Press Release

Nomor  : PR/  26  /X/2021

Tanggal :  21 Oktober 2021

Jakarta- Tiga hal yang sempat mengancam  peradaban manusia adalah kelaparan, perang, dan infeksi. Ketiga hal tersebut pada rentang abad 20 berhasil diatasi.

Ternyata, ancaman yang mengintip abad moderen saat ini,  tapi luput dari perhatian manusia  adalah kelebihan makanan. "Sekarang ancaman kita justru kelebihan makanan. Orang gembrot, obesitas adalah  masalah peradaban ke depan," kata dr Ryu Hassan saat menyampaikan materi Politik dari Sudut Pandang Neurosains, pandangan Politik Merupakan Kehendak Bebas atau Kutukan?" dalam acara Jakarta Geopolitical Forum V / 2021 yang diselenggarakan Lemhannas, Kamis, (21/10).  Ryu Hassan menyampaikan ini saat penanya asal Aceh, Cut Nyak Meutia menyampaikan pertanyaan apakah gaya hidup manusia dalam menerapkan pola makan memengaruhi peradaban.

Ryu menjelaskan, infeksi sekitar satu abad lalu pernah memusnahkan 120 juta manusia. Tapi ketika pandemi Covid-19 menyebar ke seluruh bumi,  empat juta orang meninggal. Perang yang pernah terjadi pada peradaban manusia membunuh puluhan juta jiwa.  Timur Tengah yang masih berlangsung perang sampai saat ini  menelan korban ribuan jiwa. Sementara kelaparan pernah membuat negara seperti Ethiopia kehilangan jumlah penduduk. "Sekarang tidak ada lagi kelaparan yang mengurangi jumlah populasi dunia," kata dr Ryu Hassan.

Menurut Ryu,  obesitas merupakan persoalan global dan menjadi concern WHO sejak tahun 2000. Dari sekian negara yang menyadari bahaya obesitas, hanya Jepang negara yang paling serius menangani obesitas. "Jepang punya Undang-undang anti gembrot sejak 2008," kata Ryu Hassan. Mereka menerapkan batas  ukuran lingkar pinggang pada laki-laki 84,3 cm dan perempuan 81.3 untuk menentukan seseorang terkena obesitas atau tidak.

Ketika awal diterapkan, kata Ryu, orang Jepang belum terlalu notice. Orang sakit masih tinggi akibat obesitas. Tapi ketika pemerintah menerapkan denda terhadap perusahaan yang terbukti  karyawannya obesitas, barulah masyarakat Jepang sadar tentang obesitas. Angka obesitas menurun.

"Setelah diberlakukan denda dalam dua tahun sejak diundangkan,  menurunkan angka kesakitan dan biaya kesehatan yang dikeluarkan," kata Ryu Hassan. Seperti diketahui, orang obesitas biasanya mudah terserang penyakit seperti diabetes, jantung dll

Bila  melihat perilaku manusia soal obesitas, memang ada paradoks. Manusia, kata Ryu, punya gen tidak bisa berhenti makan. Gen ini menolong manusia  pada saat mempertahankan hidup. "Orang yang tidak punya gen tidak bisa berhenti makan, punya peluang hidup lebih tinggi," katanya.  Pada akhirnya manusia yang bertahan ialah manusia yg punya gen tidak bisa berhenti makan. "Ini memberikan advantage pada saat sumber daya terbatas," kata Ryu.

Dr. Robertus Robet, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta menyampaikan pengaruh struktur biologis menyebabkan anak sekolah sekarang tak lagi memakai celana pendek seperti zaman dulu.  "Salah satunya karena  revolusi pangan," kata Robet.

Dalam konteks politik budaya, Korea telah melakukan politik kebudayaan melalui makanan Korea dengan Korean Pop Culture. Mestinya, Indonesia meiliki strategi seperti yang dilakukan Korea. Ini sebenarnya pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru melalui   strategi kebudayaan dalam rangka memperkuat identitas kebudayaan. "Indonesia musti punya politik kebudayaan untuk memperkuat entitasnya," katanya.

 

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/ 28 /X/2021

Tanggal:  21 Oktober 2021

Jakarta – Beberapa hal penting dapat dipelajari di Indonesia, bukan tentang kecerdasan buatan, tetapi kecerdasan sosial dan kecerdasan nasional. Hal-hal tersebut di antaranya, budaya, wawasan, dan sejarah yang unik. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki peran yang sangat positif dalam era globalisasi.

“Saya rasa Indonesia sebagai negara yang sangat luar biasa dan memiliki banyak kelebihan, sehingga tesis Huntington itu salah,” kata Prof. Robert W. Hefner saat menjadi narasumber pada The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 dengan tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroad” secara daring, (21/10).

Indonesia adalah negara yang luar biasa, namun sering diabaikan oleh bangsanya sendiri. Hal itu dikarenakan manusia hidup di dunia yang rumit. Orang-orang memiliki pemikiran sendiri-sendiri mengenai peradaban, seperti Samuel Huntington.

Dalam tesis Samuel Huntington, lanjut Hefner, peradaban digambarkan tidak memiliki sinergi lintas peradaban. Huntington mengasumsikan bahwa peradaban berkembang secara terpisah dan selamanya ditentukan oleh satu set nilai. Selain itu, peradaban digambarkan saling berdiri berlawanan satu sama lain.

“Sudah lama terjadi bahwa peradaban barat, muslim, India, dan China telah menghasilkan pencapaian dalam bidang sains, matematika, kemanusiaan, dan filososi. Pencapaian tersebut membuat peradaban manusia menjadi lebih baik dengan sinergi lintas peradaban,” kata Hefner.

Analis politik barat, analis kebijakan barat, dan beberapa organisasi HAM berasumsi bahwa pemisahan antara negara dan agama haruslah menjadi model pemerintahan semua negara di dunia. “Asumsi kebijakan ini keliru,” kata Hefner.

Tidak harus ada pemisahan antara negara dan agama untuk demokrasi tetap berkembang, Hal ini dibuktikan oleh Indonesia. Sistem pemerintahan yang dijalankan tidak memisahkan antara agama dan negara, namun justru bekerja dengan baik melalui Pancasila dan Kebhinekaan.

Indonesia memberikan contoh bahwa kolaborasi yang teoat dalam sistem pluralism. Agama tidak hanya berkontribusi, melainkan meningkatkan dan menguatkan demokrasi, kerakyatan, dan Kebhinekaan. Kontribusi kedua untuk sinergi peradaban berkaitan dengan efek demonstrasi. Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Indonesia tidak hanya mampu menunjukkan bahwa demokrasi dan Islam dapat bergerak beriringan. Tetapi para cendekiawan muslim, pendidik, dan pemimpin politik juga sangat penting bagi keberhasilan peradaban manusia.

“Indonesia tidak hanya mampu membuat demokrasi berfungsi, tetapi telah berbuat lebih banyak,” kata Hefner.

Demokrasi dapat berjalan lebih baik ketika dibangun melalui warisan sejarah dan budaya unik Indonesia yaitu sopan santun. Hal inilah yang mebuat Indonesia menjadi negara yang luar biasa.

The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 yang dilaksanakan secara hybrid pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021, pukul 08.00 s.d. 15.00 WIB juga menghadirkan sembilan narasumber terkemuka lain, di antaranya, Mr. Rudy Breighton, M. B. A., M. Sc. CEO and Chairman of BR Strategic di Seattle Amerika Serikat; Prof. Donald K. Emmerson Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center Stanford University; Dr. Jean Couteau, Antropolog dan Budayawan dari Prancis; Dr. Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Dr. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS., Neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, Ph.D., Sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho, Ph.D., Cendekiawan sosial-politik.

 

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/ 29 /X/2021

Tanggal:  21 Oktober 2021

Jakarta – Ahli Budaya Prof. Dr. Robert W. Hefner menyatakan  keragaman budaya dan toleransi yang dimiliki  Indonesia mampu membuktikan  pernyataan Samuel Huntington salah. Huntington menggambarkan  tidak ada sinergi lintas peradaban.

“Jadi tidak ada jembatan antara kebudayaan. Padahal Indonesia sebagai negara  sangat luar biasa,  memiliki banyak kelebihan, sehingga tesis Huntington itu salah,” kata Hefner, Antropolog dari Boston University di Jakarta Geopolitical Forum V (21/10) yang diselenggarakan Lemhannas.

Indonesia menurut Hefner merupakan  negara yang luar biasa di tengah kerumitan dunia, namun sering diabaikan bahkan oleh orang Indonesia sendiri.

Setidaknya ada tiga analisis Hefner bahwa Clash of Civilization sepenuhnya salah dan bisa dibantah oleh masyarakat Indonesia. Pertama, Indonesia dapat membuktikan kolaborasi dapat terjadi antara institusi keagamaan dan pemerintahan. Sebaliknya, Amerika Serikat sangat percaya bahwa kunci keberhasilan demokrasi adalah pemisahan kedua institusi tersebut.

Menurut Hefner, Indonesia menjadi contoh kolaborasi yang tepat dalam sistem pluralisme. Bagi Hefner, agama tidak hanya berkontribusi tapi juga  meningkatkan dan menguatkan demokrasi, kerakyatan, kebhinekaan.   “Inilah kolaborasi yang digambarkan pada Kementerian agama, kementerian pendidikan, dan kementerian pertahanan dan TNI," kata Hefner. Dengan demikian, tidak harus ada pemisahan antara negara dan agama untuk demokrasi.  

Alasan kedua, muslim, pendidik, dan pemimpin politik mampu menjadikan contoh kolaborasi yang baik bagi masyarakat dan dunia. “Indonesia jadi contoh kolaborasi yang tepat dalam sistem pluralisme,” lanjut Hefner. Agama  berkontribusi  meningkatkan dan menguatkan demokrasi dan  kerakyatan. “Agama dan negara bekerja dengan baik melalui Pancasila dan ke-bhinekaan,” tutur Hefner di hadapan peserta daring.

Alasan ketiga,  angkatan bersenjata Indonesia berperan positif dalam kembalinya negara ke sistem demokrasi. Hefner membandingkan militer Indonesia dan Mesir pada 1998 dan Arab Spring 2010. Ternyata komando angkatan bersenjata Indonesia dapat bertindak  dengan bijaksana. Militer Indonesia mendukung reformasi pemilu dan legislative. “Inilah  kontribusi penting bagi keberhasilan transisi demokrasi Indonesia,” lanjut Hefner.

Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo meyakini forum JGF ini akan membentuk objektivitas suatu sistem geopolitik bahwa peradaban dunia mampu membawa manfaat yang lebih baik.

The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 yang dilaksanakan secara hybrid pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021, pukul 08.00 s.d. 15.00 WIB juga menghadirkan sepuluh narasumber terkemuka yang berasal dari tiga negara yaitu Amerika Serikat, Prancis dan Indonesia.

Narahubung : Endah (081316072186)

Caption Foto : Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo bersama Prof. Dadan Umar Daihani saat diskusi Jakarta Geopolitical Forum V

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI


Press Release

Nomor  : PR/ 27 /X/2021

Tanggal:  21 Oktober 2021

Jakarta – Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo mengingatkan perkembangan peradaban yang terjadi seharusnya tidak menghancurkan budaya dari peradaban atau bangsa mana pun. Meskipun akses budaya dari peradaban lain terbuka luas, namun suatu bangsa harus mampu membangun dan mempertahankan budaya yang telah dimiliki dari masa lalu.

“Pemikiran-pemikiran mainstream juga dapat berujung pada musnahnya peradaban, hal ini memerlukan adanya pengelolaan yang baik terhadap budaya bangsa dan menjadi paradoks bahwa suatu bangsa memiliki budaya yang kaya di masa lalu tetapi kemudian peradaban bisa hancur karena adanya budaya-budaya atau nilai-nilai yang dibawa oleh budaya atau peradaban lain,” kata Agus Widjojo saat memberikan sambutan pada acara The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 dengan tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroad” secara daring, (21/10).

Masyarakat sedang berada di persimpangan jalan, karena dihadapkan antara nilai-nilai kemanusiaan dan manfaat dari teknologi. Peradaban yang terjadi saat ini membuat manusia lebih menikmati hak-hak politik maupun manfaat sosial. Namun, juga membawa ketidakstabilan sosial maupun ketidaksetaraan yang menimbulkan kehancuran.

“Peradaban akan berubah menjadi lebih maju dengan adanya teknologi, ekonomi, idealisme, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun teknologi juga dapat menghilangkan moralitas manusia sedikit demi sedikit,” kata Agus Widjojo.

Kemajuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak yang sangat besar terhadap peradaban manusia, salah satunya komunikasi dan informasi. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang terjadi semakin mengaburkan batas-batas negara. Oleh sebab itu, Indonesia dihadapkan dengan dua hal yang tidak mudah, yakni, merawat atau memelihara budaya nasional maupun membangun budaya modern untuk bangsa.

Menurut Agus, teknologi tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah peradaban, tetapi menjadi alat untuk kemajuan manusia dan kemanusiaan. Sehingga, hidup manusia akan terbantu oleh kemajuan teknologi. Pengembangan teknologi telah akan membawa banyak konsekuensi negative pabila tidak dikelola dengan baik.

Selain perkembangan atau kemajuan teknologi, pandemi, politik, kesenjangan sosial, dan kekurangan sumber daya juga turut mempengaruhi masa depan manusia.

“Hal ini juga menimbulkan adanya dominasi agama terhadap teknologi dan juga adanya perkembangan ide2 keagamaan dan kita telah mencapai titik dimana kita harus menentukan masa depan kita apakah akan lebih bersatu atau lebih terpecah-pecah,” kata Agus

Agus Widjojo meyakini forum ini akan membentuk objektifitas suatu sistem geopolitik bahwa peradaban dunia mampu membawa manfaat yang lebih baik.

The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 yang dilaksanakan secara hybrid pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021, pukul 08.00 s.d. 15.00 WIB juga menghadirkan sepuluh narasumber terkemuka yang berasal dari tiga negara yaitu Amerika Serikat, Prancis dan Indonesia.

Sepuluh narasumber tersebut  yakni Mr. Rudy Breighton, M. B. A., M. Sc. CEO and Chairman of BR Strategic di Seattle Amerika Serikat; Prof. Dr. Robert W. Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston; Prof. Donald K. Emmerson Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University;Dr. Jean Couteau, Antropolog dan Budayawan dari Prancis; Dr. Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Dr. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS., Neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, Ph.D., Sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho, Ph.D., Cendekiawan sosial-politik.

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749