“Tidak semua kebijakan bisa memuaskan semua orang,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia Republik Indonesia (Lemhannas RI) saat memberikan ceramah kepada peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri, Rabu, 10 Juni 2020. Pada kesempatan tersebut Agus menyampaikan topik “Meningkatkan Kemampuan Manajerial dan Kepemimpinan Tingkat Tinggi Yang Profesional, Berintegritas, dan Unggul guna Menjamin Keamanan Nasional dan Ketertiban dalam rangka Mendukung Pembangunan Nasional” dengan fokus materi pada wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan kewaspadaan nasional.

Agus mengajak seluruh peserta untuk terlebih dahulu memahami keadaan Indonesia. Untuk menjalankan dinamika pembangunan diperlukan kebijakan nasional. Menurut Agus, memang tidak semua kebijakan bisa memuaskan semua orang. Oleh karena itu, kebijakan nasional harus merujuk pada beberapa aspek, yakni kesepakatan bangsa, perjalanan sejarah, serta budaya dan peradaban.

Kesepakatan bangsa sendiri diikat oleh 4 konsensus dasar bangsa, yakni Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta nilai-nilai kebangsaan, yakni wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan kewaspadaan nasional. Namun, ada kalanya kesepakatan bangsa belum cukup. Maka, ada elemen kedua yaitu perjalanan sejarah.

Indonesia sudah melalui banyak perjalanan sejarah, tidak lahir secara tiba-tiba pada tahun 2020. Tetapi, tatanan lama tidak bisa langsung dihilangkan dan tatanan ideal baru tidak bisa langsung diciptakan secara tiba-tiba. Maka transformasi perjalanan Indonesia masa lalu ke masa kini bahkan masa depan nantinya harus bersifat gradual dan bertahap. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebuah proses bersifat transisional, tidak mungkin bersifat absolut.

Jika kedua aspek tersebut belum menjawab, masih ada satu aspek lain yaitu budaya dan peradaban. Aspek ini adalah untuk mentransformasikan tatanan dari tatanan berdasarkan perjalanan sejarah menjadi tatanan yang kita harapkan. Menurut Agus hal tersebut memang tidak mudah, tetapi untuk mengubah budaya dan peradaban yang sudah tertanam sejak lama lebih sulit lagi, namun tergantung pada mindset. “Semua itu untuk menghadapi perkembangan lingkungan strategis internasional maupun nasional demi pencapaian kepentingan nasional,” tutur Agus.

Membahas wawasan nusantara, Agus menyampaikan bahwa wawasan nusantara adalah bagaimana peserta setelah menyelesaikan pendidikan dan menduduki suatu jabatan dapat memberikan peran dalam merumuskan kebijakan publik. Tiap kebijakan publik tidak boleh hanya fokus pada suatu jabatan atau wewenang. Namun, kebijakan yang dirumuskan dan diputuskan harus dipikirkan implikasinya untuk kepentingan publik dan bagi persatuan dan kesatuan NKRI, bukan hanya berimplikasi pada suatu jabatan.

“Pada akhirnya tugas pemimpin adalah mencapai tujuan bersama,” lanjut Agus. Namun, hasil sebuah kepemimpinan tidak hanya dinilai pada pemimpinnya, tapi dinilai dari pelaksanaan tugas pokok dan tidak ada tugas pokok yang bisa terlaksana tanpa melibatkan pengikut. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus bisa membuat pengikutnya menjadi lebih terampil dalam jabatannya serta efektif dan efisien dalam organisasi. Dapat dikatakan bahwa kriteria sukses pemimpin ada pada hal yang dihadapi oleh pemimpin.

 


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo memberikan materi “Sistem Keamanan Nasional” kepada Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 60 dan 61, Senin, 8 Juni 2020. Topik tersebut diangkat dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada para peserta PPRA 60 dan 61 tentang perkembangan sistem keamanan nasional di Indonesia.

“Sebuah sistem pasti punya rujukan dan dasar,” ujar Agus. Maka, menurut Agus ketahanan sebagai bagian dari sistem nasional harus merujuk kepada konstitusi. Agus melanjutkan bahwa jika bicara tentang keamanan, sebetulnya harus mengetahui keamanan apa yang dimaksud. Jika keamanan regional dan keamanan bersama, berarti sifatnya antarbangsa. Kemudian, keamanan nasional dibagi menjadi keamanan dalam negeri serta keamanan dan ketertiban masyarakat yang harus didasarkan pada hukum. “Kalau pendekatan hukum untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tidak bisa efektif maka situasi bisa berkembang menjadi gangguan keamanan dalam negeri,” tutur Agus.

Selanjutnya, Agus juga menjelaskan bahwa setelah perang dunia ke-2 mulai muncul pemikiran adanya nilai-nilai HAM sebagai nilai universal yang melahirkan keamanan insani. Keamanan insani sendiri sebenarnya bisa ditujukan dalam keamanan dalam negeri, tapi sifat lingkup insani lebih bersifat mengancam warga negara secara perseorangan terhadap keamanan itu sendiri. Agus juga menjelaskan mengenai implikasi peralihan dari sistem keamanan nasional menuju keamanan insani di mana pergeseran dari hak suatu negara untuk mengatur urusannya sendiri menjadi kewajiban suatu negara untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Titik berat keamanan juga bergeser dari keamanan pada lingkup negara menjadi keamanan pada tingkat individu warga.

“Di dalam berbicara tentang sistem keamanan, tidak bisa lepas dari hakikat hubungan sipil dan militer,” kata Agus melanjutkan. Agus menjelaskan bahwa sipil dan militer adalah tatanan di mana kebijakan dirumuskan oleh sipil dan dalam fungsi pertahanan pelaksanaan dilakukan oleh militer sebagai organisasi profesional. Hubungan sipil dan militer pada hakikatnya merupakan alur pembuatan dan pelaksanaan kebijakan fungsi pertahanan nasional dalam sistem politik. “Berawal dari perumusan kebijakan oleh otoritas politik sipil dan berakhir dengan pelaksanaan kebijakan oleh militer,” ujar Agus.

Pada penghujung materinya, Agus menyampaikan saran pembentukan Dewan Keamanan Nasional sebagai badan pembantu pengambilan keputusan presiden di tingkat pusat. Namun, badan tersebut tidak dimaksudkan untuk menggantikan kewenangan pemegang otoritas politik kekuasaan eksekutif. Dewan Keamanan Nasional disarankan diketuai oleh Presiden dan memiliki anggota tetap dan anggota tidak tetap. Anggota tetap diisi oleh Menteri Koordinator, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menteri Keuangan, Kepala Polisi RI, dan Panglima TNI. Sedangkan anggota tidak tetap diisi oleh anggota kabinet dan pejabat Lembaga Non Kementerian.


“Kita sejak awal tidak main-main dengan urusan Covid-19,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh. Mahfud MD saat memberikan ceramah kepada Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 60, Senin, 8 Juni 2020. Pada kesempatan tersebut Mahfud MD mengangkat topik “Kebijakan Keamanan Dalam Negeri di Tengah Pandemi Covid-19”.

 “Sekarang ini di dunia terjadi ketidakpastian akibat kompleksitas dan dinamika ancaman non konvensional, sangat multidimensi dan transnasional,” kata Mahfud MD menjelaskan mengenai dinamika lingkungan strategis tingkat global. Selain itu dinamika lingkungan strategis global juga terjadi infiltrasi ideologi asing yang terjadi dengan hidden strategy, soft strategy dan hard strategy, gesekan akibat menguatnya unilateralisme dan perang proxy, ancaman terorisme dan radikalisme, pandemi Covid-19, dan solidaritas antarnegara terkait dengan menghadapi situasi dan pembuatan vaksin.

Di sisi lain, pada dinamika lingkungan strategis tingkat regional terjadi provokasi kapal-kapal laut cina di sekitar off shore Malaysia, latihan navigasi laut internasional kapal perang Amerika dan Australia di Laut Cina Selatan, sengketa perbatasan, permasalahan Rohingya, migrasi lintas batas negara, penculikan dan perompakan, kejahatan transnasional seperti illegal fishing, narkoba, dan human trafficking, serta pelonggaran lockdown atau karantina wilayah.

“Kita menghadapi pencuri-pencuri ikan di laut kita, dan yang paling mencolok di Natuna Utara,” kata Mahfud MD menjelaskan mengenai illegal fishing di Laut Natuna Utara yang juga menjadi dinamika lingkungan strategis tingkat nasional. Selanjutnya ada juga dinamika kerawanan Pilkada serentak 2020 karena Pilkada serentak biasanya sering menimbulkan konflik-konflik dan benturan-benturan.

Menghadapi dinamika tersebut, pemerintah memiliki beberapa strategi yakni menyampaikan nota protes diplomatik kepada negara yang melakukan illegal fishing, kemudian menghadirkan nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara dan melalui patroli secara bergantian oleh TNI Angkatan Laut, Bakamla, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait supaya ada kehadiran negara. Strategi lainnya adalah menjaga situasi agar tetap kondusif, aman, dan terkendali dengan melakukan operasi penegakan hukum, bukan perang. Selanjutnya mengundur Pilkada serentak tahun 2020 menjadi Desember 2020 dan memperkuat fungsi dan peran BNPB, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, serta meningkatkan upaya bela negara.

“Tidak ada satu pun negara yang tidak gagap menghadapi Covid-19,” kata Mahfud MD. Pemerintah tidak pernah main-main dan lambat dalam bertindak, beberapa langkah yang diambil adalah menghentikan penerbangan Indonesia dan Cina 5 hari setelah pelaksanaan lockdown di Wuhan, menjemput dan mengkarantina WNI yang berada di Wuhan pada 1 Februari, membentuk RS khusus, dan melakukan penguatan di daerah-daerah melalui puskesmas dan poliklinik di seluruh Indonesia.

Awalnya, cepatnya penyebaran Covid-19 dikarenakan keterbatasan SDM dan laboratorium, keterbatasan alat kesehatan, keterbatasan alat kesehatan, serta kurang disiplin dan ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan. Oleh karena itu, setelah gugus tugas terbentuk banyak langkah yang diambil untuk mencegah penyebaran Covid-19. Beberapa langkah tersebut adalah sosialisasi protokol kesehatan seperti physical distancing, kewajiban memakai masker, menghindari kerumunan, mencuci tangan dengan sabun, dan larangan bepergian.

Pemerintah juga mengubah APBN 2020 sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 untuk diarahkan kepada penanganan dampak Covid-19, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi nasional. Kini Indonesia mulai memasuki masa adaptasi kebiasaan baru menuju fase masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. “Artinya masyarakat boleh lagi melakukan kegiatan-kegiatan seperti biasa, tetapi dengan protokol kesehatan,” tutur Mahfud MD.

 


“Di tengah pandemi Covid-19, Lemhannas RI terus menjalankan tugas dan peran sesuai dengan kewenangan konstitusional yaitu menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi kader pimpinan tingkat nasional,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo saat menjadi narasumber pada Sarasehan Kebangsaan Collab4Unity yang diselenggarakan oleh United in Diversity, Selasa, 2 Juni 2020.

Pada sarasehan yang mengangkat topik “Amplifikasi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Tameng Bangsa Menghadapi Tantangan dan Dampak Covid-19” tersebut, Agus menyampaikan bahwa Lemhannas RI melakukan inovasi dan improvisasi, yakni sepenuhnya melakukan pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring). Adapun materi, substansi, atau konten kurikulum, tetap berada pada alurnya dan sama dengan program pendidikan sebelumnya.

“Ketahanan nasional bukan merupakan disiplin ilmu sendiri, sebetulnya (ketahanan nasional, -red) merupakan outcome upaya dalam rangka pencapaian tujuan nasional,” tutur Agus. Ketahanan nasional adalah sebuah kondisi yang diperlukan agar bisa mengatasi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Dalam mewujudkan ketahanan nasional, dibutuhkan 2 pendekatan yaitu pendekatan gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan, dan pendekatan spasial geografis yakni gatra tiap-tiap provinsi.

Selanjutnya Agus menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan nasional diperlukan kebijakan yang berdasarkan pengetahuan dalam merumuskan kebijakan dan kompetensi dalam mengimplementasikan kebijakan. Selain itu, hal yang tidak kalah penting yang perlu disadari adalah bagaimanapun demokrasi memberikan kebebasan untuk berpendapat, semua pendapat harus didasarkan pada 4 Konsensus Dasar Bangsa. “Segala sesuatu kebebasan yang berasal di luar konsensus dasar, perlu kita curigai adalah upaya untuk mengubah konsensus dasar,” tutur Agus.

Kemudian Agus menjelaskan bahwa mengukur nilai-nilai Pancasila harus dari wujud konkret yang dapat diukur dari lapangan dan harus jujur dalam mengukur kondisi tersebut. Mencari wujud konkret nilai-nilai Pancasila untuk pengukuran juga berarti mencari indikator-indikator terukur yang harus memenuhi syarat, yakni harus konkret dan nyata, berdasar kerangka pengetahuan, menilai dengan jujur, dan terdapat nilai integratif antara teori dan kondisi nyata di lapangan. Menurut Agus, jangan mengukur nilai hanya dari nomenklatur yang sifatnya abstrak yang sifatnya idealis normatif. “Kemudian diperbandingkan antara kondisi ideal yang diinginkan dengan kondisi nyata di lapangan,” kata Agus. Dengan memperbandingkan dua kondisi tersebut bisa terlihat apakah implementasi dari sila-sila Pancasila dalam keadaan baik, cukup baik, kurang, atau keadaan lainnya.

Menurut Agus, ada beberapa kondisi ideal yang diharapkan. Kondisi pertama adalah terdapat kepercayaan yang kuat antara semua pemangku kepentingan terkait. Selanjutnya adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi warga negara, misalnya hak kebebasan berpendapat dengan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan keputusan pemerintah. Kemudian kebijakan pemerintah yang mudah dan jelas dimengerti masyarakat. Terakhir adalah dalam rangka kebijakan, yaitu keterkaitan antara kewenangan, data, dan ketentuan pelaksanaan.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749