Sebanyak 365 personil Lemhannas RI, 77 Peserta PPSA 22, dan 99 Peserta PPRA 59 mengikuti Jam Pimpinan dalam rangka Peringatan HUT ke-54 Lemhannas RI bertempat di Auditorium Gadjah Mada Gedung Panca Gatra Lantai III Lemhannas RI, Senin (13/5). Jam Pimpinan tersebut langsung dipimpin oleh Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo.


“Hari ulang tahun suatu lembaga senantiasa merupakan tonggak inventarisasi kinerja jajaran sebuah lembaga” ungkap Agus. Oleh sebab itu jam pimpinan kali ini bertujuan dalam rangka mengadakan inventarisasi kinerja jajaran Lemhannas RI. Selanjutnya Agus menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi saat ini adalah administrasi negara harus berjalan semakin tertib, agar pemerintah dapat semakin efisien dalam melayani rakyat.


Pada jam pimpinan kali ini Agus menyampaikan apresiasi juga evaluasi atas hal-hal yang sudah dicapai oleh semua bidang dan kedeputian serta memberikan arahan atas hal-hal yang direncanakan di masa depan. “Kita tidak boleh lengah, kita tetap harus bekerja keras untuk masa-masa yang akan datang. Minimal memelihara kinerja dan meningkatkan kinerja Lemhannas RI di masa depan” tegas Agus.


Tidak lupa Agus juga menyampaikan pesan kepada Perista agar tetap memelihara inisiatif dalam mengadakan kegiatan sosial serta menejemen pengetahuan mengenai kehidupan keluarga. Agus juga menghimbau bahwa anggota Perista bukan hanya pengurus saja, serta setiap kegiatan ditujukan bagi seluruh anggota Perista.


Mencermati keadaan sekarang ini Agus berharap bahwa seluruh warga Lemhannas dapat menjadi agen pemersatu dan pemulihan persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan sifat musyawarah dan gotong royong yang tinggi, jangan sampai bangsa Indonesia menjadi mudah terpecah belah karena suatu perbedaan.


Agus Widjojo menutup jam pimpinan kali ini dengan berterima kasih kepada segenap warga Lemhannas RI yang sudah menjalankan hak politik sebagai warga negara pada Pemilihan Umum 2019. Serta dapat menghargai perbedaan pilihan antar perseorangan dan tetap menjaga kehormatan Lemhannas RI sebagai lembaga independen dan profesional.


Diaspora Indonesia di era globalisasi ini bukan lagi dianggap sebagai hal yang negatif, tetapi justru menjadi aset. WNI yang kini tersebar di berbagai penjuru dunia tidak hanya padat modal, tetapi juga berpendidikan tinggi dan kaya inovasi. Demikian disampaikan Dino Patti Djalal ketika menjadi pembicara di kelas PPRA 59 Lemhannas RI, Kamis (9/5), di ruang NKRI, Gedung Panca Gatra lantai 3.


“Poinnya adalah di era globalisasi ini, diaspora bukan lagi dianggap sebagai beban, tapi menjadi suatu aset”, kata Dino. Selain mempunyai modal kapital, berpendidikan tinggi, dan padat inovasi, para diaspora juga memiliki nasionalisme tinggi, kekuatan jaringan bagus, berprestasi, dan mempunyai idealisme. “Sebagai contoh, pendapatan rata-rata diaspora Indonesia di Amerika itu hampir $ 60.000/ tahun, $10.000 lebih besar dari pendapatan rata-rata penduduk AS secara umum” sambung Dino. “Dan 60% Diaspora Indonesia di AS, usia 25 tahun keatas memiliki gelar S1, S2, dan S3 dan ini lebih tinggi dari persentase orang Amerika sendiri yang memiliki gelar yang sama yaitu sekitar 25%” tambah Dino.


Ceramah Dino yang bertema “Diaspora dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia”juga menjelaskan tentang bagaimana pengelolaan diaspora sebelum dan sesudah diselenggarakannya kongres diaspora yang dia gagas pada tahun 2012. “Kebijakan (pengelolaan diaspora) sebelum 2012, sebelum adanya kongres diaspora itu tidak ada diaspora policy, dan istilah diaspora juga tidak diakui dan digunakan, juga cenderung legalistik dan WNI fokus, dan pendekatannya juga cenderung TKI focus”, jelas Dino.


Diaspora Indonesia sendiri, dengan jumlah yang cukup besar, tersebar di 18 negara antara lain, di Malaysia, Singapura, Australia, China, Suriname, Madagaskar, Amerika Serikat, Belanda, Timor-Leste, Qatar, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Jerman, Korea Selatan, Afrika Selatan, Kaledonia Baru, Hongkong dan Taiwan. Jumlahnya untuk WNI tercatat 4.7 juta orang di perwakilan RI, sementara itu menurut Dino jumlah sebenarnya bisa mencapai 6 jutaan, karena sistem pencatatannya masih belum rapi. Bila dijumlahkan dengan WNA generasi satu dan generasi dua, jumlah diaspora Indonesia jumlahnya masih belum terhimpun, karena di KBRI belum ada sistem pencatatan terhadap WNI yang menjadi WNA.


“Ketahanan keluarga merupakan fondasi ketahanan nasional karena keluarga sebagai sistem mikro, mempengaruhi sistem yang lebih besar yang ada dalam masyarakat. Guru Besar Ketahanan Dan Pemberdayaan Keluarga IPB Prof. DR. Euis Sunarti, M.Si menyatakan keluarga sebagai unit sosial terkecil adalah penentu kualitas hidup. “Kualitas hidup keluarga mencerminkan kualitas hidup bangsa. Hal tersebut juga sejalan dengan ketahanan di keluarga mencerminkan ketahanan nasional”, ungkapnya.


“Ketahanan keluarga diimplementasikan seberapa keluarga memenuhi peran dan tugasnya” tegas Euis ketika menjadi narasumber Round Table Discussion (RTD) Direktorat Pengkajian Sosial Budaya dan Demografi Lemhannas RI dengan tema “Revitalisasi Fungsi Utama Keluarga Guna Mewujudkan Ketahanan Nasional”, Kamis (09/5), di Ruang Kresna, Gedung Astagatra Lantai 4.


Pembagian peran, fungsi, dan tugas masing-masing anggota keluarga sangat penting bagi ketahanan keluarga. Lebih lanjut Euis menjelaskan bahwa dibutuhkan kebijakan makro yang dapat membuat keluarga menjalankan peran, fungsi, dan tugas dengan tepat. Namun sekuat apapun pemerintah tidak mungkin sendirian dalam menghadapi masalah-masalah yang menghambat terciptanya keluarga yang sejahtera. “Sangat penting mencurahkan perhatian terhadap pembangunan keluarga di Indonesia terkait dengan berbagai hal terutama persoalan-personalan di era global ini”, kata Euis.


Keluarga sebagai sistem mikro seharusnya mempengaruhi sistem lingkungan dan sosial. Tetapi sangat disayangkan bahwa dalam prakteknya yang terjadi adalah sebaliknya. Idealnya yang terjadi adalah keluarga menanamkan nilai-nilai seperti cinta kasih, respek dan komitmen yang mampu menghasilkan lingkungan dengan hubungan sosial yang harmonis. Selanjutnya hubungan sosial yang harmonis akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, setelah itu diharapkan akan terbentuknya ketertiban dan kesejahteraan sosial. Namun pada kenyataannya adalah keluarga mudah terpengaruh dengan lingkungan dan terpapar hal-hal yang dapat mengganggu bahkan hal-hal yang bias berdampak secara langsung.


Senada hal tersebut, Sekretaris Utama Badan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nofrijal, S.P., M.A. menjelaskan bahwa keluarga merupakan pilar pertama dan utama dalam membangun bangsa dan merupakan unit terkecil yang menentukan bangsa. Oleh sebab itu peran keluarga sangat penting bagi Bangsa Indonesia. Lebih lanjut Nofrizal menjelaskan bahwa keluarga memiliki peran untuk asah, asih, dan asuh serta merupakan tempat pembentukan karakter. “Keluarga merupakan tumpuan untuk menumbuh kembangkan dan menyalurkan potensi setiap anggota keluarga” ujar Nofrizal.


Pembangunan keluarga dan ketahanan keluarga dicantumkan baik pada kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten kota. Dengan tiap tingkatnya memiliki tatanan yang berbeda. Pemerintah pusat mengatur kebijakan dan regulasi, sedangkan pemerintah provinsi terfokus pada singkronisasi dan pengembangan, selanjutnya di kabupaten kota melakukan implementasi kebijakan.


Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategik Lemhannas RI menyelenggarakan focus group discussion (FGD) kajian quick response, Rabu (8/5), di Ruang Kreshna Gedung Astagatra yang membahas tentang pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di provinsi Papua dan Papua Barat. Sejumlah narasumber hadir dalam diskusi ini diantaranya adalah Plt. Direktur Kawasan Perkotaan dan Batas Negara Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Thomas Umbu Pati, M.Si, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Periode 2011-2014 Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono, dan Pakar Kajian Papua Drs. Simon Patrice Morin.


Simon Patrice Morin mengungkapkan, dana otsus yang signifikan nampaknya tidak serta merta mendongkrak kesejahteraan orang asli Papua ke tingkat yang memuaskan. “Masih banyak kendala yang dihadapi antara lain masalah perencanaan yang belum tepat sasaran, masalah pelaksanaan dengan managemen pemerintahan daerah yang belum optimal, masalah sistem pengawasan yang transparan dan efektif terhadap penggunaan dana otsus mulai dari pusat sampai ke daerah tidak optimal, serta kurangnya pemahaman apparat pemerintah daerah dan bahkan pemerintah nasional terhadap tujuan pembuatan undang undang sehingga kurang adanya singkronisasi dalam penyusunan program untuk menyejahterakan rakyat”, jelas Simon.

 

Simon juga menyampaikan berhasil atau gagalnya pelaksanaan otsus, menurutnya itu tergantung persepsi. “Soal otsus gagal atau berhasil menyangkut soal rasa dan persepsi. Namun patut diakui bahwa sejak diberlakukannya otsus, telah terjadi banyak perubahan di Tanah Papua terutama pembangunan fisik infrastuktur pemerintahan yang memungkinkan berbagai daerah yang tadinya kurang dikenal menjadi dikenal”, ungkapnya.

 

Thomas Umbu, mewakili pemerintah menjelaskan derivasi Undang-Undang 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang masih sepenuhnya terlaksana. “Tugas kemendagri adalah menderivasi UU 21 ini, tentang perdasus (perda khusus) dan persasi (perda provinsi) yang masih banyak tunggakan yang kita harapkan Komisi Hukum Adhoc di Papua itu bekerja dengan baik, tetapi sampai saat ini belum terbentuk. Di Papua sendiri ada 9 perdasus yang sudah ditetapkan, dan ada 4 yang belum, 3 perdasi yang sudah ditetapkan, 5 belum”, jelas Thomas. Menurut Thomas, perlu segera dilakukan percepatan untuk menetapkan perdasus dan perdasi yang belum, serta melakukan evaluasi efektivitas dan efisiensi perdasus dan perdasi yang telah berjalan.


Sementara itu, Bambang Darmono yang pernah menjabat sebagai kepala UP4B melihat pelaksanaan otsus dari segi keamanan, Menurutnya yang perlu untuk dievaluasi adalah masalah keamanan. Kondisi keamanan menjadi penghalang kecepatan pelaksanaan percepatan pembangunan. “Tata kelola sistem pemerintahan tidak akan berjalan manakala keamanan tidak dapat mendukungnya”, ujar Bambang.

 

Kasus-kasus yang terjadi memberi petunjuk bahwa dalam kondisi tertentu ancaman telah mengarah kepada keamanan negara yang berdemensi kedaulatan. Public services, development dan empowerment yang harus menjadi output dari mekanisme kerja sistim pemerintahan realitanya juga terkendala oleh faktor keamanan. “Pendekatan kesejahteraan yang menjadi dasar pijakan UU Nomor 21 tahun 2001 tidak boleh menafikkan penegakan keamanan apalagi penegakan kedaulatan. Keluwesan politik harus dibuka dalam hal ini. Untuk ini, diperlukan evaluasi obyektif terkait masalah penanganan masalah keamanan”, ungkap Bambang.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749