Sistem peraturan perundang-undangan negara kita memerlukan penataan ulang secara mendasar dan masif, tumpang tindih regulasi baik dalam hubungan hierarki secara horizontal maupun vertikal disinyalir menjadi penghambat sektor tertentu yang berdampak pada pembangunan nasional. “Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah sedang berupaya melakukan penyederhanaan dengan mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, praktis, dan efisien melalui omnibus law,” tambah Kepala Biro Kerja Sama dan Hukum, Laksma TNI Budi Setiawan yang membacakan sambutan dari Sekretaris Utama Lemhannas RI, Komjen Pol Drs. Mochamad Iriawan, S.H., M.M., M.H. Dalam Sosialisasi Pembinaan Kesadaran Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan tentang “Kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Omnibus Law Dalam Sistem Hukum Nasional” yang diselenggarakan oleh Biro Kerja Sama dan Hukum Lemhannas RI selenggarakan pada Senin, 9 Maret 2020 di Auditorium Gadjah Mada, Gedung Panca Gatra, Lemhannas RI.
Budi juga mengatakan, sistem perundang-undangan tidak akan lepas dari sistem hukum yang berlaku di suatu negara, peraturan perundang-undangan seperti hukum tertulis merupakan bagian yang sangat penting dan ciri utama dari sistem hukum Civil Law sehingga dibutuhkan banyak sekali produk peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan negara, pembatasan kekuasaan, melindungi hak-hak warga negara, dan mengatur aspek kehidupan lainnya.
Dr. Nasrudin, S.H., M.M. selaku Tenaga Ahli Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyampaikan, ada tiga tujuan hukum, yang pertama adalah kepastian hukum yang merupakan landasan ketentuan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintah. Kepastian hukum ini merupakan suatu latar belakang dibutuhkannya peraturan perundang-undangan agar masyarakat mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh, “Kalau tidak ada kepastian hukum masyarakat akan sulit mengetahui perbuatannya itu diperbolehkan atau tidak,” tambah Nasrudin. Kedua, Keadilan yang merupakan perlakuan yang sama sesuai dengan hak dan kewajibannya, dan yang terakhir adalah kemanfaatan yakni memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.
Menyambung pernyataan Nasrudin, Bivitri Susanti yang merupakan Ahli Hukum Tata Negara menjelaskan, aspek positif dari Omnibus Law yaitu Omibus Law baik untuk secara cepat merapikan dan mengharmonisasikan pengaturan-pengaturan yang tumpang tindih, bahkan bertabrakan satu sama lain tentang satu topik yang diatur dalam Undang-undang atau peraturan yang berbeda sehingga positif bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang membutuhkan perubahan dalam waktu cepat.
Bivitri menyampaikan bahwa ada dua hal yang harus dijadikan kerangka besar, yang pertama dari segi kerangka konstitusional ia adalah produk legislasi yang harus berada dalam dua koridor yaitu koridor konstitusi yang harus dipenuhi, dan konstitusionalisme juga harus dipenuhi. “Karena ia (Omnibus Law) adalah undang-undang, maka tidak hanya konstitusi tapi ia juga harus tunduk betul di dalam UU nomor 12 tahun 2011,” tambah Bivitri. Omnibus Law harus mengikuti UU nomor 12 tahun 2011 dan tunduk pada Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, juga teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.