Press Release

Nomor  : PR/41/X/2021

Tanggal :  25 Oktober 2021

Jakarta- Hilangnya ponsel pintar dari pemiliknya dalam waktu lima menit, bisa jadi adalah sebuah ciri identitas bangsa. “Pilihannya mau dipertahankan, atau ditinggalkan?” kata Dokter Ryu Hasan, ahli neurosains Indonesia saat menjadi pembicara dalam Jakarta Geopolitical Forum V di Jakarta (21/10).

Tidak tanggung-tanggung, untuk menghilangkan identitas bagaimana sebuah handphone bisa hilang menurut Ryu perlu waktu yang panjang. “Untuk sekedar mengubah identitas handphone yang bisa hilang dalam waktu lima menit itu, memerlukan waktu dua generasi, lho.”

Termasuk juga mengubah identitas Indonesia yang lalu lintas semrawut. Sampai ada tulisan "Anda Memasuki Kawasan Tertib Lalu Lintas", yang menjadi pertanda di tempat lain tidak tertib. “Itu identitas kita ! Apakah ini mau kita pertahankan? Kalau mau ya silakan saja!” kata Ryu di hadapan peserta JGF V secara daring.

Dalam mempertahankan identitas, Ryu mengajak peserta JGF untuk mengkritisi terlebih dulu, identitas yang positif atau negatif. “Misalnya apakah kita mau mempertahankan identitas yang handphone  pada waktu 5 menit, terus hilang?” Kata Ryu. Menurut Ryu sebagai sebuah bangsa, identitas yang tidak menguntungkan tidak perlu dipertahankan.

Identitas ini adalah hal dari perilaku. Ryu melanjutkan, sifat individu manusia kalau sendirian sulit ditebak. Berbeda dengan perilaku manusia saat berkelompok, mudah ditebak.  “Identitas Indonesia dalam kelompok, memang manusia kalau sendirian, itu sulit ditebak sifat individualnya. Tapi begitu berkelompok, sifat kelompoknya gampang ditebak,” kata Ryu.

Ryu mencoba menghindari pertanyaan apa yang seharusnya kita lakukan. Sebaliknya, pertanyaan yang lebih cocok adalah bagaimana mempertahankan identitas. “Kalau tidak perlu dipertahankan, ya tidak usah dipertahankan, meskipun itu identitas. Kalau identitas jelek ditinggalkan aja. Tidak memberikan manfaat,” lanjut Ryu.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, menyampaikan poin penting saat penutupan JGF V. Menurutnya untuk berpikir tentang peradaban, dimulai dari hal kecil dan rutin setiap hari ditemukan. Ada tiga hal utama untuk berpikir tentang peradaban, yaitu tidak perlu berpikir tentang hal makro, pertanyaan mendasar terkait teknologi, lalu pertanyaan tentang Identitas.

“Mungkin saya bisa sampaikan bahwa yang pertama kalau kita berpikir tentang peradaban, kita tidak harus berpikir tentang hal-hal yang besar, pada tingkat makro,” kata Agus.  Kedua, terkait pertanyaan mengenai teknologi, apakah teknologi merupakan hasil akhir atau ini alat untuk mencapai apa yang kita inginkan? Terakhir  pilihan tentang identitas. “Kalau kita menerima identitas kita ada yang disebut sebagai identitas positif atau negative. Jadi kita harus membuat pilhan yang mana yang akan kita adopsi dan mana yang akan kita tinggalkan?” kata Agus.

Pada waktunya nanti, makna dari peradaban dan kemanusiaan serta identitas, serta pertanyaan identitas apa yang harus kita miliki pada akhirnya mereka adalah pilihan-pilihan yang harus kita ambil dan kita harus menerima juga konsekuensinya.

Narahubung : Endah (081316072186)

Caption Foto: Dr. Ryu Hasan saat menjadi narasumber pada Jakarta Geopolitical Forum V yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/42/X/2021

Tanggal:  25 Oktober 2021

Jakarta- Ilmu pengetahuan menjadi senjata utama kemanusiaan untuk bertahan hidup, bahkan saat peradaban berubah. “Perubahan tidak dapat dihindari,” kata Prof. Dr. Ir. Dadan Umar Daihani, D.E.A., Tenaga Profesional Sumber Kekayaan Alam dan Ketahanan Nasional Lemhannas RI saat menyampaikan simpulan forum Jakarta Geopolitical Forum V 2021, (22/10).

Perbedaan peradaban semakin terlihat di era teknologi global yang dapat menembus batas ruang. Saat ini, peradaban besar merupakan sinergi antara budaya dan peradaban yang telah ada. Fokus utama peradaban manusia terkait dengan bidang kesehatan, lingkungan, dan pertumbuhan populasi. Namun, kemampuan manusia dari berbagai latar belakang peradaban dapat bergabung dalam “Civilization Sinergy” atau sinergi peradaban yang merupakan secercah cahaya.

Indonesia adalah negara yang menakjubkan dengan berbagai macam perbedaan, sehingga berkontribusi secara signifikan dalam sinergi peradaban. Perbedaan agama, etnis, budaya, dan bahkan perbedaan penguasaan teknologi. Selain itu, Indonesia juga dipimpin oleh  demokrasi gaya Indonesia dengan karakter, nilai-nilai, dan peradaban Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi cocok dengan berbagai agama dan warisan peradaban.

Menurut Dadan, manusia harus mencoba untuk menciptakan keseimbangan baru dan berkompromi antara sikap mudah beradaptasi terhadap perubahan dan bertahan untuk tidak berubah.

“Tidak ada seorangpun yang dapat  memperkirakan  yang akan terjadi di masa depan  tetapi kita harus  terus berjuang  untuk hidup yang lebih bermartabat,” kata Dadan.

Saat ini, manusia dihadapkan pada dua game changers, yaitu kemajuan teknologi yang pesat dan pandemi Covid-19. Digitalisasi di berbagai bidang, tidak hanya hanya mempengaruhi cara manusia bekerja, namun juga mempengaruhi cara berpikir manusia.

Teknologi, lanjut Dadan, membuka ketidakpastian kemanusiaan di masa depan, karena penyebarannya tidak dapat dikendalikan secara virtual. Melalui kemajuan teknologi, ada potensi risiko bahwa manusia dapat kehilangan identitas atau jati diri.

“Manusia mungkin akan menghadapi kehancuran pribadi dan masyarakatnya sendiri sebagai akibat dari perkembangan teknis ciptaannya. Akankah manusia menjadi master teknologi atau akan menjadi budak teknologi?” kata Dadan.

Perubahan besar kedua, adanya pandemi Covid-19. Covid-19 telah menghapuskan ketergantungan lintas negara dan memunculkan rantai pasokan ekonomi global atau global economy supply chain. Bahkan ultranasionalisme terbatas meningkat lintas negara dan menimbulkan kecurigaan satu sama lain.

Selain itu, dunia juga memaksa manusia untuk mengubah perilaku dan gaya hidup. Interaksi langsung antar manusia juga dibatasi dengan jarak dan dengan bantuan teknologi. Merebaknya Covid-19 mempengaruhi kehidupan manusia di seluruh dunia selama hampir dua tahun dan masih berlangsung. Namun, mutasi virus tidak meredam  optimisme kemanusiaan setelah dibekali dengan pengetahuan. Kemanusiaan semakin maju dan memiliki kapasitas untuk mengendalikan risiko pandemi.

“Kita harus sadar akan banyaknya pemikiran-pemikiran yang hebat dari para profesional yang tidak kita sadari. Saya berharap, hal ini akan menjadi bagian dari tugas kita yang harus kita amati. Roda harus terus berputar dan hidup harus terus bermakna. Sebagai seorang manusia, mari kita bangun masyarakat yang beradab,” kata Dadan.

Narahubung : Maulida (082229125536)

Caption Foto: Prof. Dr. Ir. Dadan Umar Daihani saat menyampaikan simpulan forum pada Jakarta Geopolitical Forum V yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads”

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id 

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/40/X/2021

Tanggal :  25 Oktober 2021

Jakarta- Pancasila dinilai cukup berhasil memengaruhi masyarakat dalam menghadapi pluralisme. Karena keberhasilannya itu, negara lain dianggap bisa mencontoh pluralisme di Indonesia.

"Di China terdapat masalah etnis, ada etnis minoritas yang mengalami penderitaan, kaum Xinjiang. Mungkin Indonesia bisa menjadi contoh," kata Prof. Donald K. Emmerson, Ph.D., Senior Fellow at the Freeman Spogli Institute for International Studies saat menjadi pembicara di Jakarta Geopoliticial Forum V Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta,   21 Oktober 2021. 

Selain Pancasila, pluralisme dinilai cukup berhasil, karena Indonesia mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Dengan keberhasian Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dimiliki, maka menurut Emmerson, Indonesia bisa menjadi jembatan peradaban bagi dunia mengenai pluralisme.

Emmerson juga menjelaskan , pada tahun 2020 Freedom House sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat,  memberikan sinyal bahaya terkait memburuknya indeks kebebasan di beberapa negara. Lembaga tersebut memberikan peringkat kepada 195 negara dalam laporannya, Freedom in the World 2020. Disebutkan bahwa 83 negara dinyatakan sebagai "bebas", 49 negara "tidak bebas", dan 63 negara dinyatakan sebagai "bebas sebagian".

"Tahun 2020 adalah tahun ke-15 berturut-turut di mana kebebasan global menurun. Sejak 2006, negara-negara yang mengalami penurunan kebebasan semakin banyak daripada yang mengalami kenaikan," kata Emmerson.  Freedom House menyimpulkan bahwa resesi demokrasi semakin panjang dan dalam.

Emmerson juga melihat, globalisasi sekarang menuju  keadaan darurat. Dia  membagi dua jenis masalah terkait relevansi posisi dan peran negara dalam penyelesaian masalah yakni cockpit problem (masalah kokpit) dan mandate problem (masalah mandat). "Cockpit problem adalah masalah yang mendesak dan membutuhkan penyelesaian masalah dengan waktu yang singkat. Mandate problem mengarah ke demokrasi yang di dalamnya terdapat diskusi, ada ketidaksetujuan, juga pendapat mayoritas untuk menyelesaikan masalahnya," jelas Emerson.

Di sisi lainnya, Emerson juga memandang globalisasi menciptakan saling ketergantungan. "Jika ada suatu kesalahan di beberapa belahan dunia, akan berdampak besar. Sehingga memicu reaksi 'cockpit', bukan reaksi 'mandat', " jelas Emmerson.

Dr. Ryu Hasan menyebutkan peradaban global sangat berpengaruh dan bersifat  dua arah. Yang terjadi di Indonesia juga akan berpengaruh ke global. Dia mencontohkan,  kasus lonjakan pandemi kedua, akan mempengaruhi kondisi global.  "Pasokan energi ke negara tetangga terganggu," kata Ryu.

Hanya saja secara geopolitik, pada zaman dulu terjadi tidak secara langsung.  Ryu mencontohkan, Napoleon Bonaparte kalah perang, karena Gunung Tambora meletus, yang menyebabkan suhu bumi turun, sehingga meriam Napoleon tidak bisa ditarik. "Sekarang perilaku di Indonesia akan mempengaruhi negara tetangga. Misalnya tragedi India, tidak sampai sebulan, di Indonesia terjadi lonjakan. Juga pandemi yang terjadi di Wuhan, sudah mengubah pandangan politik seluruh dunia," kata Ryu Hasan.

Narahubung: Endah (081316072186)

Caption Foto: Prof Donald K. Emmerson, Ph.D., Senior Fellow at the Freeman Spogli Institute for International Studies saat menjadi pembicara di Jakarta Geopoliticial Forum V Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta

 

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/39/X/2021

Tanggal :  22 Oktober 2021

Jakarta- Lembaga-lembaga resmi negara seperti LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) diharapkan membuka ruang-ruang bagi kerjasama tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional guna membahas masalah-masalah bersama sebagai sesama manusia penghuni planet yang sama. Masalah “ketahanan nasional” hendaknya tidak hanya mencakup masalah bagaimana mempertahankan diri dari kemungkinan serangan militer oleh negara lain. 

"Ketahanan nasional juga menyangkut ketahanan bersama segenap umat manusia dari kemungkinan kehancuran kolektif sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi," kata Baskara T. Wardaya, pengajar Sejarah dan Kepala PUSDEMA (Pusat Kajiran Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dalam acara Jakarta Geopolitical Forum V / 2021 yang diselenggarakan Lemhannas, Jumat, (22/10). 

Sejarawan yang akrab disapa Romo Baskara ini mengatakan untuk menanggulangi hilangnya eksistensi individu maupun hancurnya manusia secara kolektif, sejumlah langkah praktis perlu segera diambil.  Dalam ruang lingkup sosial-ekonomi-politik, perlulah kiranya bahwa semua pihak semakin berani mengangkat kembali berbagai bentuk kearifan lokal dan tradisional yang mengajarkan penghormatan kepada alam. Komunitas-komunitas adat yang biasanya kental dengan pengalaman menjaga lingkungan maupun dalam menyikapi modernitas (termasuk teknologi) perlu terus diajak dialog dan berbagi pengalaman serta pengetahuan kepada masyarakat luas. 

Romo Baskara juga merekomendasikan dalam dunia pendidikan generasi muda, perlu segera ditambahkan materi belajar yang mengajarkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lokal maupun universal. "Artinya, kepada para siswa perlu ditawarkan materi belajar berisi pentingnya sikap-sikap yang melampaui sekat-sekat primordialitas serta sikap-sikap lain yang bisa mendorong para peserta-didik untuk berani ikut memikirkan masalah-masalah kemanusiaan pada umumnya," katanya. 

Termasuk di dalamnya adalah materi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan dampak teknologi terhadap perubahan iklim; terhadap pemahaman manusia akan dirinya sendiri sebagai pribadi maupun sebagai bagian komunitas kemanusiaan; dan juga terhadap keberlangsungan manusia sendiri sebagai salah satu spesies penghuni planet bumi. 

Sejak akhir abad pertengahan, penemuan dan pengembangan sains dan teknologi telah memberikan kegunaan dan harapan yang besar kepada umat manusia. Menurut Romo Baskara, banyak sekali buah-buah pemikiran dan inovasi yang dihasilkannya, dan dengan gembira manusia menyambutnya. Di masa kini, kemajuan teknologi telah memberikan berbagai kenyamanan dan kemudahan kepada manusia. Ternyata, berbagai kenyamanan dan kemudahan yang diberikan itu hanyalah satu sisi dari teknologi. "Bagaikan pedang bermata dua, teknologi memiliki sisi lain," kata Baskara. Dengan perkembangannya yang nyaris tak terbendung, teknologi telah membuka pintu ketidakpastian masa depan manusia sebagai salah satu spesies penghuni planet bumi. Melalui kemajuan teknologi, ada bahaya bahwa karena ulahnya sendiri, di masa mendatang manusia sebagai pribadi menjadi semakin kehilangan jati-dirinya. Bagi para pemilik dan pengelola teknologi internet, misalnya, manusia akan dipandang sekedar sebagai “gumpalan informasi” yang akan diurai menjadi serpihan-serpihan data.

Serpihan-serpihan data itu selanjutnya akan dinilai berguna sejauh bisa diolah dan diperjualbelikan di pasar data. Jika situasi seperti ini dibiarkan terus berlanjut, ada kemungkinan bahwa di tengah kemajuan teknologi hasil ciptaannya, manusia sedang menyongsong kehancurannya sendiri, berikut kebudayaan dan peradaban yang diciptakannya. 

Berhadapan dengan skenario semacam itu, kini tiba saatnya bagi manusia untuk melakukan refleksi diri tentang keberadaannya di tengah kepungan teknologi. Diperlukan pula kesediaan umat manusia untuk lebih sering duduk bersama dan bertukar pikiran mengenai masalah-masalah global. Bersamaan dengan itu dibutuhkan kesediaan manusia untuk menyingkirkan sekat-sekat perbedaan yang ada. Semua pihak perlu membicarakan langkah-langkah strategis demi menjamin eksistensi dan keberlangsungannya sebagai manusia, baik sebagai individu maupun sebagai sesama penghuni jagad yang sama.

Narahubung: Endah (081316072186)

Caption Foto: Sejarawan Indonesia Baskara Tulus Wardaya, Ph.D. saat menjadi narasumber pada Jakarta Geopolitical Forum V

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id 

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749