Pertemuan Rutin Perista Lemhannas RI Bahas Kesehatan Mental di Era Perubahan

Pertemuan Rutin Persatuan Istri Anggota (Perista Lemhannas RI) dan Karyawati Lemhannas RI kembali dilaksanakan. Ini merupakan kali pertama pertemuan rutin dilaksanakan semenjak Maret 2020 dikarenakan adanya Pandemi Covid-19. Sebelum adanya pandemi Covid-19, pertemuan rutin yang diprakarsai Pengurus Perista Lemhannas RI ini biasanya dilaksanakan rutin setiap tiga bulan. Mengangkat tema “Kesehatan Mental di Era Perubahan”, pertemuan tersebut dilaksanakan secara tatap muka untuk beberapa karyawati yang sebelumnya sudah mengikuti tes usap antigen dan sisanya secara virtual pada Selasa (7/9).

Pada kesempatan tersebut, hadir selaku narasumber dr. Santi Yuliani, Sp.KJ., M.Sc. Dalam paparannya, dr. Santi menyampaikan bahwa membicarakan tentang mental ada tiga area yang dibicarakan, yakni mood, cognitive, dan behavior. Mood adalah suasana perasaan dan emosi, yang dimaksud emosi bukan hanya marah tapi suasana perasaan yang ada dalam diri. Cognitive adalah pola dan isi pikiran yang ada di dalam otak. Behavior adalah sikap dan perilaku. dr. Santi menekankan bahwa seseorang tidak bisa dibilang sehat mentalnya apabila mengalami gangguan di salah satu lini. “Artinya orang bisa disebut sehat mentalnya apabila suasana perasaan dan emosinya baik, pola dan isi pikirannya juga baik, dan juga sikap dan perilakunya baik. Jadi mental mencakup tiga hal ini mood, cognitive, dan behavior,” kata dr. Santi.

Lebih lanjut dr. Santi menjelaskan bahwa perasaan dan emosi letaknya berada di otak, bukan di dada. Ada area-area otak yang fungsinya untuk mental yang mencakup mood, cognitive, dan behavior. Kemudian dr. Santi menjelaskan fungsi dari tiap bagian di otak. Otak bagian depan (frontal lobe) fungsinya untuk berpikir, merencana, organisasi, menyelesaikan masalah, dan mengontrol perilaku kita. Selanjutnya motor cortex berfungsi untuk menjalankan gerakan tubuh. Kemudian ada sensory cortex untuk sensasi, ada parietal lobe untuk ejaan, berhitung, dan daya tangkap, lalu ada occipital lobe untuk melihat, dan temporal lobe untuk ingatan, pengertian, dan berbahasa. “Otak kita ini akan berfungsi untuk semua area mental yaitu emosi, cognitive, dan juga behavior,” ujar dr. Santi.

Selanjutnya dr. Santi menjelaskan mengenai limbic system, yakni salah satu area otak yang berfungsi untuk mengendalikan diri, baik emosi, nafsu makan, suhu tubuh, maupun hormone. Limbic system terutama bagian amygdala adalah bagian yang bekerja untuk area takut. “Sumber takut atau pusat ketakutan kita itu ada di area amygdala dan area inilah yang menyala hebat selama pandemi ini,” tutur dr. Santi.

Perubahan yang dialami saat ini adalah masuk ke dalam dunia pandemi. Perubahan luar biasa harus dialami, mulai dari cara berpakaian yang harus mengenakan masker, barang bawaan yang harus selalu siap sedia alat kebersihan, sampai metode komunikasi yang didominasi virtual. “Kondisi pandemi ini tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk bersiap-siap, tidak memberikan kesempatan kita untuk mencerna secara perlahan-lahan, dan semuanya serba cepat,” kata dr. Santi. Kondisi yang berubah secara tiba-tiba serta kondisi yang meminta untuk selalu berjaga-jaga dan waspada menyebabkan amygdala bekerja ekstra. Oleh karena itu, amygdala sangat penting keberadaannya karena sebagai alarm bahaya di otak. Tetapi di saat amygdala bekerja secara berlebihan, maka akan mengganggu kesehatan tubuh.

Dalam kesempatan tersebut, dr. Santi menyampaikan bahwa perasaan sedih, cemas, gelisah, stress, dan takut bukanlah hal yang salah, perasaan tersebut adalah hal biasa dan hal wajar saat menghadapi suatu kondisi perubahan yang dirasakan. Namun, sedih, cemas, gelisah, stress, dan takut yang berkepanjangan akan menimbulkan akibat lain karena amygdala menjadi sangat aktif dan merangsang keluarnya hormon kortisol atau hormon stress. Di saat hormon kortisol keluar secara terus menerus ditubuh, yang akan terjadi adalah gangguan fisik seperti mata lebih melotot, bibir lebih kering, pernapasan lebih cepat, jantung berdebar-debar, otot menjadi tegang, pencernaan terganggu, dan sering berkeringat.

Kondisi gangguan fisik tersebut bisa jadi merupakan respon otak terhadap ketakutan yang kemudian menjadi gangguan fisik sementara, tidak menetap disaat sudah bisa stress sudah bisa teratasi. Namun, jika stress tidak teratasi dengan baik maka bisa menjadi penyakit terus menerus. dr. Santi menegaskan bahwa saat mental terganggu dan tidak bisa teratasi, kondisi fisik sangat bisa terganggu. “Saat mental kita terganggu, tidak mungkin fisik kita tidak terganggu,” tutur dr. Santi.

dr. Santi juga memberikan beberapa cara untuk menenangkan diri. Pertama, disarankan untuk mengambil posisi duduk saat mengetahui berita yang menakutkan, yang membuat tidak nyaman, dan panik. Karena dengan mengubah dari posisi berdiri ke duduk akan memberikan kesempatan otak depan bagian logika untuk mengambil alih keributan amygdala. Kemudian diikuti mengatur nafas agar lebih perlahan-lahan, karena otak kita membutuhkan oksigen untuk bisa berpikir lebih baik. Kedua, disarankan membuat ceklis dengan membuat catatan tentang apa saja yang bisa dilakukan, siapa saja yang bisa membantu kondisi, dan bagaimana alur yang harus ditempuh. Ketiga, berpikir tentang saat ini, jangan berpikir terlalu jauh daripada yang seharusnya dipikirkan. Harus diingat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memastikan yang terjadi selanjutnya, tapi yang bisa dilakukan adalah mengendalikan apa yang terjadi saat ini. “Gunakanlah energi yang kita miliki untuk berfokus pada saat ini, kemudian berfokus kepada apa yang bisa aku lakukan untuk menguatkan diri hari ini dan mulai mengurangi berandai-andai tentang esok hari,” kata dr. Santi. Keempat, membaca referensi secara adil, jangan hanya membaca referensi yang negatif tapi juga membaca referensi yang positif dan tidak disarankan untuk mengikuti berita-berita yang sumbernya tidak jelas.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749