Politik Post-truth Berpotensi Ancam Stabilitas Keamanan

Politik post-truth atau politik pasca kebenaran yang menjadi fenomena demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir ini mempunyai potensi pada stabilitas keamanan nasional Indonesia. Demokrasi yang masih formal procedural, dibarengi dengan kemajuan teknologi informasi, terutama penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab menyumbang pada penguatan politik identitas dan terfragmentasinya masyarakat di era pasca kebenaran. Demikian beberapa poin yang mencuat dalam round table discussion (RTD) atau diskusi meja bundar yang diselenggarakan Direktorat Ideologi dan Politik Kedeputian Bidang Pengkajian Strategik Lemmhannas RI, Selasa (30/4), di Ruang Kreshna, Lantai 4 Gedung Astagatra, dengan tema “Mengatasi Risiko Politik Pasca Kebenaran (Post-Truth) guna Menjaga Stabilitas Keamanan Nasional dalam Rangka Ketahanan Nasional”.


Pengamat Komunikasi Politik dan Intelijen Keamanan Dr. Susaningtiyas Kertopati mengungkapkan fenomena post-truth lekat dengan politik, dan di Indonesia dengan masyarakat yang terpolarisasi dapat berekskalasi menjadi tindak kekerasan. “Di Indonesia, post-truth berkelindan dengan politik identitas, khususnya sentimen agama dan etnis. Hal ini berpotensi mengancam stabilitas keamanan nasional. Di tengah masyarakat yang terpolarisasi akibat dukungan politik dan politisasi SARA, dapat berekskalasi pada tindak kekerasan dan konflik,” jelas Susaningtiyas.


Sementara itu, Peneliti Senior LIPI Prof. Siti Zuhro, M.A., Ph.D menyatakan bahwa dalam melihat fenomena post-truth ini, perlu ditilik juga sistem dan praktik demokrasi yang kini diterapkan di Indonesia. “Demokrasi Indonesia, yang bersifat prosedural, belum substantif, dengan sistem partisipatoris dan sistem multipartai memberikan dampak pada fragmentasi kekuatan-kekuatan politik, termasuk fragmentasi di masyarakat. Jika ini tidak dikelola dengan bagus, ini akan jadi boomerang,” kata Siti. Menurutnya fragmentasi ini dipengaruhi juga dengan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi.

 
Narasumber yang mewakili Menter Komunikasi dan Informasi, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Prof. Dr. Henry Subiakto mengungkapkan, era post-truth diwarnai dengan adanya banjir informasi karena sekarang ini setiap individu dengan ponsel pintarnya mampu menyebarkan informasi laiknya jurnalis. “Setiap orang kini bisa menjadi jurnalis, menjadi produsen konten di media sosial walaupun tidak diakui (secara formal) seperti media mainstream. Termasuk mereka yang mempunyai niat jahat, yang tidak punya rasa tanggung. Dan ini yang menjadi masalah”, jelasnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Tenaga Profesional Bidang Politik dan Ideologi Lemhannas RI Kisnu Haryo, S.H., M.A., moderator diskusi ini, yang menyatakan informasi di media sosial pada era post-truth, beredar tanpa check dan recheck. “Informasi yang beredar bersifat individual, banyak yang diigunakan untuk membangun opini publik dengan menekankan pada tumbuhnya emosi public”, imbuh Kisnu.

 
RTD yang dimulai dengan pemaparan hasil temuan awal tim penyusun kajian oleh Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Kepemimpinan Lemhannas RI Mayjen TNI Juwondo, juga dihadiri oleh Wakil Gubernur Lemhannas RI Marsdya TNI Wieko Syofyan, Plt. Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas RI Irjen Basuki, perwakilan peserta PPSA 22, dan beberapa tenaga profesional, tenaga ahli pengkaji, dan tenaga ahli pengajar Lemhannas RI



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749