus berdasarkan konsensus dasar bangsa. Maka perbedaan yang berasal dari luar konsensus dasar bangsa dan bertujuan keluar konsensus dasar bangsa dapat dicurigai sebagai penyalahgunaan kebebasan berpendapat.

Pada kesempatan tersebut, Agus menjelaskan bahwa sebuah negara selalu memiliki kemungkinan untuk berhadapan dengan kerawanan-kerawanan potensial dengan segala risiko yang mengikutinya. Oleh karena itu, dibutuhkan ketahanan nasional sebagai kapasitas untuk merespons kerawanan-kerawanan potensial dan mengurangi kemungkinan-kemungkinan krisis serta memperkuat kapasitas terhadap ekonomi yang lebih luas.

Lebih lanjut, Agus menjelaskan salah satu gatra lebih dalam, yaitu model ketahanan gatra ekonomi. Menurut Agus, ketahanan ekonomi harus mampu mengatasi kerentanan walaupun masing-masing kerentanan memiliki karakteristik yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Oleh karena itu, memerlukan respons spesifik karena tidak dapat diperkirakan kapan dan dalam entitas bagaimana kerentanan itu akan muncul. Agus juga mengajak seluruh peserta untuk bertukar pikiran apakah pernah terpikirkan bagaimana jika kerentanan ekonomi terjadi bukan berasal dari faktor ekonomi sendiri yang bisa dicegah, melainkan berasal dari gatra di luar ekonomi seperti pandemi COVID-19.

Agus juga menyampaikan kerangka kerja konseptual modal ekonomi. Rumus yang Agus berikan adalah negara memiliki kapasitas untuk menghadapi kerentanan yang mengandung risiko. Rumus pertama adalah bila kapasitas ketahanan ekonomi lebih besar daripada kerentanan yang muncul, maka risiko dapat dikatakan tidak ada dan kerentanan selalu bisa teratasi. Rumus kedua jika kapasitas ketahanan ekonomi lebih kecil daripada kerentanan yang muncul, maka risiko dapat menjadi besar bahkan tidak mampu teratasi. Hal tersebut bisa mengakibatkan resesi, depresi, stagflasi, atau bangkrut. Rumus ketiga adalah saat kapasitas ketahanan ekonomi sama besar dengan kerentanan, maka risiko persis pada angka 0. “Ini kira-kira gambaran dari sebuah model ekonomi dari segi ketahanan ekonomi,” kata Agus.

Kegiatan Intellectual Exercise dihadiri oleh pejabat struktural Lemhannas RI, para Tenaga Ahli Pengajar, Tenaga Ahli Pengkaji, dan Tenaga Profesional Lemhannas RI.


“Saya memberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada seluruh peserta, karena dengan penuh semangat selama 6 (enam) hari kerja dapat mengikuti kegiatan pemantapan nilai-nilai kebangsaan secara virtual yang difasilitasi oleh Lemhannas RI,” kata Deputi Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Laksamana Muda TNI Prasetya Nugraha, S.T., M.Sc. pada Upacara Penutupan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan secara Virtual bagi Ikatan Alumni ITB Lemhannas RI Tahun 2021, Senin (22/02).

Pada kesempatan tersebut, Prasetya menyampaikan harapannya bahwa dengan diselenggarakannya kegiatan tersebut dapat menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan para peserta untuk lebih memahami dan menyadari betapa pentingnya nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Prasetya juga menyampaikan bahwa walaupun kegiatan tersebut diselenggarakan dalam waktu yang relatif singkat, tetapi berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan bertujuan untuk membangun kesadaran kolektif akan nilai-nilai kebangsaan dan mempererat rasa kebersamaan di antara para peserta. Kesadaran kolektif akan nilai-nilai kebangsaan dan rasa kebersamaan tersebut sangat dibutuhkan, mengingat bahwa para peserta memiliki peran dan tugas yang sangat penting sebagai agen perubahan dalam membangun masa depan bangsa.

“Dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus ditanggulangi bersama oleh segenap komponen bangsa, termasuk Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung,” ujar Prasetya. Peran Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam membangun bangsa dan negara sangatlah penting, karena dalam menjaga keutuhan NKRI diperlukan orang-orang yang berkualitas, profesional, kreatif, berkarakter, berwawasan kebangsaan, serta cinta tanah air. Diharapkan dengan memiliki wawasan kebangsaan, Ikatan Alumni ITB mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi  maupun kelompok.

Diharapkan kegiatan tersebut dapat membuka cakrawala pandang dan memberi manfaat bagi Ikatan Alumni ITB dalam menjalankan tugas untuk meningkatkan kemajuan bangsa dan negara ini dan para peserta memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang komprehensif serta integral untuk kepentingan nasional dengan berdasarkan pada empat Konsensus Dasar Bangsa. “Saya berharap kepada para peserta mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebangsaan tersebut secara maksimal, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam melaksanakan tugas dan fungsi saudara,” kata Prasetya.

“Kita yakin bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar,” kata Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni ITB Ir. Dwi Larso, MSIE., Ph.D. dalam sambutannya. Sebagai bangsa yang besar, Dwi berpandangan bahwa bangsa Indonesia terus maju, tumbuh, dan berkembang. Dwi menyampaikan bahwa beberapa lembaga kredibel memprediksi bahwa di tahun 2030 Indonesia akan menjadi bangsa terbesar nomor 7 di dunia dan pada tahun 2045 diprediksi akan menjadi bangsa dengan kekuatan nomor 4 di dunia. Kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan tersebut juga terlihat dari sejarah di masa lalu. Bangsa Indonesia beranjak dari negara dengan penghasilan rendah dan berhasil menjadi negara dengan pendapatan sedang. “Bangsa ini terus maju dengan ups and downs perjuangannya,” kata Dwi.

Dwi juga mengingatkan bahwa Ikatan Alumni ITB adalah 1 dari 11 orang di Indonesia yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan gelar sarjana. Keistimewaan yang dimiliki tersebut harus diiringi dengan kesadaran atas tanggung jawab. Oleh karena itu, Ikatan Alumni ITB ditantang untuk menjadi solusi bagi seluruh permasalahan bangsa. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” kata Dwi. Pada kesempatan tersebut, Dwi menegaskan bahwa sebagai orang yang terdidik dan memiliki keistimewaan mengenyam pendidikan tinggi, Ikatan Alumni ITB tidak boleh merasa cukup dengan gelar tetapi harus memiliki kepribadian yang berintegritas.

Dalam kegiatan tersebut, seluruh Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Ikatan Alumni ITB Angkatan I Lemhannas RI juga mengucapkan komitmen, di antaranya adalah setia kepada empat Konsensus Dasar Bangsa, menjadi agen pembangunan berwawasan nilai-nilai kebangsaan yang berintegritas untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperkuat karakter bangsa dan mewujudkan keutuhan kemajuan negara, mengabdikan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk memperkuat ketahanan nasional, dan mengantarkan bangsa Indonesia menjadi adil dan makmur.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749