Direktorat Pengkajian Sosial Budaya dan Demografi Lemhannas RI mengadakan Round Table Discussion (RTD) tentang “Optimalisasi Peran Media Sosial Guna Mengembangkan Wawasan Kebangsaan” pada Rabu (1/9). RTD tersebut merupakan kelanjutan dari serangkaian diskusi, yakni dua Focus Group Discussion (FGD) di Lemhannas RI serta FGD di Lokus Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hadir dalam RTD tersebut sebagai narasumber Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P., Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Jumer, S.TP., M.Si., Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia Dr. Herdito Sandi Pratama, M.Hum., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Dr. Y. M. Dorien Kartikawangi, M.Si., Dosen Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si.

“Media sosial telah mengubah dunia. Karakteristik media sosial yang cepat dan memiliki jangkauan luas sangat mempengaruhi kemampuan kita berkomunikasi, membangun hubungan, mengakses, dan menyebarkan informasi, bahkan untuk sampai pada keputusan terbaik,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Media sosial memberikan kemungkinan yang hampir tidak terbatas dalam berkomunikasi dan mengakses informasi.

Seiring dengan terbukanya arus informasi, muncul berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agus berpendapat bahwa tantangan terberat adalah ketika Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa tidak lagi menjadi wacana dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Pancasila merupakan ideologi hidup di tengah masyarakat yang harus selalu dijaga, karena keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan tergantung dari bagaimana warga negara menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa,” kata Agus.

Menurut Agus, salah satu cara menjaga nilai-nilai Pancasila adalah dengan memberikan pengetahuan wawasan kebangsaan yang lebih luas sehingga masyarakat mendapat pemahaman yang lebih mendalam mengenai visi besar dari sebuah negara, serta memiliki landasan yang kokoh agar tidak jatuh kepada nilai-nilai yang merugikan bangsa.

Perkembangan wawasan kebangsaan diharapkan semakin pesat ketika dapat memanfaatkan segala sarana dan sumber daya yang ada, termasuk media sosial yang saat ini sedang digemari masyarakat. Agus menyampaikan bahwa nilai-nilai wawasan kebangsaan dapat diinformasikan secara luas kepada masyarakat dengan menggunakan media sosial, sehingga dapat mendorong masyarakat untuk mengantisipasi nilai-nilai yang merugikan bangsa dan mengadopsi sikap mental yang mendukung terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, sayangnya kondisi saat ini media sosial belum banyak digunakan untuk menyosialisasikan materi wawasan kebangsaan.

Agus memandang proporsi konten yang berisi tema wawasan kebangsaan masih jauh lebih kecil dibandingkan konten-konten lain yang bersifat hiburan yang banyak di antaranya kurang bermanfaat bahkan dapat memberikan dampak negatif. “Media sosial memiliki peran strategis untuk menyampaikan informasi mengenai berbagai persoalan, oleh karena itu penggunaan media sosial untuk menyosialisasikan pengetahuan mengenai wawasan kebangsaan perlu diusahakan agar lebih optimal,” kata Agus.

Pada kesempatan tersebut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P. memberikan gambaran umum mengenai penduduk Indonesia yang pada tahun 2020 berjumlah 270,20 juta jiwa. Generasi Z mendominasi dalam komposisi tersebut, yakni sebanyak 27, 94% dan disusul Generasi Milenial sebanyak 25,87%. Generasi Milenial dan Generasi Z termasuk dalam kelompok usia produktif yang merupakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. “Generasi tersebut harus dijadikan Sumber Daya Manusia yang unggul, yang berkualitas,” kata Muhadjir.

Jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 tercatat mencapai 202,6 juta jiwa. Dengan demikian upaya pengembangan wawasan kebangsaan melalui media sosial menjadi sangat penting dan vital. Kehadiran teknologi digital yang melahirkan media sosial bisa diberdayakan untuk penyebaran wawasan kebangsaan. Namun, hal tersebut juga diiringi ancaman yang dihadapi.

Salah satu ancaman yang dihadapi adalah cyber war, penyalahgunaan narkoba, penggiringan pada perilaku intoleransi, terorisme, radikalisme, dan potensi terjadi praktek separatisme. Muhadjir menegaskan bahwa bila tidak diambil langkah-langkah yang proaktif dan cermat, maka bisa timbul krisis, seperti krisis sosial, krisis moral, dan bahkan dapat mengancam disintegrasi bangsa. “Kita harus menjaga generasi penerus bangsa dari pelemahan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh musuh-musuh yang tidak kasat mata,” ujar Muhadjir. Pemerintah juga harus memblokir narasi-narasi negatif terutama yang mengancam persatuan kesatuan dan ideologi bangsa Indonesia.

Untuk menghadapi potensi negatif yang bersumber dari media sosial, misalnya hoaks, ujaran kebencian, intoleransi, dan pornografi, pemerintah telah mendorong secara luas adanya gerakan literasi edukasi dan keadaban publik dalam bermedia sosial. “Penting diketahui oleh masyarakat adalah bahwa perilaku di media sosial dan dunia maya akan tersimpan selamanya sebagai jejak-jejak digital mereka,” tutur Muhadjir.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi potensi negatif media sosial adalah dengan menanamkan nilai karakter dan wawasan kebangsaan kepada generasi muda. Bila tidak dibekali dengan karakter Pancasila dan wawasan kebangsaan, generasi penerus bangsa akan termakan oleh ancaman tersembunyi di media sosial atau dunia maya. Akibatnya persatuan dan kesatuan Indonesia menjadi terancam. “Melalui wawasan kebangsaan, setiap generasi penerus dibentuk agar bersikap sebagai bangsa Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan dan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” kata Muhadjir.

Muhadjir mengakui bahwa secara retorika hal tersebut memang mudah disampaikan, tapi di dalam prakteknya diperlukan cara, metode, dan strategi yang sangat kompleks dan harus dilakukan secara terus menerus dengan ajeg dan tidak pernah kendur jika ingin benar-benar menjaga Indonesia dalam bingkai NKRI, di dalam persatuan dan kesatuan.

“Pengembangan wawasan kebangsaan merupakan tanggung jawab bersama, dalam hal ini saya sangat mengapresiasi Lemhannas  RI atas upayanya yang sangat gigih meningkatkan wawasan kebangsaan publik yang dilakukan melalui berbagai program pendidikan, seminar, diskusi dan sebagainya,” kata Muhadjir. Lebih lanjut Muhadjir mengapresiasi program pengembangan wawasan kebangsaan yang telah dilakukan oleh Lemhannas RI karena tidak hanya menyasar kepada pejabat tinggi pemerintah, namun juga pada sektor bidang yang lain termasuk tenaga pendidik dan tokoh masyarakat.


Menjelang berakhirnya Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo memberikan pembulatan kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 pada Senin, (30/8). Dalam pembulatan tersebut, Agus menegaskan bahwa pendidikan Lemhannas RI bertujuan untuk memantapkan kader pimpinan tingkat nasional yang berkarakter negarawan, berwawasan kebangsaan, berpikir strategis dan terampil dalam memecahkan masalah pada lingkup nasional, regional, dan global.

“Tujuan pendidikan secara umum dijabarkan dalam sasaran pendidikan yang lebih bisa untuk kita ukur,” kata Agus. Lebih lanjut, sasaran pendidikan bermaksud untuk mewujudkan pemimpin tingkat nasional, berkarakter nilai-nilai kebangsaan, terampil dalam memecahkan masalah strategis, dan mampu memberikan saran kepada pemerintah tentang kebijakan pada tingkat strategis berpusat pada nilai-nilai kebangsaan sebagai kebijakan publik.

Agus juga menyampaikan bahwa peserta bisa mendapat manfaat tidak tertulis dalam konsep kurikulum, yaitu mampu mengkomunikasikan gagasan secara efektif, mampu menganalisis secara sistematis, dan mampu mengorganisasikan dan menggunakan jaringan untuk menyelesaikan tugas. Oleh karena itu, peserta harus mampu berpikir logis ilmiah mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan data faktual, menganalisis data (logis dan proses sebab akibat) hingga simpulan dan saran.

“Dalam konstruk operasional pendidikan peserta dipacu berpikir kritis dan strategis, komprehensif, integral dan holistik, dan berpusat pada peserta aktif serta diberikan studi kasus aktual,” ujar Agus. Saat ini, Lemhannas RI berusaha untuk membuat metode pendidikan yang melibatkan partisipasi aktif peserta dan menekankan pada pembekalan tentang cara berpikir yang nantinya dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek.

Lebih lanjut, Agus mengatakan pendidikan selanjutnya difokuskan untuk mengembangkan kapasitas dan kompetensi individu yang dapat diartikan dengan penilaian yang didasarkan kepada produk individu, yaitu tidak adanya penilaian kelompok. Materi penilaian dikelompokkan menjadi nilai akademik produk, nilai akademik non produk, dan nilai non akademik untuk mengidentifikasi ciri kepemimpinan, dan penyelenggaraan dalam bentuk khusus yaitu melaksanakan seminar.


Setelah dibuka pada 26 Januari 2021 dan berjalan selama 7 bulan, Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 resmi ditutup pada Selasa (31/8). Sebanyak 80 orang peserta PPRA 62 dinyatakan lulus dan menerima ijazah. Selama 7 bulan masa pendidikan, seluruh tahapan berjalan dengan lancar.

Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P pada laporannya kepada Gubernur Lemhannas RI menyampaikan bahwa beberapa kegiatan utama harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini, seperti pelaksanaan kegiatan outbond diganti dengan kegiatan assesment and leadership, dan kegiatan Studi Strategis Luar Negeri (SSLN) diganti menjadi kegiatan Studi Lapangan Isu Strategis Nasional (SLISN). Keadaan pandemi juga berdampak pada kegiatan proses belajar mengajar yang seharusnya tatap muka, menjadi virtual. “Meskipun demikian, proses belajar mengajar tetap berjalan dan dapat memenuhi kriteria kelulusan yang telah ditetapkan,” kata Sugeng.

“Saya menyampaikan apresiasi dan rasa bangga kepada para Alumni PPRA 62 sekalian yang telah menunjukkan dedikasi, kesabaran, kesungguhan, ketekunan, kekompakan, dan komitmennya selama pendidikan berlangsung hingga berakhirnya rangkaian pendidikan,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Lebih lanjut Agus mengatakan dengan bekal pengetahuan yang telah diberikan selama tujuh bulan, Lemhannas RI menaruh harapan besar kepada seluruh Alumni PPRA 62 untuk mampu mengimplementasikan seluruh ilmu, pengetahuan, dan wawasan yang diperoleh selama pendidikan melalui pemahaman dan cara berpikir komprehensif, integral, holistik, dan sistemik. “Bekal ini akan menjadi pedoman dalam penyusunan berbagai kebijakan sesuai dengan penugasan di lingkungan kerja masing-masing,” ujar Agus.

Kemudian Agus juga mengingatkan bahwa para alumni kini telah berada pada awal pengabdian kembali. Sejalan dengan hal tersebut, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kompetensi tidak hadir untuk tujuan pada dirinya sendiri. Semua elemen tersebut hadir guna diabdikan sebagai instrumen pengabdian para peserta didik yang kini telah menjadi alumni. “Menjadi penting bagi alumni untuk mengambil intisari dari seluruh materi yang diterima dan mencari bentuk operasionalnya sebagai jembatan yang menghubungkan antara pembekalan dalam pendidikan dengan pengabdian di lapangan,” ujar Agus.

Melihat perkembangan lingkungan yang terjadi sekarang ini, Agus menegaskan bahwa tuntutan bagi alumni untuk bisa mentransformasikan pembekalan yang diterima di Lemhannas RI menjadi bentuk pengabdian konkret dalam tugas, merupakan suatu hal mendesak. Pemahaman yang tepat pada diri sendiri dalam fungsi organisasi adalah pemahaman atas pengetahuan dan praktek organisasi, pemahaman atas konsep sistem politik yang berlaku, khususnya demokrasi, prosedur dan mekanisme proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik. Agus juga mengingatkan pentingnya kesadaran menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, apapun jabatan dan bidang pengabdian.

Menarik kilas balik, Agus mengingat bahwa ketika PPRA 62 dibuka tujuh bulan yang lalu, Agus berbicara bahwa keberadaan para peserta harus mempunyai tujuan dalam mengikuti pendidikan. Sekarang setelah usai mengikuti pendidikan dan meninggalkan almamater asta gatra, para alumni kembali kepada tujuan yang lebih besar. Tujuan yang dimaksud adalah sebuah kesadaran untuk merasakan sesuatu yang lebih besar dari pada diri sendiri. Bahwa alumni memiliki peran yang dibutuhkan, bahwa ada tujuan yang lebih besar yang menunggu sumbangan alumni. “Selamat membangun tujuan. Semoga para alumni diberi keberanian dan kecerahan untuk mewujudkan tujuan hidup masing-masing, dan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingannya kepada para alumni dalam berbakti kepada negara dan bangsa,” kata Agus.

Pada kesempatan tersebut, Agus juga memberikan selamat kepada Laksma TNI Andi Abdul Aziz, S.H., M.M. atas Predikat Akademik Terbaik dan Kolonel Inf Ujang Darwis, M.D.A. atas Predikat Taskap Terbaik.


Menjelang berakhirnya Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo memberikan pembulatan kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 pada Senin, (30/8). Dalam pembulatan tersebut, Agus menegaskan bahwa pendidikan Lemhannas RI bertujuan untuk memantapkan kader pimpinan tingkat nasional yang berkarakter negarawan, berwawasan kebangsaan, berpikir strategis dan terampil dalam memecahkan masalah pada lingkup nasional, regional, dan global.

“Tujuan pendidikan secara umum dijabarkan dalam sasaran pendidikan yang lebih bisa untuk kita ukur,” kata Agus. Lebih lanjut, sasaran pendidikan bermaksud untuk terwujudnya pemimpin tingkat nasional, berkarakter nilai-nilai kebangsaan, terampil dalam memecahkan masalah strategis, dan mampu memberikan saran kepada pemerintah tentang kebijakan pada tingkat strategis berpusat pada nilai-nilai kebangsaan sebagai kebijakan publik.

Agus juga menyampaikan bahwa peserta bisa mendapat manfaat tidak tertulis dalam konsep kurikulum, yaitu mampu mengkomunikasikan gagasan secara efektif, mampu menganalisa secara sistematis, dan mampu mengorganisasikan dan menggunakan jaringan untuk menyelesaikan tugas. Oleh karena itu, peserta harus mampu berpikir logis ilmiah mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan data faktual, menganalisis data (logis dan proses sebab akibat) hingga simpulan dan saran.

“Dalam konstruk operasional pendidikan peserta dipacu berpikir kritis dan strategis, komprehensif, integral dan holistik, dan berpusat pada peserta aktif serta diberikan studi kasus actual,” ujar Agus. Saat ini Lemhannas RI berusaha untuk membuat metode pendidikan yang melibatkan partisipasi aktif peserta dan menekankan pada pembekalan tentang cara berpikir yang nantinya dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek.

Lebih lanjut, Agus mengatakan pendidikan selanjutnya difokuskan untuk mengembangkan kapasitas dan kompetensi individu yang dapat diartikan dengan penilaian yang didasarkan kepada produk individu, tidak adanya penilaian kelompok. Materi penilaian dikelompokkan menjadi nilai akademik produk, nilai akademik non produk, dan nilai non akademik untuk mengidentifikasi ciri kepemimpinan, dan penyelenggaraan dalam bentuk khusus yaitu melaksanakan seminar. “Nilai dari pengabdian sesungguhnya itu terjadi dari lapangan bukan dari secarik kertas,” ujar Agus Widjojo.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749