Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.d. memberikan ceramah secara virtual kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 61, pada Rabu (22/07). Pada kesempatan tersebut, Dwikorita menyampaikan topik Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi.

Tujuan Dwikorita menyampaikan materi tersebut adalah agar para peserta PPRA 61 semakin sadar akan pentingnya langkah-langkah yang lebih konkret dan masif dari semua lini untuk mencegah atau bahkan terpaksa beradaptasi dan melakukan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim yang sering ditandai dengan adanya bencana hidrometeorologi. “Kita harus beradaptasi, harus juga melakukan mitigasi dan bagaimana proyeksi iklim ke depan kalau kita tidak melakukan mitigasi yang tepat,” kata Dwikorita.

Kemudian Dwikorita menjelaskan bahwa bencana dibedakan menjadi 3, yakni bencana geologi, bencana meteorologi, dan bencana ekstra-terestrial. Yang dimaksud dengan bencana geologi adalah bencana yang terutama diakibatkan oleh gerak-gerak tektonik lempeng oleh fenomena geologi seperti gempa bumi dan gunung meletus, seringnya fenomena geologi tidak bisa dicegah manusia.

Sedangkan bencana meteorologi adalah bencana hidrometeorologi yang sesungguhnya dipengaruhi manusia dengan sangat signifikan sehingga dan sebetulnya manusia dapat melakukan pencegahan. “Di sinilah manusia mempunyai peranan besar sebagai penyebab dan harus mampu mengantisipasi dan memitigasi,” kata Dwikorita. Terakhir adalah bencana ekstra-teretrial, yaitu bencana yang terkait dengan pengaruh luar angkasa, sehingga bencana ini tidak bisa dicegah dan hanya bisa diantisipasi dan mengurangi risiko.

“Akibat letak geografis Indonesia, juga topografinya dan kondisi kepulauannya menjadikan Indonesia ini benar-benar sangat sensitif untuk mudah terpengaruh kondisi yang ada di sekitarnya yaitu di Samudera Pasifik, di Samudera Hindia, di Benua Australia dan di Benua Asia,” ujar Dwikorita. Selanjutnya Dwikorita memberikan contoh di masa sekarang ini, yaitu sebagian Indonesia yang berada di garis khatulistiwa bagian selatan seperti Bali, NTT, Papua Selatan, dan sebagian Pulau Jawa sudah memasuki musim kemarau dan mengalami kekeringan. Namun, sebagian Indonesia yang berada di khatulistiwa dan di khatulistiwa bagian utara mengalami hujan yang intensitasnya tinggi.

Hal tersebut diakibatkan karena khatulistiwa bagian selatan dipengaruhi oleh angin yang berasal dari Benua Australia yang lebih kering karena berasal dari daerah gurun. Sebaliknya, daerah yang berada di wilayah khatulistiwa dan khatulistiwa bagian utara seperti di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Papua bagian tengah dan utara lebih dipengaruhi oleh aliran udara yang lebih basah karena berasal dari Samudera Pasifik. “Jadi memang iklim di Indonesia seperti itu, sangat mudah terpengaruh oleh kondisi sekitarnya,” tutur Dwikorita.

Selanjutnya Dwikorita menjelaskan mengenai perubahan iklim global yang di antaranya berupa kenaikan suhu udara. Kenaikan suhu udara diakibatkan oleh terhambatnya pantulan sinar matahari dari bumi karena adanya gas rumah kaca seperti Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Dinitrogen Oksida (N20) di atmosfer.

Tidak sedikit kegiatan manusia yang mengakibatkan menggantungnya gas rumah kaca di atmosfer, misalnya penebangan pohon sehingga berkurangnya penyerapan CO2, pemakaian pupuk urea yang menyumbang N20, penimbunan kotoran sapi yang melepaskan CH4, serta pemakaian transportasi yang menghasilkan CO2. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai paket komplit untuk mempertebal kandungan gas rumah kaca yang menghalangi sinar matahari ke angkasa luar. “Kalau kita tidak melakukan adaptasi dan mitigasi maka bencana hidrometeorologi akan semakin sering terjadi,” kata Dwikorita.

Sebagai upaya adaptasi dengan perubahan iklim, BMKG melakukan beberapa upaya. Yang pertama adalah memberikan dukungan terhadap berbagai sektor yang melakukan upaya mitigasi dengan menyiapkan data iklim hitoris dan melakukan proyeksi masa depan. Selanjutnya adalah mengkaji persiapan kegiatan adaptasi berbagai sektoral dengan berbagai Kementerian dan Lembaga. Kemudian bekerja sama dengan Bappenas dalam menyiapkan dokumen Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API). Tidak lupa BMKG juga melibatkan berbagai kalangan seperti sekolah melalui program Jambore Iklim serta petani dan nelayan melalui Sekolah Lapang Iklim.

“Kesimpulannya bahwa sebetulnya perubahan iklim global ini diakibatkan oleh manusia itu sendiri, oleh aktivitas manusia dan yang akan mengalami dampaknya manusia itu sendiri,” ujar Dwikorita. Maka menurut Dwikorita perlu dilakukan mitigasi dengan proyeksi-proyeksi, memanfaatkan energi terbarukan sehingga mengurangi gas rumah kaca, dan memperbanyak penghijauan.


Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 60 mendapatkan pembekalan dari Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI (IKAL) Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar yang didampingi Wakil Ketua Umum I IKAL Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si, dan Sekretaris Jenderal IKAL Marsdya TNI (Purn) Daryatmo, M.Si., pada Senin (20/07).

Agum menghimbau bahwa setelah menempuh pendidikan Lemhannas RI, para alumni harus menjadi dapat menempatkan diri dengan baik sebagai staf maupun pimpinan saat kembali ke jabatan masing-masing salah satunya dengan memberikan masukan kepada atasan saat atasan melakukan kesalahan dalam pekerjaan. “Disini harus ada  keberanian untuk mencegah pemimpin salah dalam mengambil kebijakan, keputusan,” ujar Agum. Sedangkan ketika menjadi komandan, Agum menghimbau untuk menjadi komandan yang bijak.

Lebih lanjut Agum menyampaikan bahwa terdapat tiga syarat agar bangsa Indonesia dapat melakukan pembangunan di semua sektor dan lini kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial budaya, maupun seni dan olahraga. Pertama adalah adanya jiwa nasionalisme dan rasa bangga terhadap bangsa dan negara, mengedepankan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok, serta rela berkorban untuk bangsa dan negara. “Tanpa nasionalisme, sebuah bangsa tidak akan menjadi bangsa,” ujar Agum.

Syarat kedua, tutur Agum, adalah adanya daya saing bangsa di era persaingan. Selama ini Indonesia masih mengandalkan keunggulan komparatif. Menurut Agum, keunggulan komparatif di era ini harus diubah menjadi keunggulan bersifat kompetitif dengan memberdayakan sumber daya manusia. “Kuncinya Sumber Daya Manusia,” tegas Agum.

Lebih lanjut Agum menjelaskan bahwa syarat ketiga adalah kedisiplinan pada setiap peraturan perundangan dan hukum yang berlaku. Agusm menegaskan bahwa suatu proses pembangunan hanya akan berhasil, ketika pembangunan dilaksanakan ditengah masyarakat yang disiplin.

Kemudian Agum menekankan seluruh keluarga besar IKAL bahwa sebagai suatu institusi, IKAL harus bersikap netral dalam menghadapi perbedaan, termasuk perbedaan pada proses demokrasi. Namun, sebagai individu, anggota IKAL yang memiliki hak demokrasi diberikan kesempatan untuk menggunakan hak tersebut. “Sebagai suatu institusi kelembagaan, IKAL harus bersikap netral. Tetapi sebagai seorang individu tanpa membawa atribut IKAL, silahkan menggunakan hak sesuai dengan hati nurani masing-masing,” kata Agum.

Agum juga menghimbau bahwa perbedaan pilihan tersebut sifatnya sementara, akan berakhir dan harus berakhir ketika proses demokrasi selesai. Seluruh anggota IKAL harus menghormati apapun yang menjadi keputusan demokrasi. “Hormati apapun yang menjadi keputusan demokrasi,” ujar Agum.


Kita harus sadari bersama, bahwa data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita dan data saat ini lebih berharga dari minyak,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abidin, M.Sc. saat memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 61 pada Rabu, (22/07). Lebih lanjut, Hasan menyampaikan bahwa saat ini penguasaan data dan informasi dinilai sangat penting termasuk dengan menguasai data dan informasi geospasial.

Dalam tingkat internasional, jelas Hasanuddin, geospasial adalah ilmu tentang lokasi karena segala sesuatu itu terjadi pada lokasi tertentu. Tanpa lokasi, data-data yang dimiliki menjadi  kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu, kesinambungan data dengan lokasi yang menjadi informasi geospasial dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dalam berbagai sektor.

Hasanuddin menuturkan bahwa dalam mendukung pembangunan nasional, diperlukan pengolahan data secara keseluruhan seperti seperti jarak, sudut, ketinggian, kedalaman, dan koordinat agar dapat menghasilkan kebijakan yang kemudian menghasilkan informasi. Informasi yang dihasilkan dalam bentuk jaringan control koordinat, peta dasar, dan peta tematik kemudian diolah menjadi pengetahuan seperti geodesy, geomatics, geography, dan geosciences. Selanjutnya, jelas Hasanuddin, ilmu pengetahuan tersebut menghasilkan kebijakan seperti pembangunan berkelanjutan, pengelolaan SDA, mitigasi dan adaptasi bencana, serta pertahanan dan keamanan negara.

Dengan kemajuan teknologi, jelas Hasanuddin, terdapat cukup banyak perkembangan geospasial di tahun 2020, salah satunya adalah demokratisasi data yang menyebabkan data semakin terbuka. Hasanuddin menuturkan bahwa kemajuan teknologi tersebut mempengaruhi data dan informasi geospasial.

Kemudian Hasanuddin menjelaskan mengenai Satu Data Indonesia yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019, yaitu kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antara instansi pusat dan instansi daerah melalui pemenuhan standar data, metadata, interoperabilitas data, dan menggunakan kode referensi dan data induk.

Hasanuddin menyampaikan bahwa pemerintah berusaha menggabungkan berbagai jenis data agar gambaran informasi geospasial bisa dipergunakan secara maksimal untuk pembangunan nasional. Dengan adanya Satu Data Indonesia, diharapkan semua data mempunyai satu standar, satu meta data, dan dapat dibagipakaikan dengan mudah, dan memiliki kode referensi yang jelas. “Tentunya satu data ini untuk mendukung perencanaan pembangunan, SDG’s dan kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya seperti Covid-19,” ujar Hasan. Dalam penanganan Covid-19, Satu Data Indonesia diharapkan dapat mengelola pengurangan resiko akibat bencana Covid-19 sehingga dapat meminimalkan korban dan dampak.


Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI (IKAL) kembali mengukuhkan dan melantik pengurus Komisariat Provinsi (Komprov), yakni Komprov Sulawesi Tenggara dan Komprov Bali bertempat di Ruang Konstitusi pada Jumat, (17/07).

Pelantikan dan pengukuhan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Ketua Umum IKAL No. Skep 0203/07/2020/IKAL Tentang Susunan Pengurus Ikal Komisariat Provinsi Sulawesi Tenggara dan Bali masa bakti 2020-2025. IKAL Komprov Sulawesi Tenggara diketuai oleh Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Dr. H. Lukman Abunawas, S.H., M.Si dan IKAL Komprov Bali diketuai oleh Brigjen Pol Drs. I Wayan Sunarta.

“Saudara-saudara harus menerima ini sebagai suatu bentuk kepercayaan, suatu bentuk kehormatan,” kata Ketua Umum IKAL Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar. Pada kesempatan tersebut, Agum mengingatkan bahwa tugas dari organisasi IKAL adalah selalu berusaha untuk menggali pemikiran. Pemikiran yang dimaksud adalah pemikiran mengenai permasalahan-permasalahan yang dinilai punya jangkauan nilai strategis yang berkembang di negeri. Terlebih lagi, IKAL adalah organisasi yang bercirikan watak pejuang, sehingga secara tidak langsung tidak boleh apatis terhadap perkembangan situasi di negeri ini. “Kita harus selalu peduli,” tutur Agum.

Hal lainnya yang harus dipedomani anggota IKAL adalah pengertian peran dalam proses demokrasi. Agum menyampaikan bahwa dalam mengemban peran dalam proses demokrasi sebagai organisasi, IKAL harus bersikap netral. Namun, anggota IKAL sebagai individu tetap memiliki hak demokrasi baik memilih maupun dipilih. Dalam hal tersebut, IKAL memberi kebebasan kepada setiap individu untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani masing-masing.

Selaras dengan yang disampaikan Agum, Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo juga menyampaikan bahwa Lemhannas RI memandang IKAL sebagai sebuah bagian penting bagi keberadaan Lemhannas RI. Agus menegaskan bahwa IKAL dan Lemhannas RI bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. “Sebagaimana pada umumnya almamater pendidikan, maka reputasi dan kehormatan lembaga pendidikan akan ditentukan oleh bagaimana kinerja dan perilaku para alumninya,” kata Agus.

Agus juga menyambut baik pernyataan Agum, yakni bahwa IKAL mengemban sebuah tugas kehormatan dan amanat yang sangat penting karena karakteristik IKAL yang bercirikan watak pejuang. Terlebih lagi IKAL sebagai organisasi yang besar membawa aspek-aspek yang terkandung dalam Lemhannas RI, yakni 4 Konsensus Dasar Bangsa ke dalam cakupan geografis yang luas. “IKAL sebagai perpanjangan tangan dari Lemhannas RI kepada masyarakat tentu akan membawa core dari Lemhannas RI, 4 Konsensus Dasar Bangsa,” ujar Agus.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749