Gubernur Lemhannas RI: Amerika Serikat dan Myanmar Menjadi Contoh Ekstrem Tentang Demokrasi

Press Release

Nomor  : PR/  4 /II/2021

Tanggal :   11 Februari 2021

Jakarta- Demokrasi telah menjadi pilihan strategis rakyat Indonesia sejak reformasi. Walaupun disadari bahwa demokrasi mengandung banyak kelemahan, namun tetap menjadi sistem terbaik diantara sistem yang ada. “Untuk  menegakkan kaidah kedaulatan kerakyatan, belum ada ditemukan sistem yang lebih baik dari demokrasi,” kata Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dalam acara  Seminar Pilkada Serentak dan Konstelasi Politik di Daerah bertempat di Lemhannas RI, Kamis (11/2).

Dalam lingkungan strategis, Agus Widjojo mencontohkan dua contoh ekstrim Negara yakni Amerika Serikat dan Myanmar dalam hal demokrasi. Di Amerika Serikat, Agus menyebutkan, terjadi  dinamika politik yang tinggi dari Presiden AS Trump, yang sebelumnya tanpa ada  preseden. “Awalnya, orang bertanya-tanya, apakah sistem demokrasi di Amerika bisa dijadikan model dan terus berlanjut. Kita lihat juga bagaimana Presiden Trump menyelenggarakan kekuasaan selama masa baktinya, juga sikap dan perilakunya ketika maju untuk Pilpres,” ujar Agus.

Dari peristiwa itu, menjadi pemikiran bersama, terlebih warga negara Amerika yang punya keprihatinan dan berusaha mengembalikan demokrasi di jalur yang semestinya. Dengan kekuatan Civil Society maka demokrasi ini bisa diselamatkan melalui kaidah-kaidah demokrasi. “Maka disini kita melihat bagaimana pentingnya kita percaya pada demokrasi dan selalu berusaha apa yang kita lakukan tetap berada dalam rambu demokrasi,” kata Agus Widjojo.

Contoh kedua di Myanmar. Agus menyebutkan, betapapun alasan junta militer untuk mengatakan  kekuasaan yang dimenangkan oleh Aung San Suu  Kyi melalui  tidak sah melalui pemilu yang dipilih oleh rakyat dengan sistem mereka tetap tidak sah, kudeta militer Myanmar menjadi kritik dunia. Tidak terkecuali kritik didapat dari  negara-negara yang tadinya menjadi sandaran Myanmar yaitu Tiongkok. “Kalaupun  (Tiongkok) menggunakan Hak Veto di PBB, kalau ada perkembangan demokrasi, saya rasa itu bukan cerminan Tiongkok untuk menyetujui Junta, akan tetapi lebih menjaga manuver perimbangan tata global,” kata Agus.

Agus mencontohkan Hongkong, begitu kuat dan biasanya Tiongkok menurunkan militernya, tetapi dalam kasus Hongkong tetap menggunakan  penegak hukum. Ini menjadi catatan, bagi negara mana pun, seandainya segala sesuatu yang kita pikirkan, walaupun dengan dalih untuk memperbaiki keadaan dan biasanya perubahan, peralihan atau pengambilalihan kekuasaan melalui kekuatan militer adalah dalih yang kurang memberikan hasil untuk menuju keadaan yang lebih baik.  Agus mempertegas, sejarah menunjukkan itu tidak pernah terbukti.  Menurut Agus, apabila pengambilalihan secara paksa justru menghasilkan hasil yang kurang baik dan malah kembali pada garis nol. “Ini perlu menjadi perhatian, jangan lagi ada yang berpikir untuk menggunakan militer untuk memperbaiki keadaan betapapun argumen kita ketidaksukaan pada situasi yang berlaku,” tegas Agus, “Masalah politik hendaknya diselesaikan  secara politik atau hukum, tanpa campur tangan militer.”

 Sebetulnya pengerahan militer bukan hal yang dilarang, akan tetapi yang dikedepankan adalah prosedur, dan pengerahan militer dalam demokrasi bukan ukuran  baik dan buruknya, namun legalitas dan konstitusionalitasnya. Karena pengerahan militer dalam bidang apapun pasti ada lembaga fungsional yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.

Untuk meningkatkan daya saing bangsa, maka kita perlu membangun paradigma pendekatan whole of government. Untuk membangun bangsa bagi kepentingan  masa depan, yang perlu dipintarkan adalah bangsa secara keseluruhan untuk membangkitkan dan membangun daya saing dengan  bangsa-bangsa di dunia.

“Bisakah kita mengatakan itu tidak mungkin terjadi di Indonesia ? Saya tidak yakin, di dalam pikiran yang tidak baca masih ada secercah pikiran yang menginginkan itu. Karena kita masih ada di transisi yang belum selesai, belum tuntas dalam menyelesaikan tataran kelembagaannya,” ujar Agus. Karena itulah, lanjut Agus, ini menjadi pikiran dan perhatian bersama agar dalam mengambil pelajaran dan meningkatkan ketahanan nasional dari seminar yang berlangsung hari ini.  Seminar ini diharapkan menjadi usaha  mengidentifikasi penyimpangan untuk menjaga, meningkatkan dan menyelamatkan efektivitas demokrasi kita agar  masyarakat tidak kehilangan trust pada demokrasi.

Agus Widjojo juga berpesan, melalui seminar nasional ini diharapkan dapat melahirkan ide dan pemikiran strategis guna tercipta rekomendasi, agar kita bisa cepat melewatkan transisi demokrasi menuju demokrasi substantif untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.  

Sebagai penyaji utama dalam diskusi terbatas tersebut adalah Ignatius Kristanto, Manajer Database Litbang Kompas dan Bambang Setiawan, Peneliti Kompas. Data pembanding menghadirkan Arya Fernandes M.Si, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and  International Studies (CSIS). Adapun pembahas menghadirkan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto, Wawan Ichwannuddin M.Si. dari Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan  Dr. Sri Budi Eko Wardani, S.IP, M.Si dari Center for  Political Studies Universitas Indonesia (UI).

 

Dari Lemhannas RI dihadiri oleh Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo yang membuka acara diskusi dan dihadiri Wakil Gubernur Lemhannas RI Marsdya TNI Wieko Syofyan, serta para deputi. Diskusi dimoderatori oleh Nugroho Dewanto, penulis buku yang juga mantan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo.

Cecilia Sumarlin dari Komunitas Merah Putih menyebutkan  bila kekuatan kandidat yang bukan berasal dari partai politik, baik eksekutif maupun legislatif ditakutkan bisa terjadi munculnya  seorang Trump di Indonesia, menggunakan parpol yang sudah ada. “Dengan dana politik yang kuat, seorang kandidat bisa menggunakan  platform koalisasi beberapa partai untuk memajukan agendanya sendiri seperti Trump di Amerika yang menggunakan agenda pribadi bukan partai,” kata Cecilia, dari Komunitas Merah Putih.  Ke depan, Indonesia perlu mengimplementasikan integrated big data analitycs dalam membaca dan menganalisis perubahan historical data dari Pilkada, Pileg, dan Pilpres.

 

 

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram : @lemhannas_ri

Facebook : lembagaketahanannasionalri

Twitter : @LemhannasRI

 

 



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749