Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Reini Wirahadikusumah MSCE, Ph.D., Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Drs. Kukuh S. Achmad, M.Sc., dan Komisaris Utama PT. Len Industri (Persero) Laksda TNI (Purn) Ir. Leonardi, M.Sc. menjadi narasumber pada diskusi panel “Penerapan IPTEK Guna Daya Saing Bangsa” Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 61 Lemhannas RI pada Senin, (7/9).

Prof. Reini Wirahadikusumah dalam paparannya menyampaikan bahwa strategi pembangunan yang harus dilakukan adalah pemerataan infrastruktur serta konektivitas wilayah Indonesia, pemanfaatan teknologi maju untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. "Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, khususnya dalam penguasaan IPTEK sangat diperlukan,” kata Reini.

Reini mengungkapkan bahwa penguasaan teknologi di Indonesia masih harus ditingkatkan dengan meningkatkan belanja di investasi SDM, investasi pada bidang riset dan pengembangan, serta dengan mengukur efisiensi dan intensitas suatu negara dalam menghasilkan produk.

Dalam melakukan peningkatan SDM atau bisa disebut dengan pembangunan modal insani, Reini menyatakan bahwa bangsa Indonesia dapat  belajar dari bangsa lain. Namun, setiap bangsa memiliki keistimewaan masing-masing yang perlu digali sehingga keistimewaan tersebut dapat menjadi keunggulan suatu bangsa.

Dewasa kini pengembangan SDM juga dipengaruhi oleh Revolusi Industri 4.0. seperti adopsi paradigma pendidikan 4.0 sebagai bentuk transformasi digital dalam pembelajaran yang berfokus pada konektivitas dalam pembelajaran, perluasan pengalaman belajar yang lebih tanpa batas, disertai penguatan kemampuan peserta dalam berpikir kritis, kompleksitas/berpikir non-linier, berpikir antar cabang ilmu pengetahuan, serta pembelajaran mandiri dan pembelajaran kolektif.

Reini menegaskan bahwa untuk lebih memanfaatkan dan menggali peluang kita harus terus membarui kemampuan terkait teknologi informasi “Penguasaan IPTEK adalah suatu keharusan dan prioritas,” kata Reini.

“Kalau kita berbicara IPTEK, maka biasanya diawali dari suatu penelitian menemukan sesuatu, kemudian sering juga kita melakukan inovasi dan hilirisasi,” kata Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Drs. Kukuh S. Achmad, M.Sc.

Kukuh menjelaskan bahwa tujuan standarisasi dalam hilirisasi dan inovasi adalah terciptanya produk yang lebih canggih, lebih murah, aman, mudah digunakan, dan ramah lingkungan. Adanya standarisasi yang ditetapkan membuat produsen memiliki acuan agar barang atau jasa yang dihasilkan bisa diterima dan digunakan oleh masyarakat.

Pemberlakuan standarisasi juga dapat mendukung transformasi strategi dalam peningkatan daya saing. Standarisasi di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) awalnya didorong dan diwajibkan oleh pemerintah, namun saat ini, penerapan SNI sedang dalam proses menjadi kebutuhan masyarakat dan kebutuhan industri sebagai dorongan untuk berinovasi.

Standarisasi yang dikarenakan pemberlakuan SNI secara wajib bersifat statis, berbasis penegakan hukum, menjadi persyaratan minimum, terbatas pada pasar nasional, dan berbasis kepatuhan. Sedangkan, standarisasi sebagai dorongan untuk berinovasi akan bersifat dinamis, berbasis perkembangan IPTEK, penilaian oleh publik sebagai pengguna, berbasis nasional yang menuju pasar regional dan global, berbasis keinginan membuktikan kesesuaian dan memperoleh kepercayaan.

Komisaris Utama PT. Len Laksda TNI (Purn) Ir. Leonardi, M.Sc. PT. Len Industri mengatakan bahwa sudah menyediakan sejumlah fiber optic sehingga menambah kapasitas bandwidth yang akan mendukung optimalisasi penggunaan IPTEK. Hal tersebut juga diharapkan akan mendukung peningkatan kualitas individu yang akan meningkatkan kualitas masyarakat.

Leo menyampaikan bahwa pentingnya investasi pada bidang riset dan kemitraan triple helix. Kemitraan triple helix, yakni antara pemerintah, pihak swasta, dan akademisi diharapkan akan menyerap, memahami, mengetahui, dan menguasai teknologi untuk kemajuan masa depan.

 

Pada kesempatan tersebut Leo juga menyampaikan pentingnya transfer pengetahuan yang dapat didukung oleh triple helix. “Transfer pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri,” ujar Leo. Transfer pengetahuan dapat dilakukan melalui 6 langkah, yakni Mengumpulkan, Menggunakan, Memperkaya, Membagikan, Menilai, Membangun/Mempertahankan/Menghentikan. Mengumpulkan, yakni mencari dan mengumpulkan informasi awal dari berbagai sumber. Kemudian Menggunakan informasi yang sudah dikumpulkan untuk menanggapi permintaan pemangku kepentingan. Selanjutnya adalah Memperkaya dengan mencari tambahan informasi dan dengan wawasan baru meningkatkan nilai tambah.

Langkah selanjutnya adalah Membagikan pengetahuan dan wawasan dengan orang lain. Langkah kelima adalah Menilai, yaitu menilai kebutuhan informasi dan pengetahuan di masa depan dan melakukan penyesuaian. Terakhir adalah Membangun/Mempertahankan/Menghentikan, yaitu membangun pengetahuan tambahan mengenai topik-topik penting dan membuang pengetahuan yang sudah usang.

 


Sekretaris Utama (Sestama) Badan Intelijen Negara (BIN) Komjen Pol. Drs. Bambang Sunarwibowo, S. H., M.Hum. mengunjungi Lemhannas RI, Jumat, (28/8). Kunjungan tersebut diterima langsung oleh Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo.

Dalam kunjungan tersebut, Sestama BIN didampingi beberapa jajarannya, yakni Gubernur Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Laksma TNI Dr. Ivan Yulivan, M.M., SHRMP., M.Tr (Han), Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) BIN Dr. Armi Susandi, M.T, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Kapusdiklat) BIN Brigjen TNI R. Toto Oktaviana, S.Sos., Kepala Biro - 03 Gede Agung Patra Wicaksana, S.H., M.H, Staf Khusus Kepala BIN Riri Satria, S.Kom., M.M., ACP., DBA(c), dan Staf Khusus Wakil Kepala BIN Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Soemantri.

Kunjungan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kerja sama antara kedua instansi terutama kerja sama yang terkait dengan prediksi ancaman nasional ke depan. “Lemhannas RI tentunya memiliki data base yang lebih komprehensif dalam hal ini,” kata Bambang. Lebih lanjut, Bambang menjelaskan bahwa data yang dimiliki Lemhannas RI dapat memperkaya indeks ancaman nasional yang disusun BIN, sehingga indeks ancaman nasional yang disusun menjadi lebih spesifik dan berkualitas. Indeks tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai panduan instansi dalam bekerja dan memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibnas).

“Kami juga berharap bisa ada kerja sama berkaitan dengan peningkatan di bidang pendidikan,” ujar Bambang. Dalam hal tersebut Bambang menyampaikan kemungkinan jajaran BIN untuk dimanfaatkan menjadi narasumber dan personel BIN bisa menjadi peserta pendidikan. Selain itu, Bambang juga menyampaikan kemungkinan kerja sama dalam menyusun kajian sehingga akan meningkatkan kualitas data, analisis, dan hasil kajian. “Tentunya ini akan berpengaruh terhadap kinerja kita, yang secara sinergi antar lembaga ini menjadi sangat penting sekali kedepannya,” tutur Bambang.

Menurut Agus, Lemhannas RI sangat terbuka atas kerja sama yang ingin dilakukan. Kerja sama yang dilakukan bukan hanya tentang saling menggunakan hasil akhir yang telah disusun, namun dari proses diskusi dan penyusunan. “Kami selalu terbuka apalagi yang berkaitan dengan fungsi dan peran Lemhannas RI untuk masuk di berbagai program pendidikan yang ada di Lemhannas, kerja sama peningkatan kapasitas, kami selalu terbuka,” kata Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo.


Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi pembicara kunci pada Webinar Kepemimpinan Strategis Terkait Integritas Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Menjalankan Jabatannya yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI), Rabu (2/9).

“Hasil sebuah proses kepemimpinan tidak kita lihat pada pemimpinnya, tetapi pada organisasinya dan pada anggotanya,” kata Agus. Menurut Agus, hasil sebuah proses kepemimpinan dapat terlihat dari organisasi yang dipimpin apakah menjadi lebih efisien dan efektif atau sebaliknya. Selain itu, hasil sebuah proses kepemimpinan juga dapat dilihat dari anggotanya, apakah anggotanya menjadi lebih kompeten, terampil, dapat bekerja sama, dan mengikuti perkembangan jika dibandingkan dengan sebelumnya. Maka dapat dikatakan bahwa hasil proses kepemimpinan dilihat dari organisasi dan kinerja anggota pada pelaksanaan tugas pokok.

Oleh karena itu, Agus berpesan bahwa anggota Ikatan Notaris Indonesia perlu mempunyai kemampuan untuk membaca perkembangan lingkungan strategis dan mengantisipasi perubahan. Yang dimaksud dengan mampu mengantisipasi perubahan yakni, mengenai dinamika, mengenai peraturan perundang-undangan dan mengenai proses transformasi yang bersifat irasional.

Notaris sebagai pemimpin strategis perlu memiliki keluwesan atau fleksibilitas guna menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan. “Perubahan sekarang ini begitu cepat dan begitu drastis, sehingga kalau kita terlena di dalam sikap bussiness as usual, kita bisa ketinggalan kereta,” ujar Agus.

Pada kesempatan tersebut Agus juga mengingatkan bahwa dalam menghadapi era digital, keahlian softskill sangat diperlukan. Hal tersebut juga berlaku bagi anggota Ikatan Notaris Indonesia, bahwa softskill akan sangat banyak digunakan dan diperlukan bagi para anggota Ikatan Notaris Indonesia di dalam melaksanakan tugasnya.


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi pembicara dalam Webinar Opini Seri 8: Refleksi 75 Tahun Pluralisme Indonesia yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM (Balitbang Kumham) Kementerian Hukum dan HAM, Kamis (27/8).

Pada kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan Pluralisme adalah sebuah pemikiran kolektif bangsa yang terbangun dari kekuatan persatuan di tengah keberagaman. Dalam memahami makna pluralisme dalam konteks persatuan dibutuhkan kesamaan pandangan, sikap, dan pemikiran. Agus juga menegaskan bahwa perlu adanya kesadaran bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa  membutuhkan persatuan.

Agus juga mengaitkan pluralisme dengan realitas kekinian. Menurut Agus, era globalisasi tidak selalu membawa kemudahan dalam mencapai solusi permasalahan bangsa. Penetrasi informasi yang intens dan tidak mengenal batas wilayah dinilai rentan menimbulkan persoalan baru yang berdampak luas bagi persatuan bangsa. Oleh karena itu, memandang pluralisme dalam persatuan memerlukan kematangan pada perseorangan dan juga kelompok.

Menurut Agus, jika kondisi ketahanan nasional kuat, pluralisme seharusnya dapat diwujudkan dengan baik. “Jika kondisi ketahanan nasional kuat, pluralisme seharusnya dapat diwujudkan dengan baik dan digunakan dalam mengatasi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan,” kata Agus.

Agus menjelaskan bahwa ketahanan nasional merupakan kondisi atau hasil yang digunakan untuk mengatasi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Ketahanan nasional, jelas Agus, dapat diwujudkan dengan pendekatan gatra ideologi, gatra ekonomi, gatra politik, gatra sosial budaya, gatra pertahanan dan keamanan, serta gatra spasial geografis melalui keadaan masing-masing provinsi. Bila ketahanan tiap-tiap gatra bisa dibangun dan bisa dicapai dengan baik, maka ketahanan nasional bisa dikatakan dalam situasi baik. Namun, jika ada salah satu gatra yang lemah maka akan mempengaruhi kondisi ketahanan nasional.

Lebih lanjut Agus menyampaikan beberapa pemikiran dalam merespons tantangan pluralisme. Menurut Agus, aspirasi masyarakat harus difasilitasi dengan membentuk forum musyawarah. Selanjutnya Agus juga menyarankan adanya pembinaan atas berbagai lembaga keagamaan dan perbaikan kurikulum pendidikan yang menyebarkan kultur, sejarah, dan nilai-nilai kebangsaan. “Mengaktifkan kembali berbagai kegiatan yang berisi penanaman nilai-nilai kebangsaan,” ujar Agus.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749