Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo berkesempatan menjadi salah satu pembicara kegiatan Sarasehan Nasional Merawat Perdamaian bertema ”Belajar dari Resolusi Konflik dan Damai di Maluku dan Maluku Utara untuk Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur”, Rabu (11/7) di Hotel JS Luwansa Jl. H. R. Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan. Agus Widjojo menyatakan kearifan lokal merupakan fondasi penyelesaian konflik dan wawasan nusantara (Wasantara) perlu dimiliki oleh setiap pembuat kebijakan di negeri ini untuk mengelola konflik.

 

Konteks lokal dapat memberikan implikasi positif bagi masyarakat dengan komposisi aspek SARA yang majemuk, seperti hidup berdampingan secara damai yang dilembagakan dalam adat pela gandong. Agus menceritakan ketika berkunjung ke Maluku, masyarakat Maluku telah lama dinasehati oleh nenek moyangnya untuk hidup berdampingan secara damai. “Kami (masyarakat Maluku dan Maluku Utara) sudah dinasihati oleh nenek moyang kami, sebelum agama Islam dan Kristen datang ke tanah maluku, kami sudah diingatkan. Nanti kalau datang agama baru, kalian harus bisa hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama baru tersebut’, ujar Agus. Ini merupakan pesan yang kuat bagi fondasi kultur di Ambon.

 

Perdamaian di Ambon bukan saja karena kebijakan dari pemerintah pusat, tetapi justru karena keterlibatan aktif para tokoh-tokoh masyarakat lokal dan tokoh agama di Maluku. 

 

Selain itu, Agus juga mengingatkan pentingnya wawasan nusantara bagi setiap pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Konflik Ambon salah satu penyebabnya adalah adanya kebijakan transmigrasi yang mengubah komposisi masyarakat Islam di Maluku menjadi besar. “Wasantara adalah bagi pejabat publik, pembuat kebijakan, apa yang dikatakan, apa yang dilakukan, kebijakan yang dirumuskan dan diimplementasikan, ingat dampaknya bagi seluruh Indonesia,” tekan Agus. 

 

Sebuah kebijakan yang memberikan keseimbangan terhadap aspek-aspek SARA, pada penduduk satu daerah akan meningkatkan kerawanan terhadap konflik. Kebijakan yang menguatkan Wasantara adalah sebuah ketahanan nasional.

 

Acara yang digelar oleh Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional ini juga mengundang Anggota Watimpres Jenderal (Purn) TNI Agum Gumelar, Walikota Ambon Richard Louhenapessy, dan Guru Besar Universitas Pattimura Ambon Dr. Ir. Alex S. W. Retraubun, M.Sc. sebagai pembicara.


Menindaklanjuti FGD pada 15 Juli 2019, Deputi Bidang Pengkajian Strategik Direktorat Pengkajian Pertahanan dan Keamanan dan Geografi Lemhannas RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Kajian Jangka Pendek dengan topik “Penguatan Otonomi Daerah Dalam Mendukung Pertahanan Negara Guna Menjaga Keutuhan NKRI” bertempat di Ruang Gatot Kaca Gedung Astragatra Lemhannas RI, Senin (29/7).

 

Pakar dan Pengamat Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A. dan Kepala Pusat Kajian Manajemen ASN Lembaga Administrasi Nasional (LAN) RI Dr. Hary Supriadi, S.H., M.A. diundang sebagai narasumber pada FGD tersebut. “Tidak hanya otonomi biasa, ada juga spesial otonomi yaitu otonomi khusus yang lebih rumit lagi,” ujar Djohermansyah Djohan mengawali diskusi. Djohan menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.

 

Lebih lanjut Djohermansyah menjelaskan bahwa tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan pemberdayaan masyarakat, mewujudkan tata kelola pemerintah daerah yang baik, dan mengembangkan demokrasi lokal. Sedangkan otonomi khusus adalah wilayah khusus, otonomi khusus dan pemerintahan khusus dengan wewenang yang luar biasa. Selain itu otonomi khusus bertujuan untuk pembangunan daerah, membangun ekonomi yang lebih baik, dan kesejahteraan sosial.

 

Menurut Djohermansyah, diselenggarakannya otonomi daerah dilatarbelakangi oleh empat aspek yaitu aspek fisik kewilayahan, aspek legal konstitusional, aspek penduduk, dan aspek pemerintahan yang baik. Adanya otonomi daerahakan membuat pemerintah daerah lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel, partisipatif, kreatif dan inovatif, Pemerintah pusat juga akan memiliki organisasi yang lebih ramping dan beban yang lebih ringan.

Lebih lanjut Djohermansyah menjelaskan mengenai sentralisasi dan desentralisasi. Menurutnya, Sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu kontinum (rangkaian), tidak bisa hanya menggaungkan desentralisasi dan tidak melibatkan sentralisasi. “Sentralisasi dan desentralisasi harus seiring sejalan, tidak bisa mengutamakan sentralisasi ataupun sebaliknya mengutamakan desentralisasi,” ungkap Djohan.

 

Selanjutnya, Kepala Pusat Kajian Manajemen ASN Lembaga Administrasi Nasional (LAN) RI Dr. Hary Supriadi, S.H., M.A.menyampaikan paparan mengenai otonomi daerah dari sisi penyelenggaraan pemerintahan. Hary mengawali paparan dengan menjelaskan mengenai megatrends yang kini melanda dunia. “Megatrends adalah transformasi kekuatan global yang mendefinisikan dunia masa depan dengan dampak luasnya pada bisnis, masyarakat, ekonomi, budaya, dan kehidupan pribadi,” kata Hary mengutip dari Frost & Sullivan Analysis.

 

“Secara teoretik, kombinasi optimum otonomi daerah dipengaruhi empat aspek yaitu politik, administrasi, finansial, dan ekonomi-pasar. Selama ini banyak diskusi disisi administrasi namun kurang banyak diskusi mengenai desentralisasi politik, finansial, atau ekonomi-pasar,” kata Hary melanjutkan. Desentralisasi secara politik adalah bagaimana pengambilan keputusan ditingkat daerah sedemikian rupa sehingga menjadi wahana instrumen peningkatan pelayanan publik ditingkat daerah.

 

Menurut Hary untuk mengoptimumkan otonomi daerah harus memperhatikan skala otonomi daerah agar sepadan dengan kemampuan mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan dan didukung dengan kekuatan perpajakan yang memadai sehingga bisa meminimalkan disparitas, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan pelayanan publik.


Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menghadiri acara peresmian Gedung Tri Gatra Astha Hannas di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Kampus Revolusi Mental Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia, Senin (29/7). “Saya meyakini berdirinya Gedung Tri Gatra Astha Hannas menjadi titik awal untuk mendorong laju pendidikan nasional dalam memantapkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, berintegritas dan berkarakter kebangsaan,” ujar Agus dalam sambutannya.

 

Menurut Agus, Lemdiklat Kampus Revolusi Mental Pembangunan Karakter Bangsa memiliki peran untuk melaksanakan berbagai program pendidikan dan pelatihan revolusi mental. Program tersebut fokus pada kegiatan pembangunan karakter bangsa dan kader pemimipin bangsa, hal ini menjadi sangat penting untuk menggali dan menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan. Memenuhi tuntutan tersebut Kampus Revolusi Mental Pembangunan Karakter Bangsa melakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan secara terus menerus di berbagai komponen pendidikan, salah satunya adalah menambah fasilitas pendidikan Gedung Tri Gatra Astha Hannas.

 

Berbagai fasilitas yang berada dalam Gedung Tri Gatra Astha Hannas akan sangat bermanfaat dalam mendukung proses belajar mengajar, pengembangan ilmu dan berbagai kegiatan pendidikan karakter. “Oleh karena itu sudah sepantasnya kita bersama-sama dapat menjaga dan memelihara gedung ini dengan sebaik-baiknya agar dapat terus memberikan manfaaat yang sebesar-besarnya,” kata Agus.

 

“Saya ingin berpesan kepada seluruh Praja Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) serta Taruna dan Taruni SMA Plus Astha Hannas untuk mempergunakan kesempatan belajar dengan sebaik-baiknya dan pengetahuan serta wawasan yang di dapat jangan mengarah pada kesombongan namun jadikan sebagai modal untuk menjadi teladan dan agen perubahan ditengah masyarakat,” pesan Agus. Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa keberhasilan STIPAN dan SMA Plus Astha Hannas tidak hanya sebatas banyaknya alumni, namun seberapa luas dampak yang dihasilkan oleh alumni STIPAN dan SMA Plus Astha Hannas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Selanjutnya Agus menjelaskan mengenai Empat Konsensus Dasar Bangsa yang berkaitan erat dengan pengetahuan dan wawasan yang diterima oleh Praja STIPAN serta Taruna dan Taruni SMA Plus Astha Hannas selama mengenyam pendidikan. “Bangsa ini dibangun atas dasar konsensus yang diberikan untuk hidup ditengah-tengah masyarakat saudara sebangsa yang mempunyai perbedaan agama, suku, etnik dan bahasa,” kata Agus. Lebih lanjut Agus menjelaskan bahwa dari konsensus kebangsaan tersebut diturunkan menjadi paradigma nasional yang sebagai implementasinya yaitu ketahanan nasional untuk mengahadapi setiap ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan dengan kemampuan sendiri.

 

Ketahanan nasional adalah ketika masyarakat dengan dasar Pancasila harus mampu menghadapi ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan serta mempertahankan nilai-nilai dasar Pancasila. Sedangkan makna wawasan nusantara adalah sebuah cara pandang tunggal yaitu Nusantara, baik itu cara pandang ideologi, cara pandang politik, cara pandang ekonomi, cara pandang sosial-budaya, serta cara pandang pertahanan dan keamanan. “Indonesia menganut kesatuan NKRI, maka sebagai doktrin Nasional perairan bukan dianggap sebagai pemisah antar pulau yang dihuni tetapi justru menyatukan berbagai pulau yang dihuni,” kata Agus.

 

Kemudian Agus menegaskan bahwa akan selalu terkandung tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa hari ini, dan masa depan. Dimensi masa lalu adalah aspek sejarah. Dalam aspek sejarah yang terpenting bukanlah menghafal, namun untuk bisa mengambil pelajaran mengapa hal tersebut terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan Bangsa Indonesia. Lalu selanjutnya adalah masa hari ini, “Hari ini sangat relevan dengan keberadaan para seluruh Praja STIPAN serta Taruna dan Taruni SMA Plus Astha Hannas sebagai persiapan untuk bisa memberikan darmabakti dalam wujud konkret bagi kehidupan Bangsa,” jelas Agus. Menurut Agus apapun yang dilakukan masa kini harus berorientasi pada masa depan. Jika dilihat dari sejarah, banyak doktrin-doktrin yang diberikan oleh para pendahulu Bangsa dan sampai sekarang masih digunakan. Namun hal tersebut bukan berarti Indonesia harus terpaku pada implementasi yang sama dengan masa lalu, generasi kini harus mampu mencari bentuk implementasi yang sesuai dengan keadaan Indonesia sekarang. “Apapun yang dipikirkan untuk menjadi sumbangan darmabakti harus memberi manfaat bagi Indonesia,” kata Agus.


Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Dr. Ir. Mohammad Rudy Salahuddin, MEM. menyatakan di tengah ketidakpastian global tahun 2019 ini, ekonomi Indonesia masih menunjukkan tren yang meningkat. Baik dilihat dari sisi kualitas yang semakin membaik, maupun dilihat dari inflasi yang rendah, serta menurunnya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan Rasio Gini. Hal tersebut disampaikan Rudy dalam kuliah umum untuk Peserta PPSA 22 dan PPRA 59 yang berjudul “Pengembangan SDM untuk Meningkatkan Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” pada Kamis (25/07) di Ruang Gadjah Mada, Lemhannas RI.

 

Rudy menambahkan, tren ekonomi Indonesia yang meningkat tersebut bukan merupakan suatu hal yang instan karena diperlukan beberapa indikator perekonomian yang menunjang. “Pertumbuhan (ekonomi, red) yang stabil juga didorong oleh pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan selama empat tahun terakhir ini. Hal ini juga menjadi fokus pemerintah, sehingga dalam beberapa tahun ke depan kita harus mengisi infrastruktur yang telah kita bangun dan investasi yang telah masuk ke Indonesia, dengan mengembangkan kualitas SDMnya” jelas Rudy.

 

Lebih lanjut Rudy menjelaskan bahwa dalam upaya transformasi ekonomi Indonesia, terdapat lima pilar yang akan di dorong ke depan, yaitu Optimalisasi Pembangunan Infrastruktur, Kebijakan Pemerataan Ekonomi, Peningkatan Kemandirian Modal Domestik, Efisiensi Pasar Tenaga Kerja dan Peningkatan Kualitas SDM, dan Konfigurasi Investasi noninfrastruktur. Kelima pilar yang dibangun ini akan saling berkaitan untuk membentuk fondasi pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan.

 

Optimalisasi pembangunan infrastruktur perlu dilakukan secara bertahap, karena saat ini pembangunan infrastruktur telah memakan banyak anggaran khususnya dengan penugasan kepada BUMN. Debt to Equity BUMN Konstruksi 2018 telah mencapai lebih dari 80%. Menurut data Ranking Infrastruktur Dunia tahun 2018, Indonesia masih berada jauh di belakang, yaitu urutan ke 55 dari 160 negara dengan nilai 2,89. Ke depan, kita harus memilih infrastruktur mana saja yang diprioritaskan dan kita dorong. Lebih penting lagi adalah bagaimana kita memaksimalkan atau mengisi dengan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka perencanaan infrastruktur tersebut.

 

Pada kuliah umum tersebut, Rudy juga menjelaskan 10 Pilar Kebijakan Ekonomi Berkeadilan kepada peserta. Kegiatan kuliah umum ini ditutup dengan sesi tanya jawab.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749