Lingkungan strategis Indonesia, yang dikelilingi oleh negara-negara besar dengan kekuatan maritim dan kepemilikan nuklir menyebabkan saat ini Indonesia mempunyai lingkungan yang sulit (tough neighborhoood). Hal ini diungkapkan oleh Prof. Emeritus Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Ph.D. yang memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Angkatan Singkat (PPSA) 22 Lemhannas RI, Rabu (8/5).
Dorodjatun dengan menggunakan pendekatan demografi menjelaskan, Indonesia termasuk dalam lima negara berpenduduk terbesar tahun 2050 menurut proyeksi PBB bersama dengan India, China, Pakistan, dan Amerika Serikat. Dari keempat negara ini, semuanya mempunyai kedekatan geografis dengan Indonesia dan masing-masing mempunyai ancaman tersendiri.
“India dan Pakistan akan terus berhadapan. Dua-duanya adalah negara nuklir. Dan untuk pertama kalinya terjadi pertempuran udara, dalam keadaan siaga 1”, ungkap Dorodjatun. Sementara itu, China dan India, juga memiliki masalah perbatasan di sepanjang garis Himalaya, terutama yang berdekatan dengan provinsi Xinjiang. “India, China, dan Pakistan, tiga-tiganya merupakan negara nuklir”, kata Dorodjatun.
Dorodjatun yang menyampaikan ceramah dengan tema “Pengaruh Mutlak Fakta Geografi Kemaritiman Terhadap Perencanaan dan Kegiatan Perumusan Kebijakan Pembangunan Jangka-Panjang Indonesia di Tengah Era Globalisasi Abad Ke-21” juga mengungkapkan adanya potensi perang di laut (sea-based war) antara Amerika dan China. Meskipun Amerika secara geografis jauh dari Indonesia, tetapi Amerika memiliki pangkalan militer bersama Inggris di Diego Garcia, terletak di sebelah barat Pulau Sumatra. “China, juga membuka pangkalan militer baru di Djibouti, yang berada di tanduk Afrika. Untuk mengamankan akses lautnya di sana. Itulah kenapa kita berada di lingkungan strategis yang sulit”, jelasnya.
Jika melihat dari komposisi penduduk, beberapa negara mulai menua dan beberapa akan mengalami bonus demografi seperti Indonesia. “Singapura, Brunei, dan Thailand akan menua. Tetapi Filipina, Veitnam, dan Indonesia komposisinya muda. Yang menarik adalah China, prematur menua karena kebijakan satu anaknya”, ungkap Dorodjatun.
Indonesia yang berpotensi mendapatkan bonus demografi kini menghadapi tantangan fenomena jebakan penghasilan menengah (middle income trap) yang juga dialami China. Untuk keluar dari jebakan ini, perlu penanganan serius, terutama pembangunan SDM yang masih harus ditingkatkan. “Di Indonesia, umur 30 tahun ke atas yang memiliki pendidikan tersier masih kurang dari 10%. Kenapa ini menjadi persoalan? Generasi sekarang bertanggung jawab untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap”, kata Dorodjatun.