Menuju Seminar Nasional, PPRA 62 Lemhannas RI Selenggarakan FGD I

Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 melaksanakan Focus Group Disscussion (FGD) I sebagai rangkaian Seminar Nasional PPRA 62 Lemhannas RI yang mengangkat tema “Modal Budaya untuk Mendorong Pemulihan Perekonomian Nasional”, Jumat (28/05). FGD I tersebut dihadiri empat pembicara secara virtual, yakni Guru Besar Ekonomi SDA dan Lingkungan IPB Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc., Rektor AMIKOM Yogyakarta Prof. Dr. M. Suyanto M.M, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB) Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr., dan Pengelola Desa Wisata Nglangeran Sugeng Handoko.

“FGD ini dimaksudkan untuk memutakhirkan data dalam persiapan sampai pada seminar akhir nantinya di bulan Agustus,” kata Ketua Seminar Nasional Lemhannas RI PPRA 62 Kolonel Pnb Aldrin P Mongan, S.T., M.Hum., M.Han. dalam sambutannya. Lebih lanjut Aldrin menyampaikan bahwa seluruh peserta PPRA 62 berharap FGD I tersebut dapat mencapai tujuan objektif guna mempersiapkan Seminar Nasional sebagai acara utama. “Kami sangat berharap FGD ini bisa mencapai goal objectivenya untuk mempersiapkan substantif berikutnya pada FGD II, Round Table Discussion (RTD), dan sampai kepada main seminarnya,” ujar Aldrin.

Pada kesempatan tersebut, Aldrin mewakili seluruh peserta PPRA 62 mengucapkan terima kasih atas dukungan Lemhannas RI, khususnya Kedeputian Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional, dan seluruh pembicara. Diharapkan Seminar Nasional nantinya dapat digunakan untuk kemajuan seluruh peserta, Lemhannas RI, serta bangsa dan negara.

“Keberhasilan pelaksanaan kegiatan seminar bagi peserta PPRA 62 pada hakikatnya  menjadi  indikator kemampuan para peserta sekalian, dalam menyerap dan memahami berbagai materi selama mengikuti pendidikan di Lemhannas RI,” kata Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. Menurut Sugeng, para peserta telah menghasilkan konsep naskah yang pantas dikedepankan dan merupakan suatu pemikiran yang strategis bernuansa faktual, implementatif, dan komprehensif integral.

Sugeng menyampaikan bahwa dalam merumuskan sebuah gagasan, tantangan terbesar adalah bagaimana penulisan yang dihasilkan dapat sampai pada temuan yang konkret dan dapat dilaksanakan sebagai hasil analisis pengolahan data faktual secara kritis. “Apabila seminar dapat menghasilkan temuan seperti itu, maka seminar telah memberi sumbangan yang berarti bagi pemecahan masalah dalam masyarakat,” kata Sugeng.

Produk dari naskah awal Seminar Nasional PPRA 62 diharapkan akan memberi warna tersendiri pada karya peserta PPRA 62 Tahun 2021 Lemhannas RI sehingga pantas disejajarkan dengan hasil karya peserta program reguler angkatan sebelumnya. “Harapan saya terhadap Focus Group Discussion (FGD) ini, agar peserta mendapatkan saran dan masukan dari para narasumber, sehingga kualitas naskah Seminar Nasional PPRA 62 Lemhannas RI yang dihasilkan dapat mendekati hasil yang sempurna,” lanjut Sugeng.

Memasuki sesi pemaparan oleh narasumber, FGD tersebut dimoderatori Dr. (C). Hj. Masrura Ram Idjal., S.E., M.Sc. selaku Ketua Tim Perumus Materi. “Kekuatan modal sosial dan budaya dalam kelompok masyarakat Indonesia sudah ada sejak lama dan ini menjadi sebuah kekuatan bagi masyarakat kita untuk bertahan dalam kondisi sulit seperti saat ini,” kata Masrura.

“Memahami dan mempelajari modal sosial harus diikuti dengan memahami dan mempelajari modal budaya karena adanya interdepensi yang kuat di antara keduanya,” ujar Masrura. Lebih lanjut Masrura menyampaikan hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang bahwa dimensi kebudayaan dilihat sebagai hasil ciptaan dan penjabaran manusia yang tidak kasat mata dan terlihat karena muncul dari perilaku, interaksi dengan sesama, yang kemudian menjadi sebuah tradisi budaya.

Sebelum menjelaskan lebih dalam, Masrura menjabarkan modal budaya yang disampaikan oleh Bourdieu, yakni modal budaya yang terkandung, modal budaya bentuk objektif, dan modal budaya lembaga. Pertama, modal budaya yang terkandung adalah yang berupa pengetahuan yang didapatkan dan diwariskan atau yang dikembangkan secara turun temurun. Kedua, modal budaya bentuk objektif yaitu modal berupa budaya bentuk properti atau karya seni, instrumen ilmiah, formula, atau resep yang dapat ditransfer menjadi sebuah keuntungan ekonomi bagi pemilik modal budaya tersebut. Ketiga, modal budaya lembaga yakni bentuk institusional berupa pengakuan dari lembaga formal terhadap modal budaya individu yang berwujud.

Seminar Nasional yang akan diselenggarakan, direncanakan menggali berbagai macam permasalahan dengan kekuatan sosial budaya dikelompok masyarakat Indonesia. Ranah dari modal budaya yang akan digali lebih dalam adalah barang bersifat simbolik untuk diproduksi. “Dalam kondisi keterpurukan perekonomian Indonesia saat ini kita perlukan game changer untuk menjadi alat bagi pendorong pemulihan ekonomi,” kata Masrura. Oleh karena itu, diharapkan seminar yang akan dilaksanakan nanti akan memberikan masukan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam menggerakkan roda perekonomian untuk memulihkan perekonomian nasional.

“Dulu orang menganggap budaya sebagai budaya semata, ilmu sosial. Tapi sebetulnya di dalam ranah ekonomi kita sudah banyak mengenal apa yang disebut dengan culture economics,” kata Guru Besar Ekonomi SDA dan Lingkungan IPB Prof. Dr. Akhmad Fauzi M.Sc. mengawali materinya. Kemudian muncul paradigma baru yang menguatkan peran budaya dalam pembangunan ekonomi melalui New Cultural Economics (NCE) yang dipelopori Knack dan Keefer.

Lebih lanjut Akhmad menjelaskan mengenai transmisi dari budaya ke performa ekonomi. Akhmad menjelaskan bahwa awalnya berangkat dari budaya kepada trust (rasa percaya) kemudian melalui mekanisme transaksi menjadi performa ekonomi. Trust kemudian berpengaruh pada society’s value, prior belief, dan political preference. Studi terkini yang dilakukan berbagai ekonom menunjukkan bahwa trust akan berpengaruh para society’s value yang berpengaruh pada tabungan dan konsumsi. Trust juga akan meningkatkan transaksi. Semakin tinggi trust pada masyarakat maka kemungkinan transaksi akan semakin tinggi. Pemilihan keputusan yang akan dilakukan oleh masyarakat juga akan sangat dipengaruhi prior belief yang juga dipengaruhi oleh trust. Sejalan dengan society’s value dan prior belief, political preference yang juga dipengaruhi oleh trust, akan berpengaruh pada regulasi dan distribusi.

Pada kesempatan tersebut, Akhmad juga menyampaikan strategi peningkatan nilai tambah dalam budaya. Strategi pertama yang dapat dilakukan adalah pengembangan multifungsi sektor unggulan. “Bukan hanya stand alone dalam satu sektor, tapi bagaimana menjadi multifungsi,” kata Akhmad. Kemudian strategi-strategi selanjutnya adalah melakukan kombinasi, menjadikan budaya itu menjadi legenda, melibatkan aktor kunci, dan menjadikan investasi berkelanjutan.

Pemaparan materi selanjutnya disampaikan oleh Rektor Amikom Yogyakarta Prof. Dr. M. Suyanto, M.M. “Budaya luar biasa menghasilkan ekonomi,” ujar Suyanto. Lebih lanjut Suyanto menyampaikan value creation platform terdiri dari dua jalur, yakni design, production, branding, dan channeling serta culture dan ideation. Menurut Suyanto, budaya bisa menjadi cerita bahkan menjadi emasnya Indonesia. Bahkan dalam 2019 Top 20 International VOC Office Markets Indonesia menduduki peringkat 16, berada di atas Malaysia dan Hongkong. “Di era pandemi ini digital muncul luar biasa dan inilah saatnya para pemuda itu justru saat ini itu bukan malah jatuh malah meningkat penghasilannya kalau bisnisnya di bidang digital,” tutur Suyanto.

Materi selanjutnya mengenai modal sosial disampaikan oleh Kepala LPPM IPB Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ia menyampaikan bahwa secara umum ada 4 kelompok besar modal pembangunan, yakni dimensi SDA dan lingkungan hidup (natural capital), dimensi SDM (human capital), dimensi sumber daya fisik (man-made capital), dan dimensi kelembagaan/sumber daya sosial (institutional/social capital). Modal budaya sendiri termasuk dalam dimensi kelembagaan/sumber daya sosial (institutional/social capital). Aspek kelembagaan/sumber daya sosial (institutional/social capital) terkait dengan tata hubungan antarmasyarakat sehingga dalam hubungan-hubungan masyarakat dapat mengambil keputusan bersama.

“Modal sosial itu adalah modal yang tumbuh dari adanya interaksi,” kata Ernan. Selanjutnya Ernan menyampaikan bahwa studi yang pernah dilakukannya menunjukkan bahwa modal sosial berpengaruh sangat baik terhadap pencegah kemiskinan. Bahkan pada masa pandemi Covid-19, modal sosial ikut mencegah terjadinya orang semakin jatuh miskin. Modal sosial memang tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi berasosiasi dengan faktor-faktor lain sehingga berpengaruh secara tidak langsung.

Menurut Ernan, bangsa yang maju biasanya dicirikan oleh kelembagaan/organisasi yang teratur dan tertib atau dapat dikatakan memiliki modal sosial yang baik. “Modal sosial adalah unsur terpenting dalam membentuk kelembagaan yang kuat,” tutur Ernan. Unsur modal sosial sendiri meliputi trust, norma, dan jaringan yang perlu diinvestasikan.  Investasi membangun trust, norma, dan jaringan dapat dilakukan melalui pendidikan, pemerataan, kesetaraan, transparansi, keadilan, dan penegakan hukum.

“Pariwisata menjadi tambahan penghasilan dari kegiatan pekerjaan utama,” kata Pengelola Desa Wisata Nglanggeran Sugeng Handoko, S.T.  Ia menyampaikan bahwa secara internasional, sektor ekonomi pariwisata didominasi oleh usaha kecil penyedia barang dan jasa kepada pelanggan wisatawan yang berkunjung. Pariwisata berbasis komunitas adalah salah satu bentuk dari pariwisata yang berupaya memberdayakan masyarakat untuk mengelola pertumbuhan pariwisata dan mencapai aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Menurut Sugeng, pariwisata berbasis komunitas membutuhkan kerja sama dan kemitraan antarkelompok masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan kesejahteraan kolektif. Oleh karena itu, modal sosial menjadi kekuatan yang besar dan modal sosial Desa Wisata Nglanggeran dapat dikatakan cukup baik.

Dalam proses pengembangan Desa Nglanggeran menjadi desa wisata, ada tiga tahapan yang dijalani, yakni mengenali potensi yang dimiliki, mengelola SDM, serta melakukan komunikasi keluar, membangun kemitraan, dan membangun identitas digital. Lebih lanjut, Sugeng menyampaikan bahwa dalam pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat harus sesuai dengan potensi unggulan dan ketertarikan masyarakat yang dimulai dengan penyadaran pola pikir, dilanjutkan dengan pengkapasitasan, dan diakhiri dengan pendayaan masyarakat. “Modal sosial yang sudah kondusif juga perlu ada intervensi pendampingan sehingga menjadi sebuah program yang bisa menggerakkan desa atau kawasan,” ujar Sugeng.

Saat pandemi Covid-19 datang, ada kesadaran bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang rentan, namun masyarakat desa memiliki kekuatan yang baik karena budaya lokal yang saling menguatkan.  Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Sugeng mengusulkan untuk menarik dan mengadopsi modal budaya desa menjadi program pengungkit ekonomi nasional dengan membangun karakter masyarakat melalui edukasi, regulasi, memberikan contoh baik, serta menyusun dan mengembangkan program dengan menyesuaikan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah. “Masa depan Indonesia ada di desa, perlu penguatan dan pengembangan desa berbasis karakter lokal masing-masing desa sebagai daya saing,” tutur Sugeng.

 



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749