FGD Posisi Haluan Negara dalam Sistem Presidensial

“Lemhannas RI memandang perlu untuk melakukan kajian,” ujar Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Strategi Lemhannas RI Marsma TNI Dr. Agus Purwo W., S.E., M.M., M.A. dalam paparan tim penyusun pada Focus Group Discussion (FGD) Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategis dengan tema “Menentukan Posisi Haluan Negara dalam Sistem Presidensial guna Keberlanjutan Pembangunan Nasional” bertempat di Ruang Gatot Kaca, Senin (20/1).

Agus menjelaskan bahwa adanya amandemen UUD 1945 yang mengubah TAP MPR, membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang - Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Sebagian kalangan memandang perlunya ada haluan negara dengan beberapa alasan, di antaranya adalah dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, perlu untuk mengontrol capaian, dan perlu untuk rencana pembangunan nasional yang menyeluruh. Namun, pada lain pihak juga ada anggapan perencanaan pembangunan cukup diatur dengan SPPN dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPN/RPJMN) serta pendapat bahwa GBHN hanya untuk pertahankan kekuasaan.

Ketua MPR RI Ir. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A. menyampaikan bahwa baik MPR masa jabatan 2009-2014 maupun MPR masa jabatan 2014-2019 sudah melakukan serangkaian diskusi dengan berbagai kalangan, termasuk di dalamnya tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi. Dalam diskusi tersebut, kalangan yang terlibat pada umumnya sependapat bahwa haluan negara diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, serta integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah dalam rangka mencapai cita-cita bernegara. “Perdebatan barulah muncul ketika pembahasan mulai memasuki bentuk hukum apa yang paling tepat,” jelas Bambang Soesatyo.

“Dalam menyikapi polemik menghadirkan kembali GBHN, posisi MPR masa jabatan 2019-2024 akan melakukan kajian yang lebih cermat dan mendalam terhadap substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara,” lanjut Bambang Soesatyo. Kemudian Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa hadirnya Pokok-Pokok Haluan Negara tidak akan mengurangi ruang kreativitas bagi Presiden untuk menerjemahkan program-program pembangunan. Bahkan Pokok-Pokok Haluan Negara akan menjadi payung yang bersifat politik bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis, sehingga kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara tidak akan bertentangan dengan sistem presidensial yang telah disepakati bersama.

Selanjutnya Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa setelah MPR berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara, barulah dapat dimusyawarahkan bentuk hukum yang paling tepat untuk dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara. Menurut Bambang Soesatyo, tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara akan menjadi sia-sia. “Bagaimana bisa didiskusikan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum belum tercipta. Yang pasti, jalan menuju perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah,” kata Bambang Soesatyo.

“Harapan tinggi tentang perlunya GBHN, tapi ada kekhawatiran terhadap adanya bentuk yang mungkin tidak sejalan dengan demokrasi,” ungkap Deputi Bidang Ekonomi Bappenas RI Ir. Bambang Prijambodo, M.A. Lebih lanjut Bambang Prijambodo menyatakan jika GBHN bagus tapi tidak didukung dengan institusi dan kepemimpinan yang kuat, hanya akan menjadi hiasan di atas kertas saja.

“Permasalahan bukanlah pada haluan negara, permasalahan ada di RPJP,” kata Bambang Prijambodo. Lebih lanjut Bambang Prijambodo menjelaskan bahwa saat ini struktur ekonomi kurang begitu baik karena situasi global yang bergerak cepat. Menurut Bambang Prijambodo, pada era Presiden Soeharto GBHN menjadi payung Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian ke depannya kemungkinan GBHN akan terpisah dari RPJP dan RPJMN karena tidak dikendalikan satu tangan.

Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M menyampaikan pertanyaannya mengenai produk hukum GBHN. Menurut Refly jika produk hukumnya adalah Undang-Undang maka tidak menjadi perdebatan, karena meski diajukan MPR, tetap MPR tidak bisa memaksa Presiden dan DPR. Namun, jika bentuknya adalah TAP MPR maka hierarkinya di atas UU dan di bawah UUD. Kemudian akan muncul pertanyaan bagaimana mengulasnya. Oleh karena itu, MK yang menjaga konstitusi dan memiliki yuridiksi jika produk hukumnya berbentuk TAP MPR.

“Apa alternatif selain GBHN? Sudah dikatakan oleh Ketua MPR yaitu PPHN,” kata Refly. Menurut Refly jika bicara mengenai alternatif GBHN berarti bicara ke status atau produk hukumnya, bukan namanya.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749