Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi salah satu narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Bidang Industri Strategis yang diselenggarakan oleh Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Kamis (18/7), di Hotel Le Meredien Jakarta. Menurut Ketua KEIN Soetrisno Bachir, diskusi ini dilakukan sebagai persiapan untuk mendukung kerja kabinet pemerintahan mendatang, terutama dalam bidang industri strategis. Selain Gubernur Lemhannas RI, sejumlah narasumber yang hadir antara lain Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Prof. Dr. Sri Adiningsih.

 

Agus Widjojo, dalam paparanya diskusinya menekankan karena diskusi ini berkaitan untuk memberikan memo kepada Presiden, sehingga diperlukan kriteria rekomendasi yang tidak normatif, sifatnya konkret dan mampu diwujudkan, rekomendasi bukanlah sebuah kebijakan yang sifatnya pilihan dan harus mempunyai latar belakang tuntutan yang tidak bisa dihindari. Agus berfokus pada rekomendasi yang berkaitan dengan ideologi, pertahanan, dan keamanan.

 

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Lemhannas yang salah satunya adalah menyelenggarakan pendidikan penyiapan kader dan pemantapan pimpinan tingkat nasional, menurut Agus perlu adanya pembinaan dan pengendalian bakat kader calon pemimpin nasional. “Perlu dibangun sistem pemanduan dan pembinaan potensi dan bakat kader pemimpin nasional dari lulusan terbaik pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan kedinasan. Hal itu terkait dengan rekomendasi selanjutnya yaitu perlunya kebijakan afirmatif dalam memberikan percepatan pematangan kader pemimpin nasional dengan pemberian beasiswa dan percepatan promosi,” jelas Agus.

 

Sementara itu, pada bidang pertahanan dan keamanan, Agus Widjojo mengungkapkan perlunya perlunya komando gabungan operasional dan serta mengisi kekosongan kebijakan keamanan nasional akibat tidak pastinya nasib RUU Keamanan Nasional. “Komando gabungan trimatra, yang telah dibekukan pada 1982, perlu dibentuk kembali. Dan komando gabungan wilayah pertahanan yang ada sekarang ini dapat digunakan sebagai komando gabungan operasional”, ungkap Agus. Selanjutnya, terkait ketidakpastian RUU Keamanan Nasional, Agus menyatakan perlunya dibentuk ruang Pusat Komando dan Pengendalian Keamanan Nasional.


Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo memberikan ceramah tentang wawasan kebangsaan kepada peserta didik Pendidikan Reguler (Dikreg) 28 Sekolah Staf dan Pimpinan Tingkat Tinggi (Sespimti) Polri yang berjumlah 62 orang, Kamis (18/07) di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Jakarta.

 

Agus menjelaskan, makna dari wawasan kebangsaan adalah mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk menempatkan kesatuan dan persatuan serta kepentingan bangsa di atas kepentingan sendiri atau kelompok tertentu. Selain itu, mengembangkan persatuan Indonesia sehingga bisa mempertahankan keutuhan NKRI berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika. Wawasan kebangsaan juga harus selalu berlandaskan Pancasila sebagai ideologi bangsa negara dan berhasil menjalankan misi di tengah kehidupan tata negara dunia.

 

Konkret dari wawasan kebangsaan sendiri terdiri dari beberapa elemen. Pertama adalah elemen wawasan nusantara. “Praktisnya, wawasan nusantara adalah ketika kita berada dalam jabatan dan kewenangan kita, semua ucapan, tindakan, perkataan kita jangan hanya dilihat dari kewenangan kita saja, atau meja kita saja, tetapi juga pertimbangkan implikasi untuk persatuan dan kesatuan seluruh bangsa,” ujar Agus.

 

Elemen selanjutnya adalah ketahanan ideologi Pancasila, yaitu kemampuan ideologi Pancasila untuk kembali kepada bentuknya ketika mampu untuk merespon ancaman atau hambatan dan tantangan. Fungsi dari ketahanan nasional sendiri adalah untuk menghadapi atau menghancurkan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Ketahanan nasional juga merupakan totalitas akumulasi agregat dari dua pendekatan yaitu pendekatan gatra, apabila ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan hankam baik maka tercapailah ketahanan nasional. Ada juga pendekatan spasial geografis, “Contohnya ketahanan nasional akan baik jika ketahanan DKI Jakarta baik, ketahanan Jawa Barat baik, dan ketahanan Papua baik, tetapi masing-masing provinsi pun kembali pada pendekatan gatra,” tambah Agus.

 

Agus juga menyatakan yang paling penting adalah semuanya harus berdasarkan konsensus dasar yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Ini (konsensus dasar) adalah sekrup, jika sekrup ini dilepas, akan terjadi kekacauan dan mungkin juga ancaman terhadap hilangnya negara Pancasila” ujar Agus. Agus menambahkan, hal ini juga berlaku dalam demokrasi, boleh saja jika kita berbeda pendapat atau pilihan, tetapi semua harus berada dalam rambu-rambu konsensus dasar.

 

Agus kemudian menjelaskan, tantangan dalam wawasan kebangsaan ini adalah bagaimana memaknai nilai intrinsik dari nilai-nilai yang kita warisi dari zaman perjuangan di masa lalu, untuk ditransformasikan ke dalam nilai instrumental operasional dalam Indonesia dan lingkungan strategis yang telah berubah. Ada pula tantangan eksternal yang dihadapi pada dasarnya berasal dari tantangan yang berasal dari globalisasi, karakter bangsa, dan revolusi Industri.


Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi salah satu pemateri dalam Forum Diskusi “Pentingnya Peran ASN sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa” pada Kamis (18/07) di Hotel Millennium, Jakarta. Forum diskusi ini diselenggarakan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang bekerjasama dengan Centre for Strategic International Studies (CSIS). Forum ini juga diselenggarakan guna membangun kesadaran semua pihak akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan juga berbagi pengalaman mengenai pentingnya peran Aparatur Sipil Negara sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Gubernur Lemhannas RI menjadi pemateri bersama Senior Fellow CSIS, J. Kristiadi  dan Ketua KASN, Prof. Sofian Effendi.

 

Agus menjelaskan Sistem Open Bidding yang dikaitkan dengan kesatuan dan persatuan. Menurut Agus, sistem open bidding adalah untuk memilih bakat-bakat terbaik untuk mengisi sebuah jabatan dan karena sistem ini merupakan hasil dari studi banding, maka pasti sistemnya juga sudah baik di negara asalnya. “Kalaupun adanya kekurangan dari sistem ini, mungkin karena ada hal yang kurang kita cermati,” tambah Agus. Sistem Open Bidding sendiri memerlukan waktu yang cukup lama. “Melihat dari pengalaman Lemhannas sendiri, untuk menentukan Deputi Pengkajian saja membutuhkan waktu lebih dari enam bulan, padahal kekosongan itu perlu segera diisi, karena Deputi Pengkajian merupakan posisi kunci,” ujar Agus. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, pertama, pemilihan anggota pansel yang membutuhkan proses. Kedua, pengumuman lowongan yang harus menunggu jumlah pendaftar sesuai persyaratan. Kemudian dikaitkan juga dengan kompetensi, seperti persyaratan apa saja yang dibutuhkan hanya organisasi itu sendiri yang paham, karena jabatan itu sendiri tidak hanya terbatas pada jabatan kompetensi teknis, tetapi juga kultur, dan kultur ini yang sulit diukur dari luar. Pansel belum tentu mengetahui baik kompetensi teknis, dan juga kultur organisasi itu sendiri.

 

Apabila dikaitkan dengan aspek persatuan dan kesatuan, kita harus mencantumkan persyaratan bagi para calon didahului dengan eksplorasi latar belakang calon, terutama aspek ideologis calon pengisi jabatan tersebut. Selain itu, calon pengisi  harus memiliki jiwa korsa ASN yang baik, terkait dengan pentingnya membangun dan menegakkan rasa kebanggaan, kedisiplinan ASN, menghindari tumbuhnya ego sektoral, ego institusional, ego kedaerahan, dan ego kepentingan pribadi.

 

Lalu, kemungkinan politisasi dalam pemilihan calon baik dari unsur yang berada di luar teknis seperti memberikan pengaruh-pengaruh politis tertentu sangat terbuka, apalagi jika pansel sudah terpapar dengan unsur politisasi tersebut. “Kita mungkin akan mendapatkan calon terbaik, tapi akan ada masalah-masalah organisasi yang kita korbankan,” ujar Agus. Sebagai contoh kepala daerah, jika berbicara terpapar atau tidaknya, ini akan terkait dengan sistem yang lebih besar, yaitu partai politik. Pemerintah harus bisa menjamin bahwa partai politik itu tidak termasuk kedalam partai politik yang terpapar. “Jika partai politik tersebut sudah setengah terpapar, maka ia akan mengintensifkan langkahnya itu melalui penempatan-penempatan yang merupakan ujung tombak bagi ideologi keterpaparan partai politik,” tambah Agus.


Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) Kajian Strategik Jangka Pendek tentang “Percepatan Pembangunan Provinsi Kepulauan dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Rakyat”. Pada FGD ini, para narasumber yang hadir membahas tentang aspek penguatan hukum pembangunan provinsi kepulauan dan harmonisasi antar sektor dan kebijakan, bertempat di Ruang Gatot Kaca Gedung Astagatra lantai 3 Lemhannas RI, Kamis (18/7).

 

Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri RI Sukoyo, S.H., M.Si. hadir menjadi narasumber menjelaskan bahwa provinsi kepulauan ingin mendapatkan penguatan hukum dan pelaksanaan peraturan yang sudah ada. “Ada keinginan dari teman-teman di provinsi kepulauan untuk mendapatkan upaya hukum yang kuat,” kata Sukoyo membuka paparannya. Sukoyo menjelaskan bahwa RUU Daerah Kepulauan telah dibahas pada tahun 2012, namun ditolak karena berpotensi tumpang tindih dengan Undang Undang lainnya yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang salah satu isinya mengatur kewenangan pemerintah daerah yang berciri kepulauan, Undang Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2014 tentang Penataan Wilayah Pertahanan Negara.

 

Peraturan perundangan tentang provinsi kepulauan yang menyebar di beberapa undang-undang ini telah memberikan keistimewaan bagi provinsi dengan ciri kepulauan. “Sebenarnya dalam UU No. 23 memberikan penegasan bahwa provinsi yang bersifat kepulauan diberikan hak-hak yang bisa dikatakan istimewa,” ujar Sukoyo. Menurut Sukoyo yang mendesak untuk dilakukan adalah mengoptimalkan pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut.

 

Narasumber selanjutnya adalah Heru Wibowo, S.E., M.A., Ph.D. yang mewakili Direktur Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu RI And. Kunta Wibawa Dasa Nugraha. Heru menjelaskan bahwa sinergi kebijakan di semua sektor dibutuhkan untuk menghadapi dinamika perekonomian dan tantangan pembangunan.

“Sinergi kebijakan harus dibangun melalui tiga bidang yaitu fiskal, sektor riil, serta moneter dan keuangan,” kata Heru. Pada bidang fiskal ada dua hal yang harus dilaksanakan yaitu anggaran produktif dan realistis serta pelaksanaan anggaran yang kredibel. Sedangkan pada sektor riil harus ada kebijakan untuk menjaga dan meningkatkan daya beli serta mendorong investasi serta adanya insentif fiskal dan paket kebijakan ekonomi untuk mendorong kinerja sektor riil. Kemudian pada bidang moneter dan keuangan harus ada kebijakan moneter yang mendukung stabilitas dan pertumbuhan, kebijakan makroprudensial yang akomodatif, serta menjaga stabilitas sektor keuangan.

 

“Undang Undang yang terkait juga harus diharmonikan,” ujar Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham RI Bunyamin, S.H., M.H. Lebih lanjut Bunyamin memaparkan berdasarkan Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2004 sudah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM melalui surat Menteri Dalam Negeri 188.31/1886/SJ tanggal 30 Maret 2017. Bunyamin juga menekankan perlunya pembagian kewenangan yang jelas antar lembaga pemerintah. “Harus diperjelas kewenangan antar kementerian dan lembaga terkait,” jelas Bunyamin.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749