Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menyelenggarakan diskusi ilmiah “Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Metode Kalkulasi Penyerapan Karbon pada Tanaman Kelapa Sawit” hari kedua pada Jumat (16/2), di Ruang Kresna, Lemhannas RI. Diskusi tersebut merupakan lanjutan dari diskusi ilmiah yang dilaksanakan satu hari sebelumnya.
“Kegiatan diskusi ilmiah hari ini betul-betul sangat penting untuk masa depan lingkungan, karena mengingat topik yang akan kita bahas memiliki implikasi besar terhadap perubahan iklim,” kata Plt. Gubernur Lemhannas RI Laksdya TNI Maman Firmansyah dalam sambutannya. Diskusi ilmiah yang berlangsung dua hari tersebut fokus pada emisi di lahan gambut, land use changed (LUC), sekuestrasi karbon reduksi emisi gas rumah kaca dalam proses operasional, dan metodologi serta sertifikasi pengurangan karbon pada sektor lahan.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat telah menyaksikan dampak langsung dari perubahan iklim dan peningkatan emisi gas rumah kaca yang menjadi perhatian utama dunia. Reduksi emisi gas rumah kaca dalam proses operasional menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.
Oleh karena itu, penekanan pada metode yang efisien dan berkelanjutan dalam operasional perkebunan kelapa sawit akan memiliki dampak besar terhadap keseluruhan upaya mitigasi perubahan iklim. Dalam konteks ini, metodologi dan sertifikasi pengurangan karbon di sektor lahan menjadi bagian krusial yang perlu diperbincangkan secara mendalam.
Acara yang difasilitatori oleh Asisten Staf Khusus Presiden Sekretaris Kabinet RI Prof. Dr. Telisa Aulia Valianti S.E., M.E. menghadirkan beberapa narasumber. Salah satu narasumber yang hadir, Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr Ir Budi Mulyanto, M.Sc. membahas paparan yang berjudul “Land Use Change And Carbon Sequestration: Tantangan Dalam Pembangunan Nasional Berkelanjutan”.
Budi Mulyanto menyampaikan bahwa jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dan diprediksikan terus meningkat. Hal tersebut menjadi faktor pendorong perlunya pembangunan.
Sejalan dengan penduduk yang terus meningkat, maka kebutuhan hidup juga dipastikan akan terus meningkat dan yang paling utama adalah pangan. “Membangun pertanian berdaulat itu utama. Isu penting yang mau saya angkat bahwa pembangunan itu diperlukan terus menerus oleh bangsa ini karena penduduknya terus naik,” ujar Budi Mulyanto.
Dalam pembangunan, kita menggunakan tanah atau lahan yang sejatinya adalah permukaan bumi sebagai matriks dasar kehidupan sebagai tapak kegiatan (penggunaan lahan (land use)). Pada saat melakukan pembangunan, akan ada fungsi-fungsi lahan yang mengalami perubahan. Untuk itu, perlu adanya pembangunan berkelanjutan yang menyejahterakan masyarakat dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan (Relative Sustainable Development).
Tentang land use perkebunan sawit, umumnya usaha perkebunannya berbasis lahan. Bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan, masyarakat telah membuka perkebunan sejak lama. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, peraturan terus dibuat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun, dalam pelaksanaan peraturan saat ini, terutama yang berkaitan dengan lahan, masih ada banyak masalah. Salah satunya adalah tanah kebun yang dianggap sebagai kawasan hutan. Problem-problem ini memengaruhi penilaian integritas produk sawit dalam perdagangan internasional, seperti masalah yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan, deforestasi, karhutla, emisi karbon, European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR), dan lainnya. Industri sawit bangsa berkontribusi besar pada pertumbuhan sosial ekonomi bangsa dalam situasi ini.
Lebih lanjut, Budi Mulyanto menyampaikan empat tantangan industri sawit ke depan yang berhubungan dengan karbon, yakni ketidakpastian ekonomi global, geopolitik global, EUDR dan new proteksionisme serta perubahan iklim dan kegagalan mitigasi. Kemudian, Budi Mulyanto menyimpulkan bahwa pembangunan nasional, khususnya pertanian, membutuhkan lebih banyak lahan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan makanan, energi, bahan industri, dan lapangan kerja serta pembangunan menyebabkan perubahan penggunaan lahan, yang secara tidak terhindarkan mempengaruhi fungsi-fungsi lahan, termasuk emisi karbon (carbon emission) dan rosot karbon (carbon sequestration).
Narasumber selanjutnya, Peneliti Senior pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN RI I Wayan Susi Dharmawan menyampaikan materinya yang berjudul “Metodologi dan Sertifikasi Pengurangan Karbon Sektor Lahan”. I Wayan Susi menyampaikan sertifikasi pengurangan karbon kelapa sawit dapat berkontribusi dalam mitigasi iklim untuk sektor lahan terutama pada pengurangan penggunaan pupuk kimia dengan substitusi pupuk organik, pencegahan deforestasi dan degradasi hutan areal nilai konservasi tinggi (NKT), pencegahan kebakaran gambut, pengurangan dekomposisi gambut, serta aforestasi, reforestasi, dan revegetasi pada lahan-lahan kritis.
Namun, dalam penerapan sertifikasi pengurangan karbon pada kelapa sawit juga memiliki beberapa tantangan, yakni ancaman dari faktor bencana kebakaran, banjir, tanah longsor maupun konflik lahan, lalu belum ada kerangka metodologi untuk sektor pertanian sub sektor kelapa sawit untuk mengakomodir metode-metode lainnya yang belum masuk dalam metodologi yang diakui oleh Sistem Registri Nasional (SRN), serta kapasitas SDM dalam inventarisasi gas rumah kaca dan pemahaman tentang proses sertifikasi dari pengusulan Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi DRAM sampai dengan terbitnya Sertifikasi Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI).
Sejalan dengan hal tersebut, upaya optimalisasi yang dapat dilakukan adalah menggunakan metodologi yang sudah diakui dalam SRN (ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK RI, ditetapkan Badan Standardisasi Nasional dalam bentuk SNI, dan diakui oleh United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Selain itu, mengajukan metodologi kepada Tim Panel Metodologi Ditjen PPI KLHK untuk mendapatkan telaahan dan persetujuan, lalu melakukan akreditasi sebanyak mungkin pada Lembaga Validasi dan/atau Verifikasi Sektor Informasi Lingkungan Lingkup Nilai Ekonomi Karbon (LVV NEK), serta meningkatkan kapasitas SDM dalam inventarisasi gas rumah kaca dan pemahaman tentang proses sertifikasi juga merupakan upaya optimalisasi yang dapat dilakukan dalam penanganan tantangan yang ada.
Diskusi ilmiah tersebut juga mengundang beberapa narasumber lain, yaitu Lead Author International PanelClimate Change Dr. Joni Jupesta, Guru Besar IPB Yanto Santosa, Dosen IPB Idung Risdiyanto, M.Sc., Peneliti BRIN Prof. Fahmudin Agus, Dosen Universitas Lampung Prof. Udin Hasanudin, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Muhammad Ridwan. (SP/CHP)