Menindaklanjuti FGD sebelumnya, Deputi Bidang Pengkajian Strategik Direktorat Pengkajian Sosial Budaya dan Demografi Lemhannas RI mengadakan Kajian Jangka Pendek Focus Group Discussion (FGD) II “Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Guna Menyiapkan Generasi Muda yang Berkarakter” bertempat di Ruang Gatot Kaca Gedung Astagatra Lemhannas RI, Rabu (17/2).
Membuka paparannya, Guru Besar Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Euis Sunarti, M.Si. memaparkan hasil Violence Against Children Survey. “Hasil Violence Against Children Survey pada tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan pada anak berumur 13 tahun sampai 17 tahun dengan lingkup kekerasan fisik, emosi, dan seksual mencapai angka 38,62% pada anak laki-laki dan 20,48% pada perempuan,” ungkap Euis. Menurut Euis penyebab kekerasan terhadap anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Lebih lanjut Euis menjelaskan bahwa untuk menangani kekerasan terhadap anak dibutuhkan kebijakan yang holistik dan komprehensif.
“Perlindungan dan pencegahan harus dilakukan sejak hulu,” kata Euis. Mengangkat subjudul “Kebijakan dan Strategi dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak guna Menyiapkan Generasi Muda yang Berkarakter”, Euis menegaskan bahwa inti dari perlindungan anak adalah pencegahan. Keluarga sebagai unit sosial terkecil memiliki peranan penting dalam membentuk karakter anak. Namun dewasa kini keluarga semakin rentan, banyak anak dibesarkan dengan pengabaian bahkan secara tidak langsung diminta untuk membesarkan dirinya sendiri. “Anak pertama kali berada di keluarga, jadi kalau ingin mencari faktor di hulu pasti di keluarga,” lanjut Euis. Karena jika sudah terjadi kekerasan, walaupun ditanggulangi dengan sedemikan rupa, keadaan tidak akan kembali seperti semula.
Kecepatan dan ketepatan respon menuntut banyak pihak untuk semakin peduli pada anak, karena kekerasan biasanya merupakan hubungan aksi-rekasi. Jika seorang anak mendapat perlakuan kekerasan dan tidak mendapatkan pemulihan yang cukup, maka muncul peluang anak tersebut menjadi pelaku dan hal ini akan menjadi ‘lingkaran setan’. Bahkan ‘lingkaran setan’ tersebut juga bisa terjadi di hubungan ibu dan anak, seringkali anak menjadi korban pelampiasan saat ibu menjadi korban kekerasan. Seringkali pelaku kekerasan adalah orang yang sebelumnya merupakan korban kekerasan. “Pada intinya adalah bagaimana membuat penanganan yang holistik, komprehensif, terintegrasi dan bersinergi antar berbagai komponen,” tutup Euis.
Sejalan dengan Euis, Deputi Bidang Perlindungan Hak-Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Prof. dr. Vennetia Ryckerens Danes, M.S., Ph.D. menyatakan beberapa kendala dan hambatan dalam penanganan masalah ini. Kendala dan hambatan pertama adalah lemahnya koordinasi antar instansi baik pusat maupun daerah. Selanjutnya adalah permasalahan pembuktian yaitu korban sering diperlakukan sebagai pasien umum, bukan khusus, dan terabaikannya pendampingan psikisnya. Kendala dan hambatan terakhir adalah pengaruh geografi, demografi, dan kebudayaan setempat, “Misalnya pengaruh adat yang kuat, letak geografi dengan daerah-daerah terpencil yang jauh dari jangkauan aparatur penegak hukum, maupun masih minimnya aparatur penegak hukum yang berperspektif gender dan anak,” kata Vennetia.
Dosen Sosiologi Departemen Sosiologi FISIP UI Dr. Ida Ruwaida, M.Si. yang menjadi narasumber terakhir pun menekankan pentingnya kebijakan yang komprehensif dalam penanganan masalah kekerasan ini. Menurut Ida, tantangan dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak perempuan adalah menciptakan kebijakan yang reponsif, inklusif, dan tidak mendiskriminasi jenis kelamin.