Press Release

Nomor  : PR/ 52 /VIII/2022

Tanggal : 25 Agustus 2022

Jakarta- Meskipun ada potensi luar biasa pada pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik dan perkapalan akan menjadi penting, namun ada beberapa hambatan untuk mencapainya, di antaranya adalah ekonomi. “Di Asia, negara-negara kaya sudah mulai menua dengan cepat (aging) dan tingkat pertumbuhan ekonomi mereka melambat secara drastis, termasuk Tiongkok,” kata Senior International Defense Researcher di RAND Corporation, Timothy R. Heath, Ph.D. saat menjadi pembicara The 6th Jakarta Geopolitical Forum “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability” di Grand Studio Metro TV pada Rabu, (24/08).

Mulai tahun ini, populasi Tiongkok mulai mengalami penurunan, satu decade lebih awal dari perkiraan banyak orang. Kemudian hingga tahun 2030, tingkat pertumbuhan Tiongkok diprediksi akan melambat 2 hingga 3 persen. Lebih lambat dari Amerika Serikat.

Dalam hal ekonomi, lanjut Heath, negara-negara berkembang di Asia membutuhkan infrastruktur yang besar. Namun, dana yang dimiliki tidak cukup untuk modernisasi infrastruktur yang dibutuhkan, termasuk infrastruktur pelabuhan dan perdagangan laut.

Padahal, Asia Pasifik atau Indo Pasifik diharapkan dapat memegang peranan penting di masa depan ekonomi global. “Banyak yang memperkirakan bahwa Indo Pasifik akan memberikan sekitar 50 persen dari GDP dunia pada 2050,” kata Heath.

Sebagian besar populasi urban di dunia, sekitar setengahnya berada di Asia Pasifik. Kemudian populasi usia kerja di Asia pada tahun 2040 diperkirakan mencapai 3 hingga 4 milyar orang, dibandingkan dengan Eropa yang diperkirakan hanya setengah milyar orang dan Amerika Serikat sekitar 300 juta orang. Hal ini menunjukkan potensi ekonomi di Asia sangat besar.

“Untuk mewujudkan potensi ini, ekonomi politik maritim akan memegang peranan yang sangat penting dan perkapalan menyumbang sebagian besar kegiatan perdagangan ekonomi,” kata Heath.

Heath menyebutkan bahwa saat ini sekitar 80 persen perdagangan global terjadi melalui laut dan perkapalan menjadi layanan yang sangat diminati.

Pada kesempatan itu juga, Heath menunjukkan peta pelabuhan yang paling aktif dalam pengiriman kapal container di Asia Timur yang melewati Selat Malaka dan terpusat di Laut Cina Selatan.

Heath menyimpulkan bahwa negara-negara seperti ASEAN bisa mengedepankan minatnya dengan menyatakan tujuannya secara jelas mengenai wilayah maritim. Yang kedua, memilih kerja sama yang paling sesuai. Pada akhirnya, baik Amerika Serikat dan Tiongkok tertarik untuk berperan dalam kebangkitan ekonomi di Asia Tenggara dan berusaha keras untuk membuat usaha ini berhasil.

Oleh sebab itu, dengan tidak mengabaikan ketegangan politik yang mungkin akan terjadi, Heath menilai bahwa semakin aktif negara-negara di ASEAN terlibat dengan Amerika Serikat dan Tiongkok dalam menjelaskan kebutuhan mereka, maka akan membantu untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan wilayah.

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/ 50 /VIII/2022

Tanggal :25 Agustus 2022

Jakarta- Beberapa tahun ke depan, persaingan maritim di dunia diprediksi akan semakin memanas. Hal ini disebabkan sistem internasional dihadapkan pada pandemic, krisis iklim, hutang yang meningkat, dan resesi ekonomi global, pangan, energi, dan keamaan yang terjadi di berbagai belahan dunia.

“Semua tantangan ini semakin diperparah dengan kompetisi yang semakin memanas antara dua kekuatan besar,” kata Senior Fellow and the Michael H. Armacost Chair in the Foreign Policy Program at Brookings Institute, Ryan Hass saat menjadi pembicara The 6th Jakarta Geopolitical Forum “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability” secara daring pada Kamis, (25/08).

Rekan kerja Hass di Brookings Institute mendeskripsikan bahwa saat ini Western Pacific (Pasifik Barat) terlihat seperti Jerman Timur ketika perang dunia kedua terjadi, yaitu sebagai garis patahan ketegangan geopolitik.

Garis patahan ini menimbulkan dua dampak. Pertama, meningkatnya resiko adanya konfrontasi besar atau konflik. Kemudian yang kedua adalah membatasi ruang kekuatan besar untuk memimpin kekuatan bersama dalam mengatasi tantangan yang bersifat sistemik.

Menurut Hass, ada beberapa hal yang membuatnya memprediksi persaingan maritime akan semakin memanas. Pertama, Tiongkok berinvestasi secara signifikan untuk pertama kalinya sejak tahun 1500-an agar menjadi kekuatan angkatan laut global dan menghasilkan keuntungan yang cepat.

“Dengan Tiongkok menjadi lebih kuat, mereka akan berkembang semakin berani menerima resiko dalam menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan strategik mereka,” kata Hass.

Hass menilai hal tersebut akan memunculkan tekanan yang signifikan terhadap stabilitas di Asia Pasifik, karena Tiongkok diprediksi akan menegaskan kontrol mereka terhadap klaim wilayahnya di Laut Cina Selatan dan Taiwan.

“Alasan kedua kenapa saya memperkirakan persaingan maritim akan semakin memanas adalah usaha Tiongkok di sepanjang jalan ini akan terbantu dengan adanya teknologi baru,” ujar Hass.

Penggunaan sistem persenjataan otonom tanpa awak (unmanned platform of autonomous weapon system) akan semakin meningkat dan perkembangan terbaru dalam bidang teknologi ini akan memperkuat kekuatan maritim Tiongkok.

Selanjutnya, Hass memperkirakan Tiongkok akan berusaha untuk mendirikan serangkaian pangkalan-pangkalan angkatan laut yang dapat melindungi jalur pelayanan internasional, seperti teori yang disampaikan oleh mantan ahli strategi angkatan laut Alfred Thayer Mahan. Mahan menyatakan bahwa mendirikan serangkaian pangkalan-pangkalan termasuk dalam persyaratan bagi kekuatan maritim untuk melindungi jalur pelayaran internasional.

“Tiongkok sangat bergantung dengan bahan bakar dan bahan pangan yang transit melalui laut timur tengah dan laut Cina Selatan. Saya memperkirakan mereka akan memperkuat kapasitas mereka untuk menjaga jalur pelayaran internasional tersebut,” kata Hass.

Hal yang keempat, lanjut Hass, sangat jelas bahwa Tiongkok dan Rusia mencari jalan untuk menunjukkan koordinasi mereka dan kehadiran angkatan lautnya, tidak hanya di Asia, namun di seluruh dunia.

“Ini akan menambahkan rasa persaingan, dan di waktu yang bersamaan, amerika serikat dan rekannya tidak akan hanya diam melihat semuanya terjadi,” kata Hass.

Narahubung: Maulida (082229125536) / Endah (081316072186)

Caption Foto: Mr. Ryan Hass saat menjadi pembicara the 6th Jakarta Geopolitical Forum dengan tema “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability”.

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/ 51 /VIII/2022

Tanggal : 25 Agustus 2022

Jakarta – Masih ada peluang kerjasama di Laut China Selatan, terutama bagi negara-negara yang bersinggungan di wilayah tersebut. Selain konflik atau persengketaan yang sedang berlangsung di Laut China Selatan antara Tiongkok, Filipina, dan beberapa negara lain, tetap ada ruang untuk membangun kerja sama antara negara-negara tersebut bahkan antar negara yang sedang turut andil dalam masalah di wilayah ini.

Hal ini dipaparakan oleh akademisi dari Rusia, Dr. Alexander Korolev, Associate Professor, Deputy Head of the Centre for Comprehensive European and International Studies, Higher School of Economics dalam The 6th Jakarta Geopolitical Forum “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability”.

“Di samping semua titik pergolakan di Laut China Selatan khususnya antara Tiongkok dengan Filipina atau Tiongkok dengan Vietnam, kita bisa melihat bahwa masih ada ruang untuk kerja sama terutama untuk isu pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut,” kata Dr. Alexander Korolev (24/8). Di antara jalur bilateral Tiongkok – Filipina, terdapat negara-negara lain yang turut andil dan bersinggungan Vietnam, Malaysia, dan Brunei.

Pada November 2018 lalu, Filipina dan Tiongkok telah menandatangani nota kesepahaman terkait pembangunan minyak dan gas ketika kunjungan kenegaraan Presiden Tiongkok Xi Jinping ke Manila dengan mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte.

Nota Kesepahaman Filipina-Tiongkok dapat menandakan kesiapan mereka untuk membuka jalan kerja sama yang berfokus pada penggunaan bersama dan pengembangan aset Laut Cina Selatan, terlepas dari masalah kedaulatan atau kepemilikan sumber daya yang kontroversial. “Hal ini juga menunjukkan pentingnya perusahaan eksplorasi minyak dan kemitraan publik-swasta dalam pengembangan bersama di masa depan,” lanjut Dr. Korolev.

Tiongkok dan Filipina sepakat untuk membentuk komite pengarah gabungan antara pemerintah (Inter-governmental Joint Steering Committee) dan komite pengarah kelompok kerja antar-kewirausahaan (Inter-entrepreneurial Working Groups) yang akan merundingkan dan mengejar kesepakatan kerjasama untuk pembangunan minyak dan gas di masa depan.

Dr. Korolev menyebutkan, dengan referensi dari Filipina dan Tiongkok, ada beberapa prasyarat untuk terciptanya kerjasama antar negara di Laut China Selatan, antara lain keterlibatan sektor swasta, pengaturan manajemen yang adil dengan mempertimbangkan norma dan praktik untuk keberlanjutan lingkungan seperti pengurangan polusi laut, serta melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir.

Keterlibatan sektor swasta memiliki peran penting dalam menyelaraskan pihak swasta yang terlibat. “Dalam konteks eksplorasi migas bersama, tata kelola kelautan lintas sektoral adalah kerangka kerja multi-faceted di mana berbagai pemangku kepentingan menjalankan peran yang berbeda dan kritis dalam mengelola dan mengatur kegiatan migas lepas pantai, secara langsung dan tidak langsung,” jelas Dr. Korolev.

Menurutnya, perusahaan minyak dan gas, asosiasi bisnis, dan organisasi standar menawarkan keahlian teknis yang relevan, pengalaman operasi, praktik terbaik, dan standar untuk membantu membentuk norma tata kelola. “Keterlibatan sektor swasta seperti perusahaan minyak dalam upaya multi-sektoral untuk memperkuat pengelolaan dan pembagian sumber daya sangat penting untuk menyelaraskan insentif dan memastikan kepatuhan lingkungan,” ujar Dr. Korolev.

Aspek selanjutnya yaitu sustainability, Dr. Korolev juga menekankan kepatuhan berbagai pihak yang terlibat dalam menjaga lingkungan. Keterlibatan sektor swasta seperti perusahaan minyak dalam upaya multi-sektoral untuk memperkuat pengelolaan dan pembagian sumber daya sangat penting untuk menyelaraskan insentif dan memastikan kepatuhan lingkungan. Di Samudra Arktik, misalnya, telah ada kegiatan bersama di antara konsorsium perusahaan tentang teknologi respons tumpahan minyak dan saling membantu dalam kemampuan respons. Kepatuhan dalam menjaga lingkungan ini juga menjadi norma penting yang harus dipatuhi oleh Tiongkok dan Filipina.

“Dalam konteks Nota Kesepahaman baru-baru ini tentang eksplorasi minyak dan gas bersama, perusahaan minyak Filipina dan Tiongkok harus secara serius mempertimbangkan dimasukkannya norma dan praktik terbaik dalam mencegah dan mengurangi polusi laut dalam pengaturan komersial mereka dan potensi operasi bersama di masa depan,” lanjut Dr. Korolev.

Terakhir, adalah hal yang sering diabaikan oleh berbagai pihak, tapi sangat krusial yaitu pelibatan masyarakat sekitar. “Nelayan dan masyarakat pesisir harus secara proaktif berpartisipasi dalam pengelolaan berkelanjutan dan pembagian stok ikan lintas batas. Koeksistensi damai di antara para nelayan dari negara-negara pengklaim Laut Cina Selatan bukanlah fenomena baru,” lanjut Dr. Korolev menjelaskan. Faktanya, Laut Cina Selatan telah menjadi kesamaan regional selama beberapa generasi. Di masa lalu, nelayan dari semua negara sekitarnya bisa hidup berdampingan secara damai dan bahkan berdagang di antara mereka sendiri.

Interaksi yang kompleks dan dinamis dari masalah lingkungan, meningkatnya permintaan akan sumber daya alam, dan klaim kedaulatan yang bersaing di Laut China Selatan memerlukan mekanisme tata kelola yang fleksibel dan transparan dan kolaborasi yang mencakup keragaman keahlian, kepentingan, dan praktik terbaik, antara lain. Untuk itu, kerjasama dan partisipasi pemangku kepentingan harus ditingkatkan. Untuk keenam kalinya, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menyelenggarakan Jakarta Geopolitical Forum pada Rabu dan Kamis, 24 dan 25 Agustus 2022 dengan menghadirkan para ahli geopolitik dari berbagai negara.

Tahun ini, the 6th Jakarta Geopolitical Forum mengangkat tema “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability” secara hibrida. Ada 11 Narasumber terkemuka yang berasal dari lima negara, antara lain, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Singapura, dan Indonesia, diundang menjadi pemateri JGF kali ini.

Narasumber tersebut antara lain, Dr. Collin Koh Swee Lean, Research Fellow at the S. Rajaratnam School of International Studies; Admiral (Ret) Prof. Dr. Marsetio, S.I.P., M.M., Professor at Indonesia National Defence University; Mr. Sam Roggeveen, Director of International Security Program of Lowy Institute; Timothy R. Heath, Ph.D., Senior International Defense Researcher at the RAND Corporation; Phillips Vermonte, Ph.D., Senior Fellow of CSIS; Dr. Alan Dupont, The CEO of Geopolitical Risk Consultancy the Cognoscenti; Dr. Alexander Korolev, Associate Professor, Deputy Head of the Centre for Comprehensive European and International Studies, Higher School of Economics; Mr. Ryan Hass, Senior Fellow and the Michael H. Armacost Chair in the Foreign Policy Program at Brookings Institute; Prof. Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D., Vice Rector for Research and Technology Transfer Binus University; Prof. Dr. Ir. Dadan Umar Daihani, D.E.A., Professional Expert on Natural Resources and National Resilience at National Resilience Institute the Republic Indonesia; dan R.M. Wibawanto Nugroho Widodo, Ph.D., M.A.(Brad), M.A., War College Dip.(NDU), M.P.P.(GMU), Ph.D.(Exon.), Deputy Head of Defense and Security, IKAL Strategic Center.

Forum internasional ini bertujuan untuk menciptakan desain tata kelola hubungan antar aktor geopolitik dalam mencapai keseimbangan kekuatan yang menjadi terbentuknya stabilitas global, khususnya masa depan geopolitik Indonesia dan dunia. Di sisi lain juga untuk memahami konteks geomaritim kontemporer yang mewarnai isu geopolitik yang sedang berkembang maupun yang akan terjadi ke depan, serta mendalami makna inti masa depan geopolitik yang berbasis pada maritim dan pengaruhnya terhadap stabilitas global.

Narahubung: Maulida (082229125536) / Endah (081316072186)

Caption Foto: E-Flyer The 6th Jakarta Geopolitical Forum dengan tema “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability”.

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/  44   /VIII/2022

Tanggal :   24   Agustus 2022

Jakarta- Pertarungan antar kekuatan dalam perebutan pengaruh yang semakin keras, dengan pengerahan kemampuan militer dan teknologi, dan penguasaan wilayah maritim yang semakin agresif, telah mengubah tatanan geopolitik global ke arah yang semakin tidak menentu.

Wilayah maritim diprediksi akan menjadi arena persaingan utama antar negara bahkan semakin mendekat dengan Indonesia. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menilai dinamika ini sangat menarik untuk dicermati. “Khusus untuk tahun ini tema yang kami angkat adalah tentang geomaritim dengan kesadaran bahwa pertarungan geopolitik di depan akan semakin dekat ke kita, karena akan terjadi di kawasan Asia Timur dan akan menggunakan maritim, laut, samudera sebagai sarana wadah pertarungannya,” kata Gubernur Lemhannas RI, Andi Widjajanto saat opening remarks (24/8).

Atas kondisi persaingan tersebut, akan muncul tantangan dalam mempertahankan status quo dan kebangkitan para revisionis ketika menggunakan kekuatan maritim dalam rangka mempertahankan sumber daya dan teknologi untuk kekuasaan. “Yang terjadi seharusnya ada pembangunan infrastruktur global yang menggabungkan antar negara, bahkan antar benua, yang terjadi adalah seharusnya terciptanya satu rantai pasok global,” lanjut Gubernur Andi Widjajanto. Menurutnya, Freedom of navigation yang menjadi inti dari stabilitas. “Selama ada freedom of navigation, stabilitas maritim tercapai. Nah, sekarang itu tidak cukup, freedom of navigationnya ada, ternyata ada disrupsi rantai pasok,” kata Gubernur Andi Widjajanto.

Gubernur Andi Widjajanto juga menambahkan yang terjadi saat ini adalah konektivitas, akan tetapi justru sebaliknya yaitu patahan dan diskonektivitas. “Yang terjadi hari ini, konektivitas memunculkan patahan-patahan global. Dan sejak Februari 2022, patahannya semakin keras karena ada pertarungan Amerika Serikat – Rusia, karena terjadinya krisis di Ukraina,” kata Gubernur Andi Widjajanto.

Sehingga, selagi kompetisi kekuatan tetap berlangsung pada isu-isu kemaritiman, masa depan geomaritim tentu sangat relevan untuk dibicarakan. Sistem global yang didorong oleh kepentingan hegemoni di era transisi norma perdagangan dan ekonomi telah memunculkan perkembangan teknologi untuk mempertahankan kekuasaan yang dipicu oleh munculnya negara-negara kontra hegemoni. Mencermati hal di atas, muncul pertanyaan mendasar “Bagaimana menavigasi geopolitik maritim sebagai sebuah prasyarat mendasar untuk membangun stabilitas global dalam dunia yang aman dan sejahtera?”

Oleh sebab itu, untuk keenam kalinya, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menyelenggarakan Jakarta Geopolitical Forum pada Rabu dan Kamis, 24 dan 25 Agustus 2022 dengan menghadirkan para ahli geopolitik dari berbagai negara. Tahun ini, the 6th Jakarta Geopolitical Forum mengangkat tema “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability” secara hibrida. Selain tema besar tersebut, terdapat tiga sub tema pada setiap sesi kegiatan, yaitu:(1) Maritime defense and security in dynamic uncertainties;(2) Geomaritime political economy: generating growth, sustaining resource, and gaining power; dan(3) Advancing maritime technology in geo-strategic context.

Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto membuka acara Jakarta Geopolitical Forum yang bertempat di Grand Studio Metro TV pada Rabu pukul 08.00 WIB.

Ada 11 Narasumber terkemuka yang berasal dari lima negara, antara lain, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Singapura, dan Indonesia, diundang menjadi pemateri JGF kali ini.

Narasumber tersebut antara lain, Dr. Collin Koh Swee Lean, Research Fellow at the S. Rajaratnam School of International Studies; Admiral (Ret) Prof. Dr. Marsetio, S.I.P., M.M., Professor at Indonesia National Defence University; Mr. Sam Roggeveen, Director of International Security Program of Lowy Institute; Timothy R. Heath, Ph.D., Senior International Defense Researcher at the RAND Corporation; Phillips Vermonte, Ph.D., Senior Fellow of CSIS; Dr. Alan Dupont, The CEO of Geopolitical Risk Consultancy the Cognoscenti; Dr. Alexander Korolev, Associate Professor, Deputy Head of the Centre for Comprehensive European and International Studies, Higher School of Economics; Mr. Ryan Hass, Senior Fellow and the Michael H. Armacost Chair in the Foreign Policy Program at Brookings Institute; Prof. Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D., Vice Rector for Research and Technology Transfer Binus University; Prof. Dr. Ir. Dadan Umar Daihani, D.E.A., Professional Expert on Natural Resources and National Resilience at National Resilience Institute the Republic Indonesia; dan R.M. Wibawanto Nugroho Widodo, Ph.D., M.A.(Brad), M.A., War College Dip.(NDU), M.P.P.(GMU), Ph.D.(Exon.), Deputy Head of Defense and Security, IKAL Strategic Center.

Forum internasional ini bertujuan untuk menciptakan desain tata kelola hubungan antar aktor geopolitik dalam mencapai keseimbangan kekuatan yang menjadi terbentuknya stabilitas global, khususnya masa depan geopolitik Indonesia dan dunia. “Tujuannya adalah membantu untuk lebih memahami apa yang disebut sebagai konektivitas global,” kata Gubernur Andi.

Di sisi lain juga untuk memahami konteks geomaritim kontemporer yang mewarnai isu geopolitik yang sedang berkembang maupun yang akan terjadi ke depan, serta mendalami makna inti masa depan geopolitik yang berbasis pada maritim dan pengaruhnya terhadap stabilitas global.

Narahubung: Maulida (082229125536) / Endah (081316072186)

Caption Foto: E-Flyer The 6th Jakarta Geopolitical Forum dengan tema “Geomaritime: Chasing the Future of Global Stability”.

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749