Press Release

Nomor  : PR/ 30 /VI/2023

Tanggal: 15 Juni 2023

Jakarta-Senior Fellow dan Koordinator the Maritime Security Program, Institute of Defence and Strategic Studies RSIS Dr. Jane Chan Git Yin menyebutkan fleksibilitas merupakan salah satu kriteria utama agar ASEAN bisa bergerak maju serta menuju kerja sama dan keterlibatan yang positif di kawasan.

Saat memberikan paparan pada Expert Session 1 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts” pada Kamis (15/6), di Flores Ballroom, Hotel Borobudur, Dr. Jane Chan menjelaskan bahwa memahami prioritas, kemampuan, dan kendala mitra juga merupakan aspek yang sangat penting untuk dilakukan.

Oleh sebab itu, kemitraan strategis yang berbeda di sektor maritim harus selalu ditegakkan dengan cermat untuk menjamin arus bebas perdagangan lintas laut, khususnya di ASEAN.

Hal ini juga untuk memastikan negara-negara dapat mengejar kepentingan maritim nasional dan mengembangkan sumber daya laut secara berkelanjutan serta ekologis sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang disepakati tanpa risiko ketegangan ataupun konflik di laut.

Menurut Dr. Jane Chan, sebagian keamanan maritim kawasan bergantung pada pembangunan global dan pembangunan lokal, khususnya di Asia Tenggara.

Saat ini, kawasan maritim yang inklusif berdasarkan aturan dan norma internasional menjadi dasar bagi penyelamatan dan keamanan. Dasar tersebut sangat penting bagi kelanjutan pembangunan dan kemakmuran kawasan.

Namun, meskipun para negara sahabat dan mitra menekankan pentingnya menjaga tatanan maritim berbasis aturan, masih belum ada visi bersama tentang masa depan maritim Asia Tenggara. “Kurangnya visi bersama membuktikan perlu adanya penyelarasan prioritas, khususnya dalam hal kebijakan dan strategi,” kata Dr. Jane Chan.

Sependapat dengan Dr. Jane Chan, Profesor National Police College of the Phillipines Prof. Amparo Pamela Fabe menyebutkan bahwa Filipina menerima kemitraan strategis keamanan Maritim dan menghargai kemitraan dengan ASEAN.

“Filipina sangat mendukung kerja sama kawasan dan soft diplomasi untuk mendorong masa depan maritim yang stabil dan sejahtera,” kata Prof. Fabe.

Perjanjian kerja sama antara Filipina, Indonesia, dan Malaysia pada tahun 2017, merupakan salah satu contoh kerja sama trilateral yang berkontribusi terhadap upaya Maritime Domain Awareness (MDA) dan dapat diperluas dengan negara anggota ASEAN lainnya.

Dalam hal mengamankan otonomi strategis ASEAN, penting juga untuk mengajak beberapa negara dan organisasi non-ASEAN lainnya agar ikut berpartisipasi, misalnya melalui kekuatan regional utama, Asian Regional Forum, and the East Asia Summit (EAS).

Profesor Madya Universiti Kebangsaan Malaysia Datuk Dr. Sabirin bin Ja’far juga menilai kawasan Asia Tenggara penting dalam aktivitas maritim internasional di bidang perdagangan dan militer, karena lokasinya yang strategis menghubungkan Timur dan Barat.

Padahal, permasalahan mendasar dalam membangun konektivitas maritim dan rantai pasokan maritim di Asia Tenggara adalah masalah perbatasan laut. Oleh sebab itu, terobosan signifikan dengan menggunakan UNCLOS untuk menyelesaikan masalah perbatasan laut sangat diperlukan.

Di sisi lain, solusi bersama yang konstruktif untuk menyelesaikan sengketa perbatasan laut antarnegara dapat dicapai dengan memperkuat keamanan dan stabilitas maritim dalam kerangka komunitas keamanan ASEAN.

Selain itu, protokol keamanan navigasi maritim sangat dibutuhkan untuk mengurangi manuver angkatan laut dan mengurangi ketegangan di antara anggota ASEAN serta kekuatan besar lainnya di kawasan.

Indonesia sebagai original leader di ASEAN, didorong untuk berperan lebih aktif mempersatukan negara-negara anggota lainnya, khususnya dalam menangani konflik Laut China Selatan.

Peran Indonesia sebagai pemimpin kelahiran negara-negara ASEAN dalam konflik ini juga dapat mengurangi interdependensi terhadap kekuatan besar dunia sekaligus mencegah keterlibatan pihak luar yang justru dapat memperkeruh suasana politik.

Narahubung: Maulida (082229125536)

Caption Foto: Expert Session 1 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts”

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram: @lemhannas_ri

Facebook: lembagaketahanannasionalri

Twitter: @LemhannasRI

TikTok: @lemhannas_ri


Press Release

Nomor  : PR/ 29 /VI/2023

Tanggal: 14 Juni 2023

Jakarta- Komandan the Singapore Armed Forces Training Institute (SAFTI) BG Tan Tiong Keat menyebutkan bahwa upaya kolaboratif sangatlah diperlukan untuk menjaga stabilitas dan memastikan bahwa perdagangan serta konektivitas maritim dapat terus berlanjut.

“Pihak-pihak penting saat ini bahkan sedang memikirkan kemungkinan konflik di kawasan kita. Hal ini adalah pengingat bahwa kita perlu melipatgandakan upaya dalam diplomasi dan membangun kepercayaan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan kita,” kata BG Tan Tiong Keat saat menjadi pembicara Plenary Session 2 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Rabu (14/6).

Sependapat dengan BG Tan Tiong Keat, Wakil Presiden Academic Affairs and Dean of Student of the National Defense College of the Phillipines Dr. Alan Ada Lachica meyakini sentralitas ASEAN sangat penting, karena memberikan kekuatan untuk mengendalikan dan mengatur agenda kawasan, meningkatkan reputasi, meningkatkan kredibilitas dalam mengkoordinasikan dan memimpin, serta mencegah kekuatan luar untuk memanipulasi atau membajak program dan inisiatif ASEAN.

Menurut BG Tan Tiong Keat, jalur perdagangan maritim yang melintasi Perairan Asia Tenggara semakin diperebutkan dan Laut China Selatan telah menjadi titik pusat interaksi pintu masuk global serta regional.

Pada tingkat strategis, seluruh perspektif Amerika Serikat dan Tiongkok untuk bersaing mendapatkan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik sangat berbeda dengan nilai-nilai kawasan.

Di samping dinamika Amerika Serikar-Tiongkok, stabilitas dan keamanan Laut China Selatan semakin diperumit oleh klaim teritorial serta maritim yang kompleks. “Sekarang, kompetisi Amerika Serikat-Tiongkok dan persaingan klaim di Laut China Selatan memberikan tantangan kompleks untuk Keamanan Maritim Regional,” ujar BG Tan Tiong Keat.

Oleh sebab itu, ASEAN perlu mengenali risikonya dan mengambil tindakan nyata untuk mengurangi ketegangan agar tidak terjebak dalam konflik.

Pada kasus tersebut, Dr. Lachica menilai kebebasan navigasi sangat penting dalam isu Laut China Selatan. “Kebebasan bernavigasi merupakan inti dari UNCLOS. Kebebasan bernavigasi merupakan fondasi utama perjalanan maritim internasional untuk semua kapal dan semua negara,” katanya.

Menurut studi yang dilakukan oleh the US National Bureau of Economic Research pada tahun 2020, jika terjadi blokade di Laut China Selatan atau konflik militer dan terjadi pembekuan pelayaran internasional, maka perdagangan Singapura akan turun sebanyak 22%, Hong Kong, Vietnam, Filipina, dan Malaysia akan mengalami penurunan perdagangan atau total perdagangan sebesar 10 hingga 15%. Oleh sebab itu, kebebasan navigasi sangat penting bagi ASEAN.

 

Rekomendasi konflik di Laut China Selatan

Mengingat kerumitan masalah atau konflik yang terjadi di Laut China Selatan, BG Tan Tiong Keat meyakini bahwa tidak ada solusi instan atau ajaib yang dapat menyelesaikan hal itu dalam semalam. Maka, ada tiga upaya yang disarankan untuk mengurangi eskalasi dan risikonya.

Pertama, dialog dan kolaborasi. Sentralitas ASEAN diyakini mampu menyediakan banyak jalan bagi negara-negara untuk berdialog dan berkolaborasi. Platform ADMM-plus memiliki daya tarik bagi banyak pemangku kepentingan untuk melakukan dialog konstruktif serta kerja sama praktis dengan mitra regional tambahan termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat.

Selain itu, Latihan multilateral juga memberikan kesempatan yang baik untuk pertukaran dan dialog.

“Kedua, saya percaya bahwa kita harus melanjutkan upaya untuk mengembangkan pedoman formal atau interaksi di laut,” kata BG Tan Tiong Keat.

Ke depan, ASEAN harus terus bekerja sama dengan Tiongkok menuju kode etik yang efektif dan substantif di Laut China Selatan. Itu sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS 1982. Di sisi lain, kode etik itu juga harus menjaga hak dan kepentingan semua pihak di Laut China Selatan.

Upaya ketiga adalah perlu memperluas keterlibatan ASEAN untuk menyertakan semua pemangku kepentingan utama maritim. “Saya berkeyakinan bahwa jika semua negara yang terlibat berkomitmen untuk menangani perselisihan secara damai, kita pasti dapat menemukan solusinya,” kata BG Tan Tiong Keat.

Pada plenary session 2 yang mengangkat sub tema Maritime Connectivity & Regional Stability itu, Dr. Alan Ada Lachica menyebutkan bahwa Code of Conduct (COC) mampu mengurangi ketegangan di Laut China Selatan, membatasi kemungkinan konflik bersenjata, membatasi perilaku agresif para pihak, dan memberikan kerangka kerja untuk kerja sama serta pembangunan maritim.

Menurut Dr. Lachica, dengan memiliki seperangkat aturan yang disepakati, ketegangan dapat dikelola karena sebagian pihak dalam COC akan mendapat informasi yang tepat tentang perilaku yang diharapkan dan kegiatan yang diizinkan. Sehingga, kegiatan militer yang diizinkan juga akan dijabarkan dengan jelas.

Namun, ada beberapa hal yang dapat membuat COC terhambat, antara lain, cakupan geografis dari COC dan sifat COC yang masih belum jelas. Apakah mencakup Laut China Selatan atau hanya befokus pada pulau-pulau kecil? Apakah akan mengikat secara hukum untuk semua pihak atau hanya sebagian?

Menjawab hambatan tersebut, maka area atau ruang lingkup cakupan yang spesifik harus dibuat secara jelas. Selain itu, COC juga harus mengikat secara hukum bagi semua pihak, harus memiliki pedoman yang jelas, harus menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, aturan yang dapat diterima mengenai ekstraksi, pengembangan sumber daya maritim, dan harus tidak membatasi kekuatan luar.

Dr. Lachica juga menilai berbagai mekanisme yang dipimpin oleh Asia harus diperkuat, termasuk ARF, Asean Plus Three, EAS, dan ADMM-Plus. Pengadopsian COC yang dapat diterima juga harus menjadi hal yang sangat penting bagi asean

Di sisi lain, Peneliti dari East Sea Institute, Diplomatic Academy of Vietnam, Ministry of Foreign Affairs of Vietnam Do Manh Hoang menawarkan rekomendai penggunaa Maritime Domain Awareness (MDA) Initiative.

Menurutnya, program MDA dapat membantu meningkatkan kerjasama koordinasi, tidak hanya di antara anggota ASEAN tetapi juga di antara lembaga yang berbeda dalam satu negara. Ini merupakan teknologi masa depan yang jika dapat dikelola dan mengetahui cara penggunaanya, maka bisa menjadi bonus besar bagi ASEAN.

Di masa depan, kemampuan MDA berpotensi untuk diintegrasikan dengan sumber informasi yang lebih baru. Hal ini memberikan kesempatan ASEAN untuk menggali lebih dalam domain baru. Selain itu, juga membantu untuk menemukan sumber daya baru guna pengembangan lepas pantai, energi terbarukan, dan khususnya melacak kenaikan permukaan laut, serta pengaruhnya untuk Kawasan. MDA juga berpotensi membantu ASEAN menghadapi tantangan Maritim.

Pada akhirnya, selain meningkatkan dialog sebagai sarana kerja sama dan penggunaan platform atau program tertentu di ASEAN, kunci untuk menjaga keamanan dan stabilitas Kawasan adalah menegakkan serta mematuhi ketertiban internasional berbasis aturan.

Narahubung: Maulida (082229125536)

Caption Foto: Plenary Session 2 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts”

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram: @lemhannas_ri

Facebook: lembagaketahanannasionalri

Twitter: @LemhannasRI

TikTok: @lemhannas_ri


Press Release

Nomor  : PR/ 32 /VI/2023

Tanggal: 15 Juni 2023

Jakarta- Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menyebutkan bahwa ASEAN sedang berada di jalur yang tepat untuk menjadi kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, pasar tunggal terbesar di dunia pada tahun 2030, dan pusat pertumbuhan global. Namun hal ini hanya akan bertahan jika ASEAN diperkuat.

“Tren positif ini hanya akan bertahan pada gelombang yang akan datang, jika kita memperkuat ASEAN sebagai busur stabilitas kawasan,” kata Menlu Retno saat memberikan kata penutup Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts” di Flores Ballroom, Hotel Borobudur pada Kamis (15/6).

Lalu, bagaimana mempertahankan busur stabilitas kawasan?

Pertama, budaya dialog. Anggota ASEAN perlu menggunakan bahasa yang sama untuk menghadapi tantangan dengan aman, yakni bahasa kerja sama dan kepercayaan.

“Untuk memahami kita harus mendengar, untuk berkompromi kita harus mempertimbangkan pandangan yang berbeda, untuk bertahan hidup bersama kita harus mengadopsi paradigma yang saling menguntungkan,” tambah Menlu Retno.

ASEAN memiliki banyak kisah sukses dengan dialog dan bekerja keras untuk mengarusutamakannya melalui mekanisme terpimpin ASEAN.

Kedua, menavigasi busur ASEAN dengan arsitektur kawasan yang inklusif. Inklusivitas adalah nilai inti bagi ASEAN yang membuatnya menjadi kompas untuk berlayar ke depan.

“Kawasan Asia Pasifik harus menjadi lautan kerja sama, bukan pengekangan. Kita tidak perlu memilih siapa yang harus diselamatkan atau siapa yang harus diasingkan,” kata Menlu Retno.

Hal inilah yang membuat Indonesia dan ASEAN mengarusutamakan pandangan di Indo-Pasifik sebagai awal dari inklusivitas. Melalui pandangannya, ASEAN akan mengarahkan semua negara untuk saling percaya melalui kerja sama yang konkret.

Ketiga, busur ASEAN mengikat pada aturan hukum. Laut harus terbuka dan bebas agar semua pihak mendapatkan manfaat, tetapi bukan tanpa aturan.

Deklarasi ZOPFAN, Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation), Deklarasi Bali, dan pandangan ASEAN di Indo-Pasifik adalah jangkar agar tidak hanyut ke laut yang tidak terpetakan.

“Tantangannya adalah bagaimana kita dapat menghargai dan menegakkannya secara konsisten,” tambah Menlu Retno.

Menurut Menlu Retno, busur yang disebut ASEAN ini dapat bertahan menghadapi lautan penuh tantangan di masa depan jika dijaga bersama-sama. Sebab, meskipun tidak kebal dengan fenomena persaingan dan ketidakpastian global, serta dibanjiri dengan risiko politik, sejauh ini ASEAN berhasil bangkit, menjaga perdamaian, dan stabilitas kawasan, bahkan berhasil bergerak maju.

Menlu Retno juga meyakini forum ini dapat menghasilkan ide-ide untuk mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang damai, sejahtera dan inklusif.

Narahubung: Maulida (082229125536)

Caption Foto: Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi saat memberikan Kata Penutup Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts”

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram: @lemhannas_ri

Facebook: lembagaketahanannasionalri

Twitter: @LemhannasRI

TikTok: @lemhannas_ri


Press Release

Nomor  : PR/ 28 /VI/2023

Tanggal: 14 Juni 2023

Jakarta- Wakil Direktur the Naval Strategic Studies Center, Royal Thai Navy Captain Dorne Tiptant menilai penguatan sentralitas merupakan syarat mutlak agar ASEAN tetap mempertahankan identitasnya sebagai penjaga keamanan dan stabilitas negara-negara anggotanya.

Menurut Captain Dorne, ASEAN dapat mendorong kerja sama antar negara anggota melalui pelibatan diskusi isu-isu regional. “ASEAN perlu melibatkan isu-isu tersebut untuk mendorong dan meningkatkan kerja sama di kawasan dan harus terus mengembangkan upaya yang efektif, serta memiliki peran konstruktif sebagai platform stabilitas di kawasan Asia Tenggara,” kata Captain Dorne saat menjadi pembicara Plenary Session 1 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 yang bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Rabu (14/6).

Sependapat dengan Captain Dorne, Komandan NRC Malaysia Maj Gen Datuk Mhd Nizam bin Hj Jaffar, PSD PSAT DSDK PMW PAT SMP SDK KMN BCK PJM PNBB (Lebanon) MBA (Notts) Dip Strat (UKM) Fellow Scholar (NDUM) nrc CID psc juga meyakini bahwa solidaritas antar anggota ASEAN sangat penting untuk menjaga stabilitas regional ketika geopolitik wilayah menjadi titik fokus dan persimpangan pengaruh.

Keamanan maritim akan menjadi titik fokus vital untuk tahun-tahun mendatang, baik terkait ancaman tradisional maupun non-tradisional. Sehingga, ASEAN perlu hidup bersama dalam persahabatan dan kerja sama, serta harus konsisten dalam mengejar agendanya.

“ASEAN mungkin perlu melihat ketersediaan hukum yang dapat mengikat kita bersama secara lebih efektif,” tambahnya.

Amerika Serikat menyebutkan ada beberapa ancaman keamanan maritim, antara lain, pembajakan dan perampokan bersenjata; perdagangan gelap senjata; perdagangan gelap zat narkotika dan psikotropika; penyelundupan dan perdagangan manusia melalui laut; penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan tidak diatur; kerusakan lingkungan maritim yang disengaja dan melawan hukum; dan sengketa wilayah.

Keamanan maritim dinilai kompleks, beragam, dan diperdebatkan karena menghindari perbatasan yang belum dipetakan dari area abu-abu, sengketa wilayah yang tumpang tindih, keselamatan navigasi, konservasi maritim, strategi angkatan laut, interpretasi yang berbeda serta kepentingan pribadi.

Duta Besar Indonesia untuk Inggris tahun 2016—2020 dan Rekan Senior CSIS Indonesia, Dr. Rizal Sukma menyebutkan empat rekomendasi yang harus dilakukan ASEAN.

Pertama, ASEAN perlu mengkaji dampak masa depan UNCLOS sebagai tatanan maritim berbasis aturan di Indo-Pasifik akibat munculnya persaingan maritim. Kedua, ASEAN perlu menemukan gagasan baru dalam mengatasi masalah Laut Cina Selatan, terutama terkait kode etik. Hal ini akan mengurangi ketegangan antar negara besar di Kawasan.

“Ketiga, ASEAN harus merefleksikan kelemahan-kelemahan ASEAN, terutama dalam hal kelembagaan dan kemudian mencoba untuk memperkuatnya jika memungkinkan,” kata Dr. Rizal Sukma.

ASEAN memiliki kekuatan dan mampu memperkuatnya untuk menyoroti pentingnya multilaterisme, serta tidak boleh menjadi korban yang tidak disengaja dari persaingan Amerika Serikat-Tiongkok. Sehingga, ASEAN perlu berusaha menggunakan sumber daya dengan sebaik-baiknya untuk menjaga Kawasan.

Rekomendasi keempat, setelah KTT Asia Timur menjadi forum utama kerja sama di Indo-Pasifik, ASEAN perlu mengusulkan atau menyarankan KTT Asia Timur Plus tentang keamanan regional yang komprehensif untuk perdamaian dan kemakmuran Kawasan.

Selain rekomendasi dari Dr. Rizal Sukma, pada plenary session yang mengambil sub tema Asean Maritime Security Challenges ini, Captain Dorne juga menambahkan bahwa ASEAN dapat memprioritaskan keamanan, stabilitas, dan kemakmuran dalam proses pembuatan kebijakan.

Maj Gen Datuk Mhd Nizam bin Hj. Jaffar juga meyakini ASEAN Community dapat menjadi inisiasi baru yang berdasar pada tiga pilar, yaitu stabilitas dan keamanan politik, ekonomi dan budaya, serta politik itu sendiri. Hal Ini telah dianut oleh negara-negara anggota dan akan menjadi jalan bagi ASEAN.

Narahubung: Maulida (082229125536)

Caption Foto: Plenary Session 1 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts”

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram: @lemhannas_ri

Facebook: lembagaketahanannasionalri

Twitter: @LemhannasRI

TikTok: @lemhannas_ri



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749