Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) dengan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) menandatangani nota kesepahaman pada Selasa (28/9). Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, bersama Ketua Umum GAMKI, Willem Wandik, S.Sos., menandatangani langsung nota kesepahaman tersebut bertempat di Gedung Trigatra Lemhannas RI.

Penandatanganan nota kesepahaman kali pertama ini secara umum meliputi peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, pertukaran tenaga ahli, pemantapan nilai-nilai kebangsaan, tukar menukar informasi dan pelaksanaan pengkajian, serta bidang lain sesuai dengan kebutuhan yang disepakati bersama oleh Lemhannas RI dan GAMKI.

“Hari ini merupakan sejarah baru perjalanan berbangsa bernegara, dimana GAMKI bisa melakukan MoU bekerja sama dengan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia dalam rangka memberikan dukungan kepada Lemhannas RI supaya kerja Lemhannas RI bisa semakin maksimal lagi,” kata Ketua Umum GAMKI Willem Wandik, S.Sos. Lebih lanjut Willem menyampaikan bahwa dengan demikian kader-kader anggota GAMKI di seluruh wilayah nusantara bisa ikut terlibat di dalam penyelenggaraan pendidikan Lemhannas RI.

“Supaya digembleng, supaya memiliki karakter memiliki nasionalis yang kuat untuk memperkuat peran kita dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan kita bernegara dan juga bisa memberikan ide gagasan,” ujar Willem. Menurut Willem, kader-kader GAMKI yang tersebar di seluruh wilayah nusantara bisa memberikan usulan kajian terkait persoalan kontekstual yang dihadapi di masing-masing wilayah nusantara yang sangat beragam. Hal tersebut dinilai bisa menjaga kohesi dalam mengelola persoalan bernegara serta bisa mendukung kinerja Lemhannas RI agar bisa semakin meluas.

“Kerja sama yang baru terbangun ini merupakan suatu komitmen bersama GAMKI dan Lemhannas RI dalam bersinergi dengan membuat program-program kegiatan bersama sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dapat mendukung kemajuan bangsa,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Oleh karena itu, Agus menegaskan bahwa penandatanganan nota kesepahaman tersebut, diharapkan tidak sekedar menjadi seremonial semata. Namun, perlu diimplementasikan dalam kegiatan yang lebih nyata secara konsisten terkait dengan bidang-bidang yang ada dalam ruang lingkup yang dikerjasamakan. 

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menyampaikan harapannya bahwa sinergi antara kedua institusi dapat menjadi salah satu upaya bersama dalam memperkuat wawasan kebangsaan sebagai prasyarat mutlak dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, berdaya saing tinggi, dan memiliki karakter kebangsaan demi terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh. “Potensi yang dimiliki oleh Lemhannas RI dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia dapat saling bersinergi untuk dapat menghasilkan capaian dan sasaran yang lebih optimal,” tutup Agus.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, menjadi narasumber pada kuliah umum penutupan Sekolah Etik Indonesia yang diselenggarakan secara virtual oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Minggu (26/9). Pada kesempatan tersebut, Agus mengangkat topik “Peran Strategis Pemahaman Wawasan kebangsaan dan Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Menuju Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh”.

Ia mengatakan bahwa apabila kita melihat kilas balik sejarah perjalanan bangsa maka kita akan mengetahui bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara kesepakatan. “Negara kesepakatan adalah sebagai dasar wawasan kebangsaan dan mengikat persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Agus.

Kesepakatan yang dicapai oleh para pendiri bangsa berhasil menyatukan Indonesia yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang geografis dan demografis yang beragam. “Telah dibuktikan bahwa Indonesia mencapai saat sekarang ini, adalah karena metode kesepakatan yang dicapai oleh para pendiri bangsa untuk mencari solusi jalan keluar terhadap perbedaan-perbedaan yang pasti akan muncul dan telah muncul pada masa lalu,” jelas Agus.

“Mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa di atas kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu,” tutur Agus saat menjelaskan salah satu makna wawasan kebangsaan. Ia juga mengungkapkan bahwa persatuan dapat mewujudkan bangsa Indonesia yang maju, sejahtera, dan sejajar dengan bangsa lain.

Agus juga mengungkapkan keyakinannya bahwa PKS dapat memberikan jawaban yang konkret untuk menjawab persoalan yang belum terselesaikan mengenai dinamika problematik antara Islam dan Pancasila sebagai Ideologi negara.  “Dengan kecenderungan transformasi yang telah ditunjukkan oleh Partai Keadilan Sejahtera, kita sangat bisa berharap bahwa jawaban atas hal ini yang telah bertahun-tahun yang sebenarnya juga sudah diselesaikan sebagai kesepakatan pada tahun 1945 maka Partai Keadilan Sejahtera bisa menawarkan sebuah jawaban konklusi yang konkret yang tuntas yang bisa kita jadikan sebagai dasar untuk sepanjang masa,” pesan Agus.

Agus menutup ceramahnya dengan memberikan ucapan selamat kepada para peserta, pelatih, serta PKS yang telah menyelenggarakan Sekolah Etik indonesia. Ia berharap pengetahuan yang diperoleh para alumni dapat diamalkan dalam melaksanakan tugas mereka di lapangan.


Restorative justice dengan titik berat pada humanisme bukanlah untuk menggantikan retributive justice,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, dalam Webinar Nasional “Penegakan Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif Pidana”. Webinar yang diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus 1945 Semarang tersebut diadakan pada Senin (27/9).

Pada kesempatan tersebut, Gubernur mengangkat topik “Keadilan Restoratif dalam Penegakan Hukum Menuju Peradilan yang Humanis”. Mengawali paparannya, Agus menyampaikan bahwa humanisme sebagai suatu gerakan membangkitkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki tekanan pokok pada manusia sebagai makhluk individual dan personal, manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan, serta manusia yang menyejarah dan membentuk dirinya serta membentuk dunia secara alamiah.

Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk penegakan hukum menuju peradilan yang humanis. Agus juga menyampaikan bahwa sudah ada pedoman penerapan keadilan restoratif di lingkungan peradilan umum, yakni Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. “Definisi ini penuh dengan karakteristik kriteria tentang apa itu humanis,” kata Agus. Selanjutnya Agus menyampaikan bahwa nilai-nilai humanisme dalam keadilan restoratif diwujudkan dengan melakukan gerakan-gerakan mendukung pendekatan generalis yang memungkinkan semua korban kejahatan untuk mengakses prosedur keadilan restoratif di semua tahap proses pidana.

Keadilan restoratif memiliki arti bahwa dalam proses tersebut melibatkan semua pihak terkait, memperhatikan kebutuhan korban, ada pengakuan tentang kerugian dan kekerasan, reintegrasi dari pihak-pihak terkait ke dalam masyarakat, dan memotivasi serta mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab. Artinya ada upaya untuk mengembalikan pengertian tentang keadilan kembali seperti saat sebelum terjadinya tindak kejahatan. “Namanya restorative justice dari kata to restore, memulihkan kembali rasa keadilan seperti sebelum terjadi tindakan kriminal tersebut,” tutur Agus.

Selanjutnya Agus memberikan pandangannya pada penerapan keadilan restoratif dalam perspektif hukum pidana. Pertama, jangan mengira bahwa keadilan restoratif bisa mengosongkan lembaga pemasyarakatan karena banyak kasus pidana bisa diselesaikan tanpa masuk sampai pada keadilan retributif. “Keadilan restoratif dan pendekatan humanis tidak untuk menggantikan keadilan retributif,” kata Agus. Kedua, pendekatan humanis sudah harus mulai diterapkan sejak perumusan sebuah undang-undang dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana serta kewenangan hati nurani seorang hakim dalam kedudukan dalam majelis hakim. 

Ketiga, pendekatan humanis bukan merupakan suatu dimensi pertimbangan baru yang diletakkan di luar sistem peradilan pidana, dengan mempertanyakan keabsahan dan menjadi checks and balance hati nurani hakim. “Sistem sudah mengatakan bahwa hakim membuat keputusan itu didasarkan kepada hati nurani, jadi kita serahkan itu dan kita harus terima itu,” kata Agus. Menurut Agus, kalau memang ada hal-hal yang mungkin belum dapat diterima, cukup dibicarakan dan dicari kesepakatannya. Keempat, hanya dalam aspek hukum pidana yang mempertimbangkan pembinaan manusia lebih besar manfaatnya dari penjatuhan hukuman badan, maka keadilan restoratif dengan tekanan humanis dapat hadir dalam perspektif pidana. Terakhir yang kelima adalah kehadiran keadilan restoratif tidak dapat dipisahkan dari proses pengadilan dan harus hadir terintegrasi dengan keadilan retributif.

Agus menutup sesinya dengan memberikan rekomendasi, yakni pemikiran tentang aspek humanis dalam perspektif pidana sebaiknya jangan ditinjau secara sektoral dengan pendekatan mengatasi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas, tapi diletakkan secara sistemik. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan, yakni penyelesaian proses hukum yang baik lebih diletakkan pada aspek kualitas dan bukan memberi target kuantitas pada tingkatan operasional, mencari solusi atas perlambatan dalam menyelesaikan proses, dan lebih memberikan penekanan kepada pencegahan daripada penanganan kasus dalam rangka fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi salah satu pembicara dalam Bincang Buku Tentara Kok Mikir? Inspirasi Out of The Box Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo secara virtual pada Sabtu (25/9). Turut menjadi pembicara dalam acara tersebut penulis buku Bernada Rurit dan jurnalis Agustinus Tetiro.

Pada kesempatan tersebut, penulis buku Tentara Kok Mikir? Inspirasi Out of The Box Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, Bernada Rurit, menyampaikan bahwa Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo merupakan orang Indonesia dan tokoh militer pertama yang Rurit tuliskan bukunya. Latar belakang tersebut muncul karena Rurit ingin menulis buku tentang seseorang yang dikenalnya dengan baik dan sejalan dengan hal tersebut Rurit sudah mengenal Agus dengan baik. “Saya ingin orang yang saya tulis, saya kenal dengan sangat baik. Maka ketika di dalam buku itu banyak dimensi yang saya tulis, itu juga karena perkenalan saya dengan Pak Agus dalam rentang waktu yang lama,” kata Rurit.

Selanjutnya Rurit juga menyampaikan bahwa jarang melihat tentara yang suka membaca, berpikir kritis, dan sangat moderat seperti Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Rurit juga menyampaikan bahwa proses panjang meyakinkan Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo agar mau dibuatkan buku bahkan dalam penentuan judul melalui proses yang cukup panjang sampai akhirnya terpilih judul Tentara Kok Mikir? Inspirasi Out of The Box Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo.

Judul tersebut merupakan judul yang dicetuskan oleh Agus Widjojo sendiri. Hal tersebut dilatarbelakangi pengalaman Agus yang dianggap terlalu banyak berpikir. Agus juga menegaskan bahwa judul tersebut tidak ditujukan kepada rekan-rekan tentara lainnya. Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa buku tersebut memiliki narasumber otentik dalam narasi pengangkatan jenazah pahlawan revolusi yang ada di Lubang Buaya. Dalam buku tersebut dituangkan menit demi menit karena bersumber dari narasumber yang otentik. Agus juga menilai Rurit sangat piawai mengombinasikan ide sehingga menjadikan buku tersebut menarik untuk dibaca dan tidak membosankan.

“Jangan jadikan saya satu-satunya narasumber,” kata Agus mengenang pesannya kepada Rurit saat masa penulisan buku. Agus berpesan kepada Rurit untuk mencari narasumber lain, bahkan narasumber yang memiliki sudut pandang berlawanan dengan Agus. Hal tersebut merupakan upaya agar pembaca bisa berpikir dan memutuskan sendiri sudut pandang yang dipilih.

Selain itu, adanya berbagai sudut pandang karena Agus ingin menyampaikan jika dalam buku tertulis pemikiran dan gagasan, bukanlah untuk menunjukan pemikiran dan gagasan tersebut adalah yang paling benar dan berasal dari Agus. Namun, pemikiran dan gagasan tersebut merupakan cara Agus memberikan alternatif kepada publik dan Agus selalu terbuka untuk bisa disandingkan dengan alternatif lain. Agus juga menyampaikan bahwa atas semua pemikiran dan gagasannya untuk Indonesia, Agus selalu mempunyai argumentasi rasional yang berdasarkan kepada konstitusi. “Saya dengan semua gagasan-gagasan saya, itu adalah untuk menawarkan alternatif kepada publik,” ujar Agus.

Pembicara ketiga, yakni Jurnalis Agustinus Tetiro menyampaikan bahwa awal membaca buku tersebut karena merasa judulnya yang benar-benar menarik. Gusti berpendapat bahwa berpikir sebagai aktivitas yang penuh disiplin dan seni bisa terlihat dari buku tersebut. “Berpikir untuk seorang tentara seperti Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo adalah suatu pilihan dan ziarah hidup yang menantang,” kata Gusti.

Lebih lanjut, Gusti menyampaikan bahwa isi buku tersebut sering kali menyibak ketersingkapan fakta yang kemudian melahirkan kekaguman dan yang paling utama adalah mengoptimalkan modal dasar manusia, yaitu akal budi. “Hidup sang jenderal adalah rangkaian dari proses berpikir dalam arti yang paling luas,” ujar Gusti. Menurut Gusti, dalam buku tersebut terlihat kontemplatif, argumentatif, kreatif, transformatif dan aplikatif ide-ide Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo yang bisa diaplikasikan dalam konteks Indonesia dengan dasar konstitusi.

Gusti juga menyampaikan bahwa buku tersebut menyajikan kisah hidup Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan menyajikan kesaksian banyak orang tentang Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. “Kebanyaknya kesaksian dan testimoni dalam buku ini bisa dirangkum dalam dua hal, yang pertama jenderal adalah orang yang berpikir secara sangat disiplin dan berintegritas, dan yang kedua sang jenderal mempunyai selera humor yang tinggi,” tutur Gusti.

“Buku ini menurut saya layak dibaca secara luas, gayanya yang naratif dan isinya yang inspiratif bisa menjadi teman untuk mengisi waktu kita untuk melihat sisi lain dan menjelajah kisah hidup salah seorang jenderal yang paling suka berpikir secara disiplin, seni, dan serentak humanis,” tegas Gusti.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749