Ketua Umum LPAI dan Kepala BKKBN Menjadi Narasumber pada Diskusi Panel PPSA 23

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si. dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) memberikan ceramah kepada Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23, Rabu (4/8). Pada kesempatan tersebut Seto Mulyadi mengangkat tema “Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Saat Pandemi” dan Hasto Wardoyo mengangkat tema “Kearifan Lokal Pembangunan Keluarga (Beragama, Berbudaya dan Produktif) di masa Pandemi Covid-19”.

Ketua Umum LPAI Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si. dalam paparannya mengatakan saat ini beberapa anak menyukai belajar secara daring di tengah pandemi Covid-19, tetapi sebagian besar juga mengalami kesulitan. Anak-anak yang mengalami kesulitan tersebut ada yang sampai tertidur karena kelelahan belajar dari pagi sampai siang menatap layar berjam-jam dan mata yang juga terganggu hingga akhirnya memakai kacamata. “Berbagai materi calistung, matematika, dan sebagainya terasa begitu abstrak akhirnya anak-anak sering pusing tujuh keliling,” ujarnya. Seto Mulyadi juga mengatakan akibat dari hal tersebut membuat orang tua menjadi stres sampai anak-anak menjadi jenuh sehingga hasil belajar menjadi tidak optimal.

Lebih lanjut, Seto Mulyadi mengatakan masalah lain pada saat pembelajaran daring terhadap anak adalah tidak memiliki handphone, susah sinyal, terbatasnya kuota, mata lelah, pelajaran sulit, dan membosankan sehingga memicu konflik dalam keluarga yang akibatnya menciptakan berbagai kekerasan terhadap anak. Survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) akibat dari pembelajaran daring saat ini sebanyak 13% anak mengalami depresi, bahkan beberapa di antaranya dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi yang diakibatkan. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), muncul juga kekerasan secara fisik terhadap anak, yakni 56% dimarahi, 35% dibandingkan, dan 23% dicubit.

Secara psikologis pada dasarnya semua anak-anak senang belajar hal baru, senang berteman, senang tantangan, senang bermain dan senang menciptakan sesuatu yang kreatif. Namun, sebagai orang tua dan guru kadang lupa akan hal bahwa dunia anak adalah dunia bermain, secara psikologis bermain berguna untuk merangsang berbagai aspek perkembangan mulai dari motorik, sosial, emosional, moral, dan kreativitas. “Mohon, belajar pada anak tidak harus dengan cara-cara kekerasan dan orang tua dapat menjadi sahabat sekaligus idola anak,” ujar Seto Mulyadi.

Seto Mulyadi juga menyampaikan permintaan kepada orang tua untuk menciptakan suasana belajar dalam keluarga yang lebih ramah anak. Secara medis screen time untuk kesehatan mata anak ada batasnya, yaitu anak TK tidak boleh lebih dari 1 jam menatap layar dan anak SD tidak boleh lebih dari 1,5 jam. Jika terjadi terus menerus, bisa mengakibatkan mudah pusing hingga terganggu konsentrasi. Seto Mulyadi juga menyarankan belajar di rumah dengan guru pengganti, yaitu orang tua, saudara, kakek, atau nenek.

Kemudian Seto Mulyadi membahas mengenai makna pendidikan. Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 Ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. “Makna Pendidikan menumbuhkan sesuatu dari dalam dan bukan mengisi kepala anak dengan berbagai hafalan saja,” ujarnya.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) yang menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat sebelum pandemi Covid-19 adalah mewujudkan SDM berkualitas dalam rangka memasuki era bonus demografi. “Kita harus berubah dengan tantangan ini dengan revolusi mental,” kata Hasto. Era bonus demografi merupakan suatu keadaan penduduk yang masuk ke dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah berkisar antara 15 hingga 64 tahun. Beberapa negara maju umumnya menjadi sejahtera dan menjadi kaya pada saat melewati celah bonus demografi.

Namun, menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 27,6% remaja di Indonesia mengalami stunting, yang artinya daya pikir dan fisik tidak optimal, kemudian hari tuanya mudah kena penyakit sehingga tidak produktif.

Pandemi Covid-19 berdampak pada keluarga dan menambahkan tantangan yang dihadapi. Berdasarkan data dari Bank Dunia selama pandemi Covid-19 di Indonesia, sebanyak 24% berhenti bekerja pada awal bulan Mei 2020 dan 64% pencari nafkah yang berprofesi di bidang non-pertanian dan berkecimpung di usaha mikro dan kecil, mengalami penurunan pendapatan dan 2 juta anak-anak balita di Indonesia di bawah lima tahun terancam wasting atau kurus kemudian bisa menjadi stunting. 

Selain hal tersebut, pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap kenaikan kematian ibu, bayi dan balita karena sulitnya mencari pertolongan di tengah kondisi yang sedang terjadi. Kematian ibu pada 2020 sebesar 4,432 kasus, dibanding 2019 yang sebesar 4,197 kasus. Kasus kematian bayi pada 2020 sebesar 44,352 kasus. Hal tersebut mengalami kenaikan kasus kematian pada balita di tahun 2019 sebesar 26,089 kasus. Sama seperti kematian bayi, kematian balita pada tahun 2020 juga mengalami kenaikan yang signifikan dibanding 2019, sebesar 7,246 pada tahun 2020 dan 2,859 pada tahun 2019. “Ini adalah dampak yang perlu kita sadari bersama supaya kita punya empati yang tinggi bahwa ternyata angka kematian meningkat, baik ibu dan balita,” ujar Hasto.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749