“Kegiatan ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kapasitas personel sebagai pendorong transformasi yang mendukung Indonesia melakukan lompatan proses pencapaian aspirasi Roadmap/ Peta Jalan Program Making Indonesia 4.0 dan pembangunan berkelanjutan melalui tindakan kolaboratif dan solusi yang inovatif,” ujar Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo saat membuka kegiatan Pelatihan Kapasitas Personel Lemhannas RI dalam Memasuki Era Industri 4.0 pada Selasa (13/07).

Dalam kegiatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa pemerintah telah merancang Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah Strategi dalam memasuki Era Industri 4.0. Sejalan dengan hal tersebut, Lemhannas RI mempunyai tugas untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan Pendidikan Penyiapan Kader dan Pemantapan Pimpinan tingkat Nasional yang berpikir komprehensif, integral, holistik, integratif dan profesional, memiliki watak, moral dan etika kebangsaan, negarawan, berwawasan nusantara serta mempunyai cakrawala pandang yang universal.

Agus juga menegaskan bahwa acara Penguatan Kapasitas Personel Lemhannas RI merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kapasitas personel dan mengembangkan pool of mentor sehingga dapat meningkatkan kinerja. Para peserta akan dibekali program penguatan kapasitas personel dengan pendekatan Theory U dan System Thinking agar para peserta memahami struktur permasalahan sistematik, perbedaan konsep berpikir linear dan sistem, serta cara mengkomunikasikan tantangan sistematik secara efektif dengan menggunakan bahasa system thinking serta memahami tentang balancing dan reinforcing loops.

“Pelatihan ini ditujukan kepada individu perorangan yang pada hakikatnya, merupakan latihan pengembangan diri,” tutur Agus. Lebih lanjut Agus menyampaikan kepada para peserta, agar setelah mengikuti kegiatan tersebut dapat mengubah kerangka berpikir dari Ego System menjadi Eco System agar sebuah organisasi bisa maju ke depannya di Era Industri 4.0.

Dalam kesempatan tersebut, Agus juga menyampaikan harapannya agar peserta dapat memahami dan mempraktikkan seni mendengarkan, proses internal dan eksternal yang terjadi dalam sebuah komunikasi, serta mampu membangun lingkungan yang sehat untuk tercapainya komunikasi dalam meningkatkan kinerja tim melalui kegiatan the art of listening sehingga berpengaruh positif terhadap kinerja para peserta.

Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI yang menjadi Ketua Tim Pelaksana Making Indonesia 4.0 tahun 2021 Mayjen TNI Sugeng Santoso, dalam laporannya menyampaikan bahwa kegiatan tersebut diikuti oleh 60 orang yang terdiri dari eselon I sebanyak 10 orang, eselon II sebanyak 3 orang, eselon IV sebanyak 4 orang dan staf 43 orang. Kegiatan tersebut diselenggarakan secara daring mulai Selasa, 13 Juli 2021 sampai Jum’at, 23 Juli 2021.

 

 


Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. dan Ketua Umum Ikatan Geografi Indonesia Dr. Muhammad Dimyati, M.Sc. memberikan ceramah kepada Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23, Selasa (13/07). Pada kesempatan tersebut Dwikorita mengangkat tema “Fenomena Perubahan Iklim sebagai Basis Kebijakan dan Kepentingan Nasional” dan Dimyati mengangkat tema “Ekologi sebagai Basis Kebijakan dan Kepentingan Nasional”.

“Dari posisi letak Indonesia saat ini, memberikan dampak berupa dinamika iklim,” kata Dwikorita. Lebih lanjut Dwikorita mengatakan hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara yang dikontrol oleh posisi gerak semu matahari. Lalu Dwikorita mencontohkan kasus fenomena La Nina sebagai akibat dari kondisi suhu di Samudera Pasifik yang lebih dingin dari pada di perairan Indonesia, sehingga terjadi Aliran Masa Udara Basah dari Samudera Pasifik menuju kepulauan Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya intensitas curah hujan ekstrem mencapai 40% dari batas normal.

Salah satu upaya yang dilakukan BMKG atas fenomena La Nina adalah melakukan peringatan dini di bulan Oktober agar masyarakat bisa mempersiapkan diri. Fenomena La Nina terjadi pada bulan November, Desember, dan puncaknya bulan Januari. Hal tersebut bisa mengakibatkan bencana alam berupa banjir dan longsor. “Fenomena alam dipengaruhi oleh letak geografis Indonesia namun diperparah dengan fenomena perubahan iklim global,” kata Dwikorita.

Berdasarkan data yang ditampilkan Dwikorita mengenai La Nina dan El Nino, secara statistik periode ulang terjadinya La Nina dan El Nino pada tahun 1981-2020 mempunyai kecenderungan berulang semakin cepat dibandingkan periode 1950-1980. Periode ulang anomali iklim global La Nina dan El Nino sebelum 1980 adalah 5 sampai 7 tahun sekali, namun 40 tahun terakhir menjadi 2 sampai 3 tahun sekali.

Sementara itu, Ketua Umum IGI Dr. Muhammad Dimyati, M. Sc yang mengangkat tema “Ekologi Sebagai Basis Kebijakan dan Kepentingan Nasional” lebih berfokus pada analisis interaksi antara organisme (manusia) dan dengan lingkungan biotik maupun abiotik pada wilayah geografis serta memanfaatkan secara berkelanjutan dengan berbagai akibat yang ditimbulkan.

“Ada lima masalah lingkungan hidup yang cukup besar di dunia ini, yang pertama adalah polusi udara, pembabatan hutan, pemusnahan biodiversitas, erosi tanah subur, dan tekanan ledakan populasi,” kata Dimyati. Lebih lanjut, Dimyati mengatakan deforestasi di Indonesia pada tahun 2012 – 2013 adalah 727.981 hektar/tahun dan Sebagian besar deforestasi untuk hutan produksi.

Sebanyak 31% daratan di Indonesia didominasi dengan hutan, 80% makhluk hidup di darat menggantungkan hidupnya di hutan. Degradasi hutan yang terjadi mengakibatkan 18,7 juta hektar hutan/tahunnya hilang. “Ini akan sangat berpengaruh pada apa yang ada di Indonesia dan sangat dikhawatirkan oleh beberapa para ahli,” kata Dimyati.

Diskusi panel tersebut dihadiri 60 peserta PPSA 23 yang terdiri dari TNI, Polri, MPR RI, Kementerian, Lembaga Non Struktural, Lembaga Pemerintahan, Partai Politik, dan Organisasi Masyarakat.


“Focus Group Discussion ketiga ini dalam rangkaian kegiatan kita menuju Seminar Nasional PPRA 62 Tahun 2021 yang nanti akan dilaksanakan pada 25 Agustus 2021,” kata Ketua Seminar Nasional Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Kolonel Pnb Aldrin P Mongan, S.T., M.Hum., M.Han. Hal tersebut disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) III Road to Seminar Nasional yang dilaksanakan secara daring, Selasa (13/07). Mengangkat tema “Diplomasi Produk Kuliner dan Pengembangan Rempah Asli Indonesia sebagai Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional”, FGD III tersebut adalah kelanjutan dari FGD I dan FGD II yang masing-masing telah dilaksanakan pada 28 Mei 2021 dan 11 Juni 2021.

Walaupun dalam proses pelaksanaan dan persiapan mengalami kendala karena kondisi Pandemi Covid-19, Peserta PPRA 62 tetap berusaha secara maksimal guna menyukseskan rangkaian FGD dalam rangka Seminar Nasional PPRA 62. “Kami akan berupaya semaksimal mungkin untuk pada akhirnya hasil daripada seminar ini akan memberikan sumbangan pemikiran langsung kepada pemerintah,” ujar Aldrin.

“Pandemi Covid-19 ini telah membawa dampak kepada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. Lebih lanjut Sugeng menyampaikan bahwa Pandemi Covid-19 juga menimbulkan adanya ketidakpastian kapan akan berakhir, sehingga bidang investasi juga ikut melemah dan berimplikasi terhadap berhentinya suatu unit usaha. Dampak dari pelemahan ekonomi tersebut menyebabkan harga komoditas turun. Menurut Sugeng, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dalam mengatasi pandemi Covid-19, antara lain program vaksinasi, program Pemulihan Ekonomi Nasional, bantuan modal usaha UKM dan saat ini menetapkan kebijakan PPKM darurat khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali serta di beberapa daerah lainnya.

Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini kurang stabil, Sugeng berpendapat bahwa diperlukan upaya pemulihan ekonomi nasional. Sejalan dengan hal tersebut, kekuatan modal sosial dan budaya dalam kelompok masyarakat Indonesia pada dasarnya sudah ada sejak lama dan menjadi sebuah kekuatan bagi masyarakat di berbagai daerah untuk bertahan di dalam menghadapi kondisi pandemi. “Modal sosial ini juga dapat menjadi sebuah kekuatan kolektif untuk membantu memulihkan aktivitas ekonomi dan sosial secara optimal dengan memanfaatkan kesadaran masyarakat,” lanjut Sugeng.

“Mengingat hal tersebut, peserta PPRA 62 Lemhannas RI yang merupakan calon-calon kader pimpinan tingkat nasional harus ikut memberikan sumbangan pemikiran yang inovatif untuk mengatasi permasalahan bangsa Indonesia ini,” ujar Sugeng. Oleh karena itu, Sugeng mengimbau para Peserta PPRA 62 agar dapat menyerap berbagai saran dan masukan dari para narasumber FGD, sehingga peserta dapat merumuskan kekuatan modal sosial budaya yang telah ada di masyarakat sejak lama dan diharapkan menjadi sebuah kekuatan untuk menggalang kebersamaan masyarakat serta menumbuhkan kembali inovasi dan terobosan untuk menggerakkan roda perekonomian guna pemulihan perekonomian nasional.

Pada FGD III tersebut hadir 6 narasumber, yakni Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia (Dubes LBBP RI) untuk Korea Selatan H. E. Mr. Umar Hadi, Deputi III Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Dra. Rita Endang., Apt., M. Kes, Unit Head Herbal Martha Tilaar Group Prof. Dr. Ir. Bernard  T. Widjaja, M.M., CSCA., Direktur Eksekutif TMII dan General Manager Candi Borobudur Kolonel Laut (P) I Gusti Putu Ngurah Sedana, Co-Founder Indonesian Tempe Movement Amadeus Driandro Ahnan Winarno, Ph.D., dan Founder The Green Coco Island Prof. Wisnu Gardjito.

Dua peserta PPRA 62 memoderatori FGD III tersebut, yakni Ir. Utomo Nugroho, M.Si., M.A.B dan Kombes Pol. Tommy Wibisono, S.I.K. “Focus Group Discussion ketiga ini merupakan rangkaian dari kegiatan Road to Seminar Nasional PPRA 62 Tahun 2021 yang akan dilaksanakan pada 25 Agustus 2021,” kata Utomo.

Kedua moderator juga menyampaikan bahwa dari FGD I yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa modal budaya adalah “emas” Indonesia di masa mendatang yang dapat dikembangkan dan membantu pemulihan perekonomian nasional. Sejalan dengan hal tersebut, FGD II memfokuskan materi untuk penguatan naskah seminar terutama yang berhubungan dengan ekosistem mendukung modal budaya yang sudah dihasilkan. Pada FGD II dibahas berbagai ekosistem yang mendukung transformasi hasil modal budaya yaitu ekosistem digital, ekosistem bisnis, dan ekosistem desa dengan pembinaan teritorial desa. Ketiga ekosistem tersebut akan menjadi bagian dari proses transformasi hasil dari modal budaya untuk menjadi modal ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.

“Kekuatan modal sosial dan budaya dalam kelompok masyarakat Indonesia yang ada sejak lama menjadi sebuah kekuatan bagi masyarakat berbagai daerah untuk bertahan di dalam menghadapi kondisi pandemi,” kata Tommy. Modal sosial dan budaya dinilai dapat menjadi sebuah kekuatan kolektif untuk membantu memulihkan aktivitas ekonomi dan sosial secara optimal dengan memanfaatkan kesadaran masyarakat.

“Korean Wave atau Hallyu adalah satu fenomena global,” kata Dubes LBBP RI untuk Korea Selatan H. E. Mr. Umar Hadi. Bahkan Umar menyampaikan bahwa salah satu karya bangsa Korea Selatan sudah memenangkan penghargaan Oscar, yakni Film Parasite. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa produk-produk budaya Korea Selatan sudah mencapai titik global, menarik konsumen dari mana pun dan tidak mengenal batas negara.

Korean Wave dapat menjadi fenomena global berawal dari gerakan sosial para pembuat film, yang merasa bahwa budaya Korea yang unik bisa ditampilkan pada film yang kualitasnya bisa diakui di kancah dunia. Kemudian dari gerakan tersebut yang mengawali dikenalnya budaya Korea di kancah global adalah drama televisi (K-Drama) dan kemudian grup penyanyi (K-Pop). Konsumsi atas produk hiburan tersebut biasanya diiringi juga dengan konsumsi merchandise yang terkait dengan idola konsumen. Hal tersebut kemudian mendorong keinginan konsumen atas produk-produk kultural dan produk-produk kreatif lainnya dari Korea, bahkan ingin mengunjungi Korea. Data menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, wisatawan yang mengunjungi Korea meningkat tajam. “Itulah dampak turunan dari K-Pop dan K-Drama,” ujar Umar.

“Pemerintah Korea memang menjadikan dominasi global dari produk-produk Korea sebagai target, sebagai tujuan,” tutur Umar. Oleh karena itu, pemerintah Korea juga memberikan dana untuk mendukung ekspor produk-produk kultural dan kreatif. Bahkan usaha mengembangkan hal tersebut meliputi semua elemen. Pemerintah menyiapkan infrastruktur dan membangun regulasi yang mendukung ekosistem industri. Kemudian di kalangan industri para pengusaha terus berlomba melakukan upaya yang mendorong ekspor. Sejalan dengan hal tersebut, dunia pendidikan dan pelatihan mendukung kreativitas. Selanjutnya bidang media dan teknologi terus berinovasi, serta adanya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang tegas.

Lebih lanjut Umar menyampaikan bahwa apa yang terjadi pada Korean Wave hari ini, tidak putus dari Reformasi Korea Selatan yang terjadi pada tahun 1987-1988. Dari reformasi tersebut ada tiga hal yang berubah besar, yakni politik dari otoriter menjadi demokrasi, ekonomi dari state capitalism menjadi market capitalism, dan sosial budaya dari defensif menjadi ofensif.

“Korean Wave itu adalah kekuatan dari ide bahwa budaya Korea dan produk-produk budayanya bisa menjadi unggul dan bisa mengalahkan budaya-budaya lain di dunia,” kata Umar. Ada tiga basis yang menjadi pilar utama, yakni kebebasan berekspresi yang dijamin, kualitas produksi baik dalam segi SDM maupun teknologi yang mengalami lompatan, serta selalu mengikuti arus ekonomi digital dunia dan mendekatkan gaya hidup budaya Korea dengan gaya hidup mainstream dunia.

“Kalau kita ingin mengembangkan secara bersama-sama produk-produk kuliner kita (Indonesia) khususnya tempe dan kelapa serta rempah-rempah asli Indonesia, kita harus fokus pada pengembangan produk-produk kreatif dan kultural,” kata Umar. Dalam kesempatan tersebut, Umar menyampaikan tiga hal yang harus menjadi prioritas. Pertama, standar yang harus terus dikembangkan terkait dengan produk-produk kuliner dan rempah-rempah seperti sisi keamanan, sanitasi, pelabelan. Hal tersebut dikarenakan ujung dari standar tersebut adalah kesehatan dan keselamatan konsumen. Umar berpendapat bahwa dalam hal ini pemerintah tidak dapat bergerak sendiri, tapi harus bersama dengan berbagai asosiasi. Kedua, kualitas produk dalam SDM, teknologi, serta riset dan pengembangan. Ketiga, harus memiliki pasar yang jelas. Setelah memiliki pasar yang jelas, harus direncanakan skala industri dan selera konsumen.

Narasumber selanjutnya Co-Founder Indonesian Tempe Movement Amadeus Driandro Ahnan Winarno, Ph.D. menyampaikan bahwa Indonesian Tempe Movement adalah gerakan komunitas yang berawal dari kegemasan atas semua wacana yang beredar dan diskusi yang dilakukan namun belum ada yang membuat suatu pergerakan. Indonesian Tempe Movement mengemban misi mempromosikan tempe untuk memberi lebih banyak orang akses pada makanan bergizi, ramah lingkungan, dan terjangkau.

Indonesian Tempe Movement memegang 3 prinsip, yakni menghubungkan, memberdayakan, dan mengedukasi. Dalam menghubungkan, Indonesian Tempe Movement merangkul komunitas-komunitas yang membutuhkan nilai yang dibawa Indonesian Tempe Movement termasuk diplomasi pangan. Pada memberdayakan, Indonesian Tempe Movement merasa bahwa tempe adalah makanan harapan yang bisa membantu seseorang untuk menghasilkan makanan sendiri ataupun menjadikan produksi tempe sebagai penghasilan. Dari sisi edukasi, Indonesian Tempe Movement membuat kegiatan praktik dan sosialisasi mengenai tempe.

Pemilihan tempe dilatarbelakangi sejarah bahwa tempe adalah makanan asli Indonesia. Selain itu, tempe dipilih karena dari segi kesehatan dan nilai gizi tempe memiliki nilai yang baik. Driandro juga menyampaikan bahwa ada lebih dari 20 bahan yang dapat diubah menjadi tempe, tidak hanya kacang kedelai. Bahan dan peralatan membuat tempe termasuk identitas yang sangat sulit ditemukan di luar negeri. “Hal yang sangat sederhana yang mungkin dianggap remeh itu bisa menjadi Indonesian Wave kita,” kata Driandro.

Diandro juga menjabarkan peluang yang dapat dicapai melalui tempe, yakni mengatasi malnutrisi, memajukan reputasi budaya dan pariwisata kuliner Indonesia, serta memasok bisnis-bisnis tempe dunia. Namun, peluang tersebut juga diiringi oleh tantangan seperti paradigma negatif mengenai tempe seperti tempe makanan rakyat kecil, kemandirian bahan baku yang belum dapat dilakukan karena impor masih mendominasi, dan belum dimanfaatkannya peluang ekspor tempe.

Pada kesempatan tersebut Diandro juga menyampaikan rekomendasi, yakni memberikan proteksi dengan mendaftarkan tempe sebagai UNESCO Intangible Cultural Heritage, mempromosikan tempe sebagai Indonesia’s Hidden Superfood, melakukan perbaikan rantai suplai dari hilir ke hulu, melakukan peningkatan proses pangan sehingga dapat memenuhi standar internasional, dan penyediaan bahan baku dengan benih unggul, serta melakukan pengembangan pariwisata kuliner.

“Ini waktu yang sangat tepat untuk tempe berperan sebagai kunci kekayaan pangan Indonesia yang selama ini tertimbun dan kita akan angkat untuk mengubah hasil-hasil pangan lokal seluruh dunia menjadi makanan yang menyehatkan, ramah lingkungan, terjangkau, inklusif, dan tentunya enak untuk dinikmati masyarakat dunia,” kata Diandro.

“Orang suka lupa kalau kelapa ini sudah lama ada di Indonesia,” kata Founder The Green Coco Island Prof. Wisnu Gardjito. Lebih lanjut, Gardjito menyampaikan pentingnya melakukan PELAJU, yakni Petik – Olah – Jual – Untung dalam pengolahan kelapa. Gardjito menegaskan bahwa sebelum dijual kelapa harus diolah terlebih dahulu agar memberikan nilai tambah, karena jika belum diolah harganya akan murah. “Intinya adalah PELAJU, Petik – Olah – Jual – Untung,” ujar Gardjito.

“Kelapa itu adalah menjadi agroindusti cluster yang bisa meningkatkan daya saing kita,” lanjut Gardjito. Alasan pemilihan komoditas kelapa, yakni areal kelapa Indonesia adalah yang terluas di dunia sebesar 3,7 juta hektar, kelapa memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan lebih lanjut guna memperoleh aneka produk hilir dengan nilai tambah tinggi, pasar untuk aneka produk kelapa sangat besar bahkan dapat dikatakan seluruh penduduk dunia, kelapa adalah komoditas yang dikuasai oleh rakyat sehingga sifatnya berbasis komunitas dan pengembangan usaha menjadi lebih mudah, dan teknologi proses banyak tersedia untuk masyarakat biasa. Gardjito juga menyampaikan bahwa produk turunan kelapa sangat banyak dan merupakan peluang untuk masuk ke pasar global.

Gardjito juga menyampaikan program pengembangan Agroindustrial Export Cluster (AEC), yakni program industrialisasi kelapa olahan. Langkah pertama adalah vision workshop, yakni peningkatan kesadaran dan program yang memberikan wawasan tentang potensi agroindustri kelapa dan komoditas lainnya. Langkah 2 adalah pelatihan, SDM yang terpilih yang akan dikembangkan menjadi para industrialis agro kelapa. Langkah 3 yaitu pemanggangan, SDM yang sudah dilatih akan dimatangkan menjadi SDM terampil melalui program pemanggangan disentra pemagangan The Green Coco Island (TGCI). Langkah 4, yaitu pendirian unit produksi dan pemasaran, pada kelompok terpilih akan didirikan unit produksi dan unit pengolahan yang kemudian akan dikaitkan dengan unit pemasaran.

Pada langkah 5 akan dilakukan promosi program pengembangan identitas yang merupakan program pengembangan identitas agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui, memahami, dan mencintai hasil dari AEC. Langkah 6 adalah penetrasi pasar untuk menjual hasil sekaligus membangun jaringan pemasaran ke seluruh penjuru dunia. “Kita lemah di jaringan pemasaran,” kata Gardjito. Langkah 7 adalah langkah peningkatan kapasitas. Ketika permintaan riil meningkat, maka peningkatan skala industri dilakukan melalui penambahan unit usaha, karena basis industrial AEC adalah berbasis UKM. Terakhir langkah 8 yaitu exporting dan International Business Management (IBM), pada fase ini ekspor harus didukung oleh kegiatan IBM yang termasuk di dalamnya penciptaan jaringan perdagangan. “Ini harus menjadi usaha bersama karena kelapa ada dimana-mana, jadi tinggal disatukan menjadi usaha bersama,” tutup Gardjito.

“Badan POM melakukan berbagai upaya dalam rangka untuk mendukung obat dan makanan yang sesuai standar,” kata Deputi III Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Dra. Rita Endang., Apt., M. Kes. Lebih lanjut Rita menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara ke 3 dengan megabiodiversitas terbesar di dunia. Data LIPI tahun 2020 menyatakan bahwa terdapat sekitar 33.000 spesies yang berpotensi menjadi bahan obat di Indonesia. Riset Tumbuhan Obat Jamu (Ristoja) pada 2017 menghimpun informasi bahwa 32.104 ramuan dan 2.848 spesies tumbuhan obat tersebar pada 405 etnis di 34 provinsi di Indonesia.

Potensi rempah dan pemanfaatannya tersebut diiringi oleh peluang yang besar. WHO mengestimasi penggunaan herbal di dunia mencapai 4 miliyar  pengguna. Penggunaan itu tidak hanya di Indonesia, namun di negara-negara lainnya seperti Perancis sebanyak 49%, RRC sebesar 90%, dan Jepang sebanyak 70%. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 menyatakan bahwa terdapat 59,12% masyarakat menggunakan jamu dan 95,6% di antaranya mengakui bahwa jamu dapat bermanfaat. “Memang perlu sekali untuk mengembangkan penggunaan bahan alam,” kata Rita.

Oleh karena itu, Badan POM mendukung UMKM untuk menghasilkan produk-produk pangan, rempah, bahan alam. Salah satu dukungan BPOM bagi UMKM adalah melalui peluncuran program menuju Indonesia Spice Up The World. Program tersebut meluncurkan pedoman ekspor dalam rangka Indonesia Spice Up The World, melakukan dialog dengan Menteri Koperasi dan UKM dan pelaku usaha untuk mendukung UMKM ekspor, serta melakukan sosialisasi regulasi dan persyaratan. Program Indonesia Spice Up The World juga bertujuan untuk mendorong kuliner Indonesia, khususnya bumbu dan rempah, untuk masuk ke pasar mancanegara, khususnya negara-negara di Australia dan Afrika.

Modal sosial yang dilakukan BPOM dalam pendampingan bagi UMKM di antaranya adalah konsultasi secara elektronik melalui live chat dan call center, melalui aplikasi Rumah Informasi Registrasi Pangan Olahan, melakukan perluasan daerah sosialisasi ke daerah-daerah, membuat aplikasi Sinkronkan di mana dilakukan sinergisme pendampingan registrasi pangan olahan bagi usaha mikro kecil antara BPOM dengan pemangku kepentingan terkait, melakukan jemput bola melalui coaching clinic, helpdesk, dan pendampingan registrasi khusus UMKM, dan mengadakan seminar  daring yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat termasuk UMKM pangan. Selain itu, BPOM juga melakukan pendampingan ekspor pangan olahan termasuk produk bumbu dan rempah.

“Badan POM mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional tentu dengan dasar awalnya adalah ekonomi lokal,” kata Rita. Berbagai upaya pada saat pandemi Covid-19 dilakukan guna meningkatkan daya saing UMKM, baik dalam segi produk, kemudahan berusaha, maupun dukungan ekspor khusus bumbu dan rempah. Terkait dengan dukungan terhadap modal sosial dan budaya melalui produksi pangan olahan dan rempah kearifan lokal, BPOM melakukan pendampingan, bimbingan teknis, dan klinik pelatihan bersama lintas sektor akademisi, bisnis, pemerintah, dan komunitas mendukung agar kekuatan sosial memiliki dampak daya ungkit terhadap pemulihan ekonomi nasional.

Sejalan dengan Rita, Unit Head Herbal Martha Tilaar Group Prof. Dr. Ir. Bernard  T. Widjaja, M.M., CSCA. menyampaikan bahwa jika bicara mengenai keanekaragaman hayati, maka Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat beruntung karena memiliki sekitar 30.000 spesies tanaman yang tumbuh di Indonesia. Sebanyak 7.000 dari spesies itu ditengarai memiliki manfaat yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan kita sehari-hari. Bahkan jika bicara keanekaragaman hayati laut dan hutan maka Indonesia menjadi negara peringkat 1 di dunia. “Indonesia juga punya kekayaan yang luar biasa yaitu di bidang budaya,” kata Bernard. Beberapa literatur menuliskan ada sekitar 300 kelompok etnik yang hidup di Indonesia dan berinteraksi dengan pengaruh budaya lain.

Bernard menegaskan kombinasi 7000 spesies keanekaragaman hayati dengan 300 etnik dapat menjadi potensi pengembangan ekonomi berbasis budaya dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Menurut Bernard, cara memanfaatkan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia dapat dilakukan melalui pemetaan tanaman-tanaman obat, kosmetik, dan aromatik yang ada di Indonesia. “Tidak semua daerah di Indonesia tanamannya sama,” lanjut Bernard.

Pada kesempatan tersebut, Bernard juga menyampaikan 4 pilar yang ada di Martha Tilaar. Pilar-pilar tersebut adalah Beauty Innovation dalam hal wanita Indonesia harus berkepribadian Indonesia, Beauty Education dalam hal edukasi merupakan investasi karena kualitas SDM selalu ditempatkan nomor 1, Beauty Green yang selalu memanfaatkan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia, dan Beauty Culture  agar tidak melupakan identitas sebagai orang Indonesia melalui kearifan lokal. “Kita punya biodiversity, punya local wisdom, ini kita riset untuk mendorong community menjadi berkembang,” kata Bernard.

Narasumber terakhir, Direktur Eksekutif TMII dan General Manager Candi Borobudur Kolonel Laut (P) I Gusti Putu Ngurah Sedana menjelaskan mengenai Balai Ekonomi Desa (Balkondes). Memulai paparannya, I Gusti Putu Ngurah Sedana menyampaikan grafik pengunjung di Candi Borobudur yang pada tahun 2016 sampai tahun 2019 mengalami peningkatan. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 pada tahun 2020 grafik tersebut mengalami penurunan yang signifikan.

“Borobudur merupakan satu kecamatan yang dikelilingi oleh 20 desa. Ironisnya 18 desa secara arbitrasi itu masuk desa tertinggal,” kata I Gusti Putu Ngurah Sedana. Padahal data menyebutkan bahwa pengunjung yang datang ke Candi Borobudur pada 2018 dan 2019 mencapai 4 juta wisatawan. Dengan jumlah sebesar itu harusnya masyarakat desa sekitar Candi Borobudur bisa sejahtera. Oleh karena itu, pada tahun 2017 dibangunlah Balkondes yang didukung PT. TWC.

Dibangunnya Balkondes, memberikan dampak yang cukup bagus karena pengunjung Candi Borobudur disebar ke desa-desa sekitar Candi Borobudur dengan menggunakan transportasi andong untuk mengelilingi desa-desa yang ada di sekitar candi Borobudur. Balkondes juga dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para komunitas, sebagai tempat kuliner masakan khas setempat, sebagai etalase produk khas desa, dan sebagai tempat pertunjukan seni. “Dengan dibangunnya Balkondes, perubahan sangat besar sekali,” kata I Gusti Putu Ngurah Sedana.

Filosofi Balkondes Candi Borobudur adalah Candi Borobudur diibaratkan seperti lampu 2000 watt. Lampu 2000 watt tersebut terang benderang yang didatangi oleh jutaan pengunjung sehingga menggerakkan perekonomian menjadi sangat bagus. Sebelumnya beberapa desa-desa di sekitar masih gelap gulita, maka dari itu untuk menghidupkan desa-desa di Candi Borobudur masing-masing menyalakan lampu 100 watt yang dikalikan 20 desa. Balkondes juga menggali potensi 20 desa yang beraneka ragam dan semua mempunyai potensi masing-masing. Di setiap desa terdapat 1 Balkondes dan setiap Balkondes dibangun 20 penginapan (homestay). Balkondes tersebut juga difungsikan sebagai aktivitas kuliner, etalase aktivitas ekonomi, dan pusat aktivitas baru bagi masyarakat desa.


“Bela negara adalah suatu konsep yang memang masih perlu penajaman-penajaman untuk perlu diimplementasikan secara tajam dan tepat di dalam sistem nasional,” kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) pada kegiatan Training of Trainers Bela Negara Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Senin (12/07). Kegiatan tersebut diikuti oleh Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.

Memulai paparannya, Agus mengutip Presiden Joko Widodo yang pernah menyampaikan bahwa bela negara memiliki spektrum yang sangat luas. Bela negara bisa dilakukan oleh setiap warga negara yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai peran dan profesi masing-masing. Lebih lanjut, Agus menegaskan bahwa bela negara sangat luas spektrumnya. Oleh karena itu, tidak hanya dilahirkan dari satu Kementerian/Lembaga, karena lingkupnya nasional. Namun, Agus merasa bahwa dalam bela negara masih ada kerancuan-kerancuan yang terjadi karena adanya pemikiran bahwa bela negara adalah latihan baris berbaris dan angkat senjata. Menurut Agus, fungsi penataan sistem bela negara belum memberikan makna yang dapat dilaksanakan secara konkret, komprehensif, dan final.

“Hakikat bela negara adalah sikap dan tindakan warga negara yang dilandasi oleh kecintaan kepada negara,” kata Agus. Menurut Agus, seluruh warga negara harus dibentuk untuk cinta kepada negara dan diwujudkan dalam kesediaan untuk melindungi, mempertahankan, dan memajukan kehidupan bersama. Kesadaran bela negara hakikatnya adalah kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban untuk membela negara. “Berbakti itu adalah memberikan kinerja terbaiknya dalam profesi masing-masing,” ujar Agus.

Kemudian Agus menyampaikan elemen-elemen dasar dalam bela negara, yakni cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, yakin kepada Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara, serta memiliki kemampuan awal untuk pertahanan (hal ini sebagai cikal bakal membentuk komponen cadangan). Di antara kelima elemen tersebut, empat elemen adalah softpower, sedangkan latihan kemiliteran hanya satu. “Jadi bisa kita katakan latihan kemiliteran hanya 20% tentang pembentukan kemampuan awal bela negara,” kata Agus.

“Bela negara itu bukan keterampilan militer,” kata Agus. Keterampilan yang dapat dikaitkan dengan unsur dasar bela negara adalah mengisi keterampilan profesional dalam fungsi pelayanan negara kepada masyarakat sebagai bentuk pengabdian kebangsaan. Agus juga menegaskan bahwa bela negara bukan suatu disiplin ilmu, bela negara adalah sebuah wujud komprehensif dari semua yang dibekalkan kepada warga negara melalui pendidikan, melalui penegakan hukum, dan melalui norma-norma masyarakat.

Agus menegaskan bahwa bela negara bukan hanya tugas tentara melainkan tugas seluruh warga negara. Bela negara merupakan gagasan yang berlingkup nasional dan bermuara pada upaya untuk mencintai tanah air. “Bela negara tidak hanya memakai senjata, pikiran cerdas di semua sektor dan semua lini dalam rangka menjaga kedaulatan, martabat, dan harga diri bangsa lebih tajam daripada hanya mengandalkan senjata,” kata Agus. Oleh karena itu, bela negara menjadi kepentingan bagi semua pihak dan semua elemen.

Agus berpendapat bahwa memberi keseimbangan pada efektifvitas lembaga non militer agar mampu melaksanakan fungsinya dalam membangun kesadaran bela negara merupakan kepentingan bersama, terutama dalam pendidikan formal dan non formal.

 



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749