Lemhannas RI menyelenggarakan Diskusi Ilmiah tentang “Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Metode Kalkulasi Penyerapan Karbon Pada Tanaman Kelapa Sawit” pada Kamis (15/2), di Ruang Kresna Gedung Astagatra Lantai 4, Lemhannas RI.
“Kegiatan diskusi ilmiah hari ini akan berfokus untuk mendalami masalah Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) dan metode kalkulasi penyerapan karbon pada tanaman kelapa sawit, khususnya fokus pada emisi di lahan gambut,” kata Plt. Gubernur Lemhannas RI Laksdya TNI Maman Firmansyah saat membuka diskusi tersebut.
Perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir dan pemanasan global yang disebabkan gas rumah kaca saat ini menjadi salah satu perhatian utama dunia. Menyoroti hal tersebut, pemahaman mendalam terkait IGRK dan upaya kalkulasi penyerapan karbon oleh tanaman kelapa sawit dinilai menjadi sangat penting, mengingat tanaman kelapa sawit memiliki peran signifikan dalam industri serta memiliki potensi besar dalam menjaga keseimbangan karbon di atmosfer.
Seperti diketahui, lahan gambut adalah ekosistem yang sangat penting tetapi rentan akan degradasi dan pembukaan lahan untuk pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya kajian intensif terkait emisi gas rumah kaca di lahan gambut dan bagaimana tanaman kelapa sawit dapat menjadi bagian solusi dalam menanggulangi masalah tersebut.
Maman Firmansyah memandang perlu dipertimbangkan metode kalkulasi yang akurat dan relevan untuk mengukur seberapa efektif tanaman kelapa sawit dalam menyerap karbon dari atmosfer pada kajian yang disusun. “Diskusi ini bukan hanya sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan, tetapi juga sebagai panggung untuk menginspirasi langkah-langkah konkret yang dapat diambil dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan menanggulangi dampak perubahan iklim,” ujarnya.
Diharapkan diskusi tersebut dapat berfokus pada solusi dan menggali potensi tanaman kelapa sawit dalam mitigasi gas rumah kaca sekaligus merawat lahan gambut dengan kebijakan yang berkelanjutan.
Adapun narasumber dalam diskusi yang berlangsung selama dua hari tersebut, yaitu Kepala Pusat Pengelolaan, Peluang dan Resiko Iklim Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, LPPM IPB, Prof. Dr. Ir. Rizaldy Boer, MS; Dosen IPB Dr. Gunawan Djajakirana; Pusat Riset Tanaman Perkebunan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN Dr. Ai Dariah; Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit PT Riset Perkebunan Nusantara Dr. Winarna, S.P., M.P.; Dosen Universitas Sriwijaya Dr. Febrian Hadinata; Dosen ITB Dr. Retno Gumilang Dewi; Perwakilan BRIN Nugroho Adi Sasongko. Ph.D.; Pusat Studi Sawit IPB Dr. Basuki Soemawinata; dan Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia Prof. Supiandi Sabiham.
“IGRK ini adalah salah satu dasar yang sangat penting dalam menentukan strategi dan sebagai instrumen pengukur sejauh mana kinerja yang dicapai oleh setiap sektor dalam penurunan emisi,” kata Rizaldy Boer. Menurutnya, hal tersebut juga dapat memberikan informasi tentang tingkat dan status emisi gas rumah kaca dari perkebunan kelapa sawit.
Terkait hal tersebut, tingkat keakuratan hitungan emisi dalam IGRK ditentukan akurasi data aktivitas dan faktor emisi yang digunakan sehingga IGRK menjadi dasar dalam perencanaan upaya penurunan emisi. Selain itu, kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap pengurangan emisi juga dapat ditentukan oleh standar emisi yang ditetapkan.
Dalam menentukan kebijakan untuk penetapan dasar dan/atau batas atas emisi bagi perkebunan kelapa sawit membutuhkan peta jalan sektor untuk perdagangan karbon yang melibatkan beberapa kementerian dan instansi terkait. Oleh karena itu, guna merumuskan hal ini dibutuhkan kerja sama dari banyak pihak, tidak bisa hanya mengandalkan Kementerian Pertanian.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Tanaman Perkebunan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN Dr. Ai Dariah menekankan bahwa diperlukan inventarisasi sumber emisi perkebunan kelapa sawit yang telah dan belum dilaporkan. Hal tersebut penting agar tidak terjadi ketertinggalan antara yang satu dengan yang lainnya.
Lebih lanjut, Ai Dariah menyampaikan bahwa emisi dari perkebunan dan industri kelapa sawit meliputi sektor pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan, pertanian, serta industri. Senada dengan Rizaldy Boer, Dirinya juga memandang dalam menentukan kesepakatan yang akan diterapkan, tidak bisa hanya mengandalkan Kementerian Pertanian saja melainkan pihak-pihak lain perlu terlibat.
Upaya mitigasi pada perkebunan kelapa sawit sebagian besar belum dilaporkan sehingga perlu inventarisasi jenis aksi mitigasi dan data aktivitasnya serta aksi yang tergolong adaptasi terutama dengan co-benefit mitigasi. Sumber emisi dan aksi mitigasi untuk perkebunan yang telah mendapatkan sertifikasi ISPO juga perlu diinventarisasi dan dihitung penurunan emisinya sehingga penurunannya dapat dikuantifikasi.
Metode perhitungan untuk aksi mitigasi perkebunan kelapa sawit, termasuk penetapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) juga tidak kalah penting. “Metode perhitungan untuk mitigasi masih menjadi PR. “Aksi mitigasi ada tapi metode perhitungannya belum ada juga belum bisa dilaporkan,” pungkas Ai Dariah.
Lemhannas RI sebelumnya telah melaksanakan beberapa kajian tentang karbon. Hasil kajian tersebut mengerucut pada tema karbon pada tanaman sawit. Dari diskusi-diskusi sebelumnya dihasilkan tindak lanjut dengan adanya Bursa Karbon Indonesia yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada tahun 2023 lalu. Diharapkan dengan adanya potensi karbon yang besar, Indonesia dapat menjadi poros karbon dunia. (NA/BIA)