Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Pol. Firli Bahuri, M.Si memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 Lemhannas RI dengan mengangkat tema “Pemberantasan Korupsi”, Kamis (5/8). Firli yang merupakan alumni PPSA 21, mengawali paparannya dengan mengutip pesan yang pernah disampaikan oleh Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo kepada Firli saat menjadi peserta PPSA 21. “Lemhannas bukan tempat untuk menunjukkan siapa yang pintar, Lemhannas bukan tempat untuk bersaing sesama peserta, tetapi Lemhannas adalah tempat mengambil nilai tambah,” ujar Firli dalam membuka paparannya.

Selanjutnya, Firli menyampaikan bahwa para pendiri bangsa Indonesia menyepakati untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan nasional. Pada Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut aktif memelihara perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, kedamaian abadi, dan kehidupan sosial.

“Etika dan integritas merupakan salah satu poin penting dalam setiap gerak langkah kita sebagai pemimpin,” ujarnya. Lebih lanjut Firli menjelaskan etika dan integritas di dalam ASN yang disebut Panca Prasetya Korpri, Firli menyampaikan bahwa beberapa hari lalu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyatakan tentang Core Values ASN Berakhlak. Terdapat tujuh poin di dalam Core Values ASN Berakhlak, di antaranya yaitu Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.

Pada kesempatan tersebut, Firli menyampaikan faktor penyebab korupsi menurut teori Jack Bologne. Teori Jack Bologne menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi di antaranya adalah greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), dan exposure (pengungkapan). Sementara itu faktor penyebab korupsi juga didukung oleh buruk dan lemahnya sistem sehingga membuat orang ingin berbuat korupsi, hal tersebut terjadi karena kurangnya etika dan integritas.

Berdasarkan Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan perekonomian negara. Korupsi dirumuskan dalam 30 jenis Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dikelompokkan menjadi 7 jenis besar Tipikor. Tujuh jenis besar tersebut, yaitu kerugian keuangan negara, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan suap menyuap.

Firli menyampaikan bahwa saat ini ada tiga strategi KPK dalam pemberantasan korupsi. Pertama, melalui Pendekatan Pendidikan Masyarakat, strategi tersebut sebagai core business KPK. Kedua, melalui Pendekatan dan Pencegahan melalui Perbaikan Sistem. Ketiga, Pendekatan Pencegahan Tegas dan Profesional. “Strategi yang kita pakai berdasarkan kajian,” ujar Firli.


Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) mengadakan Sosialisasi Penyusunan Penilaian Kinerja bagi Pejabat Fungsional di Lemhannas RI, Rabu (04/08). Sosialisasi tersebut menghadirkan narasumber Analis Kebijakan Madya selaku Koordinator Manajemen Kinerja SDM Aparatur, Deputi SDM Aparatur, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Agus Yudi Wicaksono, M.PP.

Kepala Biro Umum Lemhannas RI Brigjen Pol. Drs. Sukadji, M.M. dalam sambutannya mengatakan bahwa penilaian kinerja PNS sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier. Selain itu, diatur pula dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil untuk melaksanakan ketentuan pada Pasal 61 Ayat (1) PP Nomor 30 Tahun 2019 tersebut.

“Penilaian kinerja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem manajemen kinerja yang terdiri atas perencanaan kinerja; pelaksanaan kinerja, pemantauan kinerja, dan pembinaan kinerja; penilaian kinerja; tindak lanjut; dan sistem informasi kinerja PNS,” kata Sukadji. Kinerja yang dimaksud merupakan hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada organisasi/atau unit kerja sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja. Penilaian kinerja dilaksanakan oleh seluruh PNS, terlebih sebagai pejabat fungsional, yaitu jabatan yang fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang didasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu.

“Sebagai pejabat fungsional, dengan disusunnya penilaian kinerja yang sesuai dengan sasaran dengan memperhatikan tugas fungsi sebagai pejabat fungsional akan dijadikan juga dasar pengembangan karier dan pengembangan kompetensi,” ujar Sukadji. Dengan kinerja yang unggul, peningkatan kualitas, dan kapasitas, akan mewujudkan birokrasi yang efektif dan menjalankan sistem pemerintahan yang gesit dan lincah di dalam mengikuti perubahan yang terjadi. Pada kesempatan tersebut, Sukadji mengimbau seluruh pejabat fungsional untuk melakukan penyusunan sasaran kinerja di awal tahun sebagai rencana kinerja dan target yang akan dicapai setiap tahun.

“Penyusunan penilaian kinerja sesuai yang diamanatkan haruslah objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan dengan memperhatikan hasil dan manfaat yang dicapai, melalui penyusunan penilaian kinerja yang tepat,” tutur Sukadji.

Analis Kebijakan Madya selaku Koordinator Manajemen Kinerja SDM Aparatur, Deputi SDM Aparatur, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Agus Yudi Wicaksono, M.PP. menjelaskan mengenai Sistem Manajemen Kinerja yang terdiri dari empat tahapan, yakni Perencanaan Kinerja, Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pembinaan Kinerja, Penilaian Kinerja, serta Tindak Lanjut. “SKP (Sasaran Kerja Pegawai) dalam struktur arsitektur sistem manajemen kinerja adalah bagian pertama dari empat bagian, hanya 25% sebenarnya, tetapi secara pelaksanaannya perencanaan kinerja ini bobotnya paling tinggi,” kata Yudi. SKP yang masuk dalam tahap Perencanaan Kinerja memiliki bobot paling tinggi karena pada tahapan tersebut dilakukan perencanaan kinerja yang terkait dengan kontribusi terhadap kinerja unit kerja atau atasan.

Selama ini seringkali Kemenpan RB mendapat kritik bahwa kinerja pegawai tidak bisa diukur keterkaitannya dengan kinerja organisasi karena sering kali kinerja unit kerjanya tidak tercapai, tapi kinerja pegawainya bisa sangat baik. Oleh karena itu, ke depannya hal tersebut yang akan ditransformasikan. “Tidak hanya kita melakukan perencanaan kinerja, tapi bagaimana nanti dalam SKP ketika tahun berjalan itu kemudian bisa di-improve berdasarkan tinjauan kemajuan kinerja,” kata Yudi.

Lebih lanjut Yudi menegaskan bahwa ke depannya SKP akan berkembang terus karena visi ke depan bukan penilaian kinerja, tapi bagaimana mengembangkan kinerja individu. Sehingga setiap individu diharapkan akan selalu menyesuaikan dengan ekspektasi yang ingin dicapai di unit kerja atau ekspektasi dari pimpinan. Yudi mengatakan bahwa SKP akan bertransformasi menjadi semacam buku saku yang setiap saat bisa ditambahkan dan setiap saat bisa di reviu oleh pimpinan kerja. “Di situlah proses on going feedback dari atasan menjadi sangat penting untuk mengembangkan kinerja kita,” kata Yudi menjelaskan mengenai tahap Pelaksanaan, Pemantauan, dan Penilaian Kinerja. Dalam tahapan ini juga ada dialog kerja guna mengatasi kinerja yang buruk dan mengapresiasi kinerja yang baik.

Setelah itu baru dilakukan tahap Penilaian Kinerja yang dilakukan tahunan sebagai final reviu yang kemudian akan memperlihatkan apa saja bukti yang sudah dihasilkan pegawai. Ke depan penilaian kinerja atau pun tinjauan kinerja basisnya adalah evidence jadi tidak hanya dilaporkan apa yang ada di SKP, tapi harus didukung bukti. Bukti tersebut tidak harus bentuk barang, tapi bisa memanfaatkan teknologi informasi seperti foto atau dokumen yang diunggah. “Jadi, ke depan kinerja kita basenya base evidence, bukti kinerja kita,” kata Yudi. Masih dalam tahap Penilaian Kinerja, akan dilakukan pemeringkatan kinerja untuk mengapresiasi pegawai yang kinerjanya sangat baik untuk nantinya bisa diusulkan masuk ke dalam talent pool instansi yang selanjutnya bisa diajukan pada talent pool nasional. “Jadi ke depan pola karier ASN itu akan terbuka,” ujar Yudi.

Tahap terakhir adalah Tindak Lanjut yang terbagi dua, yakni pemberian penghargaan terhadap kinerja dan memberikan sanksi untuk kinerja yang buruk. Namun, sanksi adalah opsi terakhir untuk kinerja yang buruk karena manajemen kinerja ke depannya tidak untuk menakut-nakuti pegawai, tapi harus diawali peringatan kepada personel yang tidak ada keinginan untuk bertransformasi.

“Keberhasilan dari kinerja unit kerja yang didukung oleh kinerja individu itu sangat tergantung dari leadership. Untuk itu, sangat diharapkan para atasan harus bisa memimpin dialog kinerja, ada ekspektasi kinerja dan strategi pencapaian kinerja,” kata Yudi. Oleh karena itu, Yudi menegaskan bahwa pentingnya kepemimpinan dalam pengelolaan kinerja menuntut atasan untuk mampu memimpin dialog kinerja bersama bawahan, menyampaikan ekspektasi kinerja dan strategi pencapaian kinerja, dan selama pelaksanaan kinerja diharapkan dapat memberikan ongoing feedback kepada pegawai yang dipimpinnya sehingga peran dari individu akan sangat kaya.


Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si. dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) memberikan ceramah kepada Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23, Rabu (4/8). Pada kesempatan tersebut Seto Mulyadi mengangkat tema “Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Saat Pandemi” dan Hasto Wardoyo mengangkat tema “Kearifan Lokal Pembangunan Keluarga (Beragama, Berbudaya dan Produktif) di masa Pandemi Covid-19”.

Ketua Umum LPAI Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si. dalam paparannya mengatakan saat ini beberapa anak menyukai belajar secara daring di tengah pandemi Covid-19, tetapi sebagian besar juga mengalami kesulitan. Anak-anak yang mengalami kesulitan tersebut ada yang sampai tertidur karena kelelahan belajar dari pagi sampai siang menatap layar berjam-jam dan mata yang juga terganggu hingga akhirnya memakai kacamata. “Berbagai materi calistung, matematika, dan sebagainya terasa begitu abstrak akhirnya anak-anak sering pusing tujuh keliling,” ujarnya. Seto Mulyadi juga mengatakan akibat dari hal tersebut membuat orang tua menjadi stres sampai anak-anak menjadi jenuh sehingga hasil belajar menjadi tidak optimal.

Lebih lanjut, Seto Mulyadi mengatakan masalah lain pada saat pembelajaran daring terhadap anak adalah tidak memiliki handphone, susah sinyal, terbatasnya kuota, mata lelah, pelajaran sulit, dan membosankan sehingga memicu konflik dalam keluarga yang akibatnya menciptakan berbagai kekerasan terhadap anak. Survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) akibat dari pembelajaran daring saat ini sebanyak 13% anak mengalami depresi, bahkan beberapa di antaranya dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi yang diakibatkan. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), muncul juga kekerasan secara fisik terhadap anak, yakni 56% dimarahi, 35% dibandingkan, dan 23% dicubit.

Secara psikologis pada dasarnya semua anak-anak senang belajar hal baru, senang berteman, senang tantangan, senang bermain dan senang menciptakan sesuatu yang kreatif. Namun, sebagai orang tua dan guru kadang lupa akan hal bahwa dunia anak adalah dunia bermain, secara psikologis bermain berguna untuk merangsang berbagai aspek perkembangan mulai dari motorik, sosial, emosional, moral, dan kreativitas. “Mohon, belajar pada anak tidak harus dengan cara-cara kekerasan dan orang tua dapat menjadi sahabat sekaligus idola anak,” ujar Seto Mulyadi.

Seto Mulyadi juga menyampaikan permintaan kepada orang tua untuk menciptakan suasana belajar dalam keluarga yang lebih ramah anak. Secara medis screen time untuk kesehatan mata anak ada batasnya, yaitu anak TK tidak boleh lebih dari 1 jam menatap layar dan anak SD tidak boleh lebih dari 1,5 jam. Jika terjadi terus menerus, bisa mengakibatkan mudah pusing hingga terganggu konsentrasi. Seto Mulyadi juga menyarankan belajar di rumah dengan guru pengganti, yaitu orang tua, saudara, kakek, atau nenek.

Kemudian Seto Mulyadi membahas mengenai makna pendidikan. Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 Ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. “Makna Pendidikan menumbuhkan sesuatu dari dalam dan bukan mengisi kepala anak dengan berbagai hafalan saja,” ujarnya.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) yang menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat sebelum pandemi Covid-19 adalah mewujudkan SDM berkualitas dalam rangka memasuki era bonus demografi. “Kita harus berubah dengan tantangan ini dengan revolusi mental,” kata Hasto. Era bonus demografi merupakan suatu keadaan penduduk yang masuk ke dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah berkisar antara 15 hingga 64 tahun. Beberapa negara maju umumnya menjadi sejahtera dan menjadi kaya pada saat melewati celah bonus demografi.

Namun, menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 27,6% remaja di Indonesia mengalami stunting, yang artinya daya pikir dan fisik tidak optimal, kemudian hari tuanya mudah kena penyakit sehingga tidak produktif.

Pandemi Covid-19 berdampak pada keluarga dan menambahkan tantangan yang dihadapi. Berdasarkan data dari Bank Dunia selama pandemi Covid-19 di Indonesia, sebanyak 24% berhenti bekerja pada awal bulan Mei 2020 dan 64% pencari nafkah yang berprofesi di bidang non-pertanian dan berkecimpung di usaha mikro dan kecil, mengalami penurunan pendapatan dan 2 juta anak-anak balita di Indonesia di bawah lima tahun terancam wasting atau kurus kemudian bisa menjadi stunting. 

Selain hal tersebut, pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap kenaikan kematian ibu, bayi dan balita karena sulitnya mencari pertolongan di tengah kondisi yang sedang terjadi. Kematian ibu pada 2020 sebesar 4,432 kasus, dibanding 2019 yang sebesar 4,197 kasus. Kasus kematian bayi pada 2020 sebesar 44,352 kasus. Hal tersebut mengalami kenaikan kasus kematian pada balita di tahun 2019 sebesar 26,089 kasus. Sama seperti kematian bayi, kematian balita pada tahun 2020 juga mengalami kenaikan yang signifikan dibanding 2019, sebesar 7,246 pada tahun 2020 dan 2,859 pada tahun 2019. “Ini adalah dampak yang perlu kita sadari bersama supaya kita punya empati yang tinggi bahwa ternyata angka kematian meningkat, baik ibu dan balita,” ujar Hasto.


Seluruh peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) melaksanakan Olah Sistem Manajemen Nasional (Olah Sismennas) ke 50 secara virtual. Olah Sismennas ke 50 PPRA 62 Lemhannas RI Tahun 2021 mengangkat tema “Koordinasi Lintas Sektoral Aparatur Pemerintahan dan Instansi Terkait dalam Menghadapi Pemulihan Ekonomi Nasional di Tengah Penyelesaian Pandemi COVID-19”. Olah Sismennas tersebut dilaksanakan mulai Selasa, 3 Agustus 2021 sampai dengan Jumat, 6 Agustus 2021.

Direktur Operasional Pendidikan Kedeputian Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI Marsma TNI Maman Suherman, M.A.P. dalam laporannya menyampaikan empat sasaran Olah Sismennas. Pertama, peserta PPRA 62 memahami dan mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dari seluruh bidang studi yang diperoleh selama mengikuti pendidikan di Lemhannas RI. Kedua, peserta memahami dan mampu membuat kebijakan strategis dan rekomendasi kebijakan dalam mewadahi para pemangku kepentingan dalam rangka memecahkan permasalahan nasional yang faktual secara komprehensif dengan terlebih dahulu merumuskan dan menginventarisasi pokok persoalan.

Ketiga, peserta memahami dan mampu melakukan koordinasi lintas sektoral, baik antarinstansi secara horizontal maupun vertikal, melalui proses mekanisme pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif pada tingkat nasional, regional, maupun global. Keempat, peserta mampu mengambil keputusan dalam kondisi kritis atau terbatas baik dari aspek maupun waktu sarana dan prasarana yang tersedia.

Dalam Olah Sismennas ke 50 tersebut, sebanyak 80 orang peserta PPRA 62 Lemhannas RI disusun dalam 13 Kementerian, yakni Kemnaker, Kemendag, Kemenperin, Kementan, Kementerian BUMN, Kemenkop dan UMKM, Kemenkeu, Kemendesa PDTT, Kemenkes, Kemensos, Kemenhub, Kemenparekraf, dan Kementerian Investasi/BKPM. Kemudian sejumlah Tenaga Ahli Pengajar, Tenaga Ahli Pengkaji, dan Tenaga Profesional akan berperan sebagai kelompok DPR, kelompok Satgas Covid-19, dan Kelompok Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional.

“Olah Sismennas merupakan salah satu metode yang dikembangkan oleh Lemhannas RI dalam proses belajar mengajar bagi para peserta Program Pendidikan Regular maupun Program Pendidikan Singkat,” kata Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. Lebih lanjut Sugeng menegaskan bahwa kegiatan Olah Sismennas pada prinsipnya adalah latihan simulasi hubungan kerja sama koordinasi dan sinkronisasi antarkementrian/lembaga untuk menghasilkan dan mengoperasionalkan suatu kebijakan pemerintah. Melalui Olah Sismennas diharapkan kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat terselenggara secara sinergis, efektif, dan efisien, serta membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Kegiatan Olah Sismennas dimaksudkan untuk mentransformasikan pola pikir yang bulat dan utuh dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengungkapkan kedekatan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Selain itu dimaksudkan juga untuk melatih para peserta PPRA 62 agar dalam proses penyelenggaraan negara mampu mengambil keputusan dalam kondisi kritis serta mampu membuat kebijakan strategi dalam rangka memecahkan permasalahan nasional yang faktual secara komprehensif dan integral.

Skenario Olah Sismennas menggambarkan dinamika kehidupan nasional yang diasumsikan, namun tetap logis. “Situasi yang dimunculkan dibangun sedemikian rupa sehingga tercipta kesamaan cerita dengan keadaan yang sesungguhnya,” ujar Sugeng. Di samping itu, dimunculkan juga dinamika yang mempengaruhi kehidupan nasional yang digambarkan oleh dinamika eksternal dan internal sehingga pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia menjadi lebih dinamis yang disesuaikan skenario yang telah direncanakan.

Sebagai upaya untuk mendapatkan sistem evaluasi penilaian bagi peserta yang objektif dan hadir, pada Olah Sismennas ke 50 PPRA 62 ini Lemhannas RI mencoba mengembangkan olah evaluasi Olah Sismennas yang diambil produk perorangan maupun kelompok.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749