Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) mengadakan Round Table Discussion (RTD) Kajian Jangka Panjang “Mencari Solusi Komprehensif bagi Penyelesaian Masalah Papua” pada Kamis (12/8). Hadir tujuh narasumber dalam RTD tersebut, yakni Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kemenko Polhukam RI Mayjen TNI Hilman Hadi, S.IP., M.B.A., M.Han.,  Pakar Sosial Budaya dan Pendidikan J. Sudrijanta, S.J., Penelitian Senior LIPI Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc.Sc., Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Laksdya TNI (Purn) Freddy Numberi, Guru Besar Fakultas Hukum UI Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, S.H., M.Si., dan Pengamat Papua/Mantan Dubes Indonesia untuk Australia dan Tiongkok Prof. Dr. Imron Cotan.

“RTD ini merupakan salah satu tahapan kegiatan Pengkajian Strategik Lemhannas RI untuk mengakomodasi ide-ide cerdas dan pemikiran strategis dari para narasumber termasuk juga mengakomodasi saran masukan dari para peserta diskusi,” kata Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas RI Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. dalam laporannya kepada Gubernur Lemhannas RI. Ide-ide cerdas dan pemikiran strategis tersebut akan diakomodasikan oleh tim penyusun kajian Lemhannas RI yang kemudian dijadikan bahan masukan dalam bentuk rekomendasi dan saran kebijakan kepada Presiden RI.

“Perlu kejujuran dari sisi pemerintah dan perlu kejujuran juga dari sisi perspektif Papua. Jadi di sini kita tidak bisa hanya berada pada posisi normatif, hanya dalam posisi untuk menyalahkan pihak yang kita hadapi dan memberi justifikasi kepada pihak kita sendiri,” kata Agus. Menurut Agus, apabila memang posisi itu yang masih digunakan,  maka dapat dikatakan tidak akan lahir ide-ide cerdas dan pemikiran strategis.

Agus juga menegaskan bahwa satu hal yang juga harus dipegang teguh adalah apapun persoalan yang ditemukan, perspektif yang digunakan akan menuju kepada kepentingan bersama. Oleh karena itu, hendaknya digunakan pendekatan kepentingan kebangsaan yang berdasarkan pada 4 Konsensus Dasar Bangsa. Bagaimana pun berbedanya pendapat, jika masih berdasarkan 4 Konsensus Dasar Bangsa maka masih berada dalam jalur yang benar.

Pada kesempatan tersebut, Agus juga menuturkan bahwa diskusi-diskusi mengenai Papua memang sudah sering diadakan, namun sering juga dalam diskusi tersebut hanya untuk mendengarkan kata-kata klise. “Kita harus sampai kepada pembahasan dan indikator konkret dari istilah-istilah yang klasik itu. Kita tidak mau hanya berujung pada istilah klasik normatif, tetapi kita menemukan ide-ide cerdas dan pemikiran yang strategis,” ujar Agus.

Agus berpendapat bahwa fenomena proses akan selalu berangkat dari proses sebab akibat. Oleh karena itu, harus ditemukan penyebab konkret dari masalah yang ada sehingga dapat ditemukan solusi konkret. “Kita tidak memerlukan berpuluh-puluh halaman penuh dengan nomenklatur-nomenklatur normatif yang sudah sering kita dengar dan yang sifatnya itu klasik, tidak. Kita ingin adanya argumentasi konkret untuk mencapai solusi-solusi konkret,” tutur Agus.

Diharapkan dari RTD tersebut muncul temuan yang lain daripada yang lain, tidak hanya mengulangi temuan yang sudah sering disampaikan. Harus muncul dengan sesuatu yang baru dan hal baru tersebut komprehensif dan sifatnya konkret.

 


Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo memberikan pembekalan kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62  dengan tema “Anatomi Sistem Keamanan Nasional” pada Jumat (6/8).

“Tujuan pembekalan saya adalah memberikan pemahaman tentang perkembangan sistem keamanan nasional di Indonesia,” ujar Agus. Makna tentang keamanan terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, yaitu Keamanan Antarbangsa, Kebangsaan Nasional (dalam negeri), dan Keamanan Insani (human security) yang ditujukan dalam negeri yang bersifat lingkup insan.

Keamanan Antarbangsa terdiri dari keamanan regional dan keamanan bersama bersifat Internasional. Keamanan Antarbangsa adalah keamanan secara keseluruhan bagi bangsa. Di dalam Keamanan Nasional ada Keamanan Dalam Negeri dan juga berkaitan dengan keamanan serta ketertiban masyarakat yang sifatnya untuk menjaga keamanan dalam masyarakat terhadap gangguan-gangguan fisik kecil. Di samping itu juga berkembang Keamanan Insani (human security) agar bebas dari ancaman fisik maupun non-fisik.

Lebih lanjut Agus menyampaikan peran otoritas militer dan peran otoritas sipil. Peran otoritas militer adalah menentukan strategi atau cara militer untuk mencapai tujuan politik, mematuhi Undang-Undang dan loyal kepada otoritas politik, serta melaksanakan manajemen internal untuk menjamin kesiapan operasional. Sedangkan peran otoritas sipil adalah merumuskan kebijakan, membuat keputusan pengarahan militer, menentukan tujuan pengerahan, menentukan tingkat kekerasan, menentukan strategi nasional, serta melakukan kontrol demokratis dan oversight.

Dalam kesempatan tersebut Agus juga menyampaikan hubungan sipil-militer yang menentukan dua kontrol demokratis, yakni kontrol subjektif dan objektif. Kontrol subjektif adalah kontrol sipil dengan kepentingan sipil untuk mendapatkan dukungan politik militer. “Dilihat dari subjektivitas kepentingan,” kata Agus. Sedangkan kontrol objektif adalah kontrol sipil dengan memberi keleluasaan profesional kepada militer untuk melakukan manajemen internal dalam rangka mencapai kesiapan operasional disertai rambu-rambu kontrol demokratis.

Pada prinsip-prinsip tataran kewenangan, fungsi keamanan nasional secara klasik diartikan mencakup fungsi diplomasi, pertahanan, dan penegakan hukum yang dapat diartikan sebagai fungsi keamanan dalam negeri. Sedangkan fungsi pertahanan merupakan fungsi pemerintahan yang selalu bersifat nasional, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan tidak pernah diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini juga berkaitan dengan fungsi penegakan hukum, merupakan fungsi utama pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dengan berbagai aparat penegak hukum sebagai institusi pelaksana fungsi.

Lebih lanjut Agus menambahkan sistem keamanan nasional dalam masyarakat Indonesia modern dan demokratis mengamanatkan garis batas yang jelas dalam spektrum keamanan nasional. “Dalam spektrum keamanan nasional, pertahanan negara menjadi tanggung jawab pemerintah pusat sedangkan penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” ujar Agus.


Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Asrena Kasau) Marsekal Muda TNI Dr. Ir. Purwoko Aji Prabowo, M.M., M.D.S. memberikan pembekalan kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 Lemhannas RI dengan mengangkat tema “Kebijakan dan Strategi Pembinaan Kekuatan TNI AU”, Senin (9/8).

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 10, sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, TNI AU harus dapat menjadi kekuatan inti “National Air Power” atau Kekuatan Udara Nasional. Tugas utama TNI AU adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara kedaulatan negara atau yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Pada kesempatan tersebut Purwoko Aji menjelaskan Perkembangan Lingkungan Strategis (Balingstra) bahwa segala kegiatan dalam perkembangan dan kekuatan akan berpengaruh langsung kepada isu global mulai dari politik global, ekonomi global, terorisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kejahatan lintas negara, dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK).

Purwoko Aji juga menyatakan bahwa pembangunan postur kemampuan dan kekuatan TNI AU tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 10 tentang tugas-tugas TNI AU. Dalam pembinaan kemampuan sampai penggunaan kekuatan diarahkan untuk tercapainya sasaran kemampuan dan kekuatan TNI AU yang profesional.

Selanjutnya Purwoko Aji menyampaikan permasalahan dan kendala dalam pemenuhan alutsista. Salah satunya adalah fasilitas Kredit Ekspor memiliki birokrasi panjang dan lambatnya proses dari setiap simpul pengadaan yang menyebabkan pengadaan alutsista memerlukan waktu lama. “Saat ini pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu penyebab keterlambatan alutsista,” kata Purwoko Aji. Guna mengatasi hal tersebut, TNI AU melakukan upaya di antaranya adalah meningkatkan koordinasi dengan Badan Sarana Pertahanan (Baranahan) Kemhan untuk mempercepat penyelesaian proses pengadaan alutsista dan mempertimbangkan pemilihan alutsista untuk menghindari embargo.


Sebagai kelanjutan dari Diskusi Menjelang Jakarta Geopolitical Forum V Tahun 2021 (JGF V/2021) beberapa hari lalu, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia kembali menyelenggarakan Diskusi Menjelang JGF V/2021 yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at The Crossroads”, Jumat (6/8). Hadir dalam diskusi tersebut sebagai narasumber Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rm. Franz Magnis Suseno, Rm. Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., Lukas Luwarso, Nyoman Nuarta, dan Paulus Tri Agung Kristanto.

Diskusi tersebut diselenggarakan guna menentukan para narasumber internasional pada JGF V/2021 dan diharapkan para narasumber nasional yang hadir dalam diskusi dapat menyarankan narasumber internasional yang merupakan spesialis dalam bidang masing-masing. Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjelaskan peta kerangka forum yang akan diselenggarakan sehingga semua narasumber mempunyai gambaran untuk menempatkan peran dirinya dalam peta tersebut.

“Budaya itu dibentuk dari individu, maka budaya itu dibentuk dari perilaku individu orang per orang,” kata Agus. Oleh karena itu, apa yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari budayanya karena budaya terbentuk dalam waktu yang lama pada masa lampau.

Agus berpendapat bahwa kondisi saat ini dipengaruhi oleh dua aspek yang sangat dominan, yakni pandemi Covid-19 dan era digital. Oleh karena itu, penting mengetahui implikasi pandemi Covid-19 dan era digital bagi manusia sebagai makhluk sosial. “Manusia sebagai makhluk sosial sangat dihalangi dengan adanya pandemi Covid-19, apa implikasinya dan seberapa jauh pengaruh ke masa depan dan membekas kepada manusia sebagai makhluk sosial,” ujar Agus.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa ada satu lapisan masyarakat baru yang tidak tumbuh dalam gerakan sosial demokrasi, tapi datang sebagai kekuatan yang warnanya sebagian berasal dari gerakan transnasional. Lapisan ini tidak paham kondisi sejarah budaya Indonesia. “Pendatang-pendatang baru tadi mereka tidak paham tentang budaya, tentang negara, tentang Pancasila, dan ini jumlahnya membesar,” kata Prof. Komaruddin. Jika terus membesar dan mereka merasa pemerintah tidak memberikan pemerataan pendidikan, penegakan hukum, dan kesejahteraan, maka lapisan tersebut dapat menjadi maunisi bagi kekuatan-kekuatan yang anti negara.

Dalam pengusulan nama narasumber internasional pada JGF V/2021, Prof. Komaruddin mengusulkan nama Robert Hefner dan Kishore Mahbubani. Prof. Komaruddin mengusulkan Robert Hefner karena merupakan orang dari luar Indonesia tetapi memahami antropologi budaya Indonesia. Sedangkan Kishore Mahbubani diusulkan karena merupakan seorang yang terlibat dan berhasil membangun gambaran Singapura dari yang dikenal sebagai tempat transit dan berbelanja, dalam waktu singkat berhasil mengubah gambaran dan dikenal menjadi pusat keilmuan, tempat rekreasi, bahkan mediator politik antara pemimpin barat dan timur.

Memulai paparannya, Rm. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno menyampaikan ramalan Yuval Noah Harari yang menyatakan bahwa dalam 30 sampai 40 tahun lagi diperkirakan 50% umat manusia akan menjadi tidak relevan dengan keadaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan sebagian negara di dunia juga menjadi tidak relevan. Menurut Rm. Magnis, hal tersebut merupakan suatu mimpi buruk luar biasa.

“Indonesia tidak boleh ada kelompok yang ketinggalan,” kata Rm. Magnis. Lebih lanjut Rm. Magnis menyatakan bahwa bangsa Indonesia akan pecah jika hanya mementingkan suatu kelompok. Misalnya dijalankan kebijakan ekonomi yang membuat orang kaya makin kaya, padahal dapat dikatakan bahwa 50% masyarakat adalah orang yang kesejahteraannya di tingkat sejahtera, bahkan kurang sejahtera. Hal tersebut akan memecah bangsa secara vertikal dan cita-cita negara memajukan kesejahteraan umum akan gagal. Apalagi di situasi pandemi Covid-19, bagian masyarakat yang merasa tertinggal akan merasa karena tidak bisa membayar maka lebih banyak yang menjadi korban. Hal tersebut merupakan hal yang berbahaya.

Dalam kesempatan tersebut, Rm. Magnis memang tidak menyebutkan nama secara spesifik untuk menjadi narasumber. Namun, Rm. Magnis menyatakan dukungannya jika narasumber adalah orang asing yang dalam hatinya sudah tidak asing dengan Indonesia sehingga bisa memberikan masukan.

Rm. Dr. Baskara T. Wardaya, S.J sebagai narasumber selanjutnya menyatakan dukungan kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat yang mengusulkan nama Robert Hefner. Menurut Rm. Baskara, Robert Hefner penting untuk dihadirkan karena sudah sangat banyak melakukan penelitian. Tulisan-tulisan yang dihasilkan Robert Hefner tidak hanya berdasarkan opini, namun berdasarkan penelitian langsung di lapangan. “Selain intelektual yang ahli mengenai Indonesia, saya kira juga penting kita hadirkan (karena) beliau ini hatinya juga ada di Indonesia,” kata Rm. Baskara.

Selain mengusulkan nama Robert Hefner, Rm. Baskara juga mengusulkan nama Yuval Noah Harari yang sebelumnya juga disebutkan oleh Rm. Magnis. Menurut Rm. Baskara, kehadiran Yuval Noah Harari sebagai narasumber dalam JGF V/2021 dapat memberikan penglihatan mengenai peradaban dari suatu sudut pandang yang sangat global termasuk ancaman dan peluang sebagai bangsa. “Kalau kita bisa menghadirkan dia, kita akan punya gambaran yang lebih luas sekaligus mendasar bukan hanya sebagai bangsa, tetapi sebagai manusia sebagai makhluk biologis di planet bumi ini,” kata Rm. Baskara.

Selanjutnya Rm. Baskara juga mengusulkan nama Anthony Reid, yakni seorang profesor dari Australian National University karena Anthony Reid banyak menulis mengenai Indonesia dalam konteks Asia Tenggara. Usulan nama narasumber terakhir yang diberikan Rm. Baskara adalah Jeffrey Winters yang banyak melakukan penelitian mengenai Indonesia dan banyak menuliskan buku-buku yang menarik.

Pada kesempatan tersebut, Lukas Luwarso yang juga hadir mengusulkan beberapa nama, yakni Steven Pinker, Fareed Zakaria, Arundhati Roy, dan Rutger Bregman. Usulan nama Steven Pinker tercetus karena Lukas Luwarso menilai JGF V/2021 memerlukan narasumber hebat yang sudah kelas dunia. Steven Pinker sudah menulis beberapa buku yang sangat bagus, bahkan salah satu bukunya yaitu The Better Angels of Our Nature menuliskan manusia semakin meninggalkan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan persoalan dari perjalanan sejarah dan menunjukkan data bahwa manusia bisa bekerja sama.

Kemudian Fareed Zakaria juga dinilai sangat bagus untuk menjadi narasumber dalam tema JGF V/2021. Saat ini Fareed Zakaria menjadi intelektual yang juga menjadi wartawan. Salah satu bukunya menjelaskan bagaimana dunia setelah era pandemi. Selanjutnya Arundhati Roy diusulkan menjadi salah satu narasumber dalam JGF V/2021 karena Arundhati Roy adalah seorang penulis yang sangat bagus dalam hal-hal kecil yang bisa mempengaruhi peradaban dan kebudayaan. Terakhir adalah Rutger Bregman, seseorang yang bukunya sering dibandingkan dengan buku Yuval Noah Harari. Buku tulisan Rutger Bregman, yakni Human Kind A Hopeful History adalah buku yang mencoba memaparkan sejarah peradaban manusia berkebalikan dengan homo sapiens. “Jadi kesalahan manusia, peradaban manusia ini, adalah selalu berpikir negatif tentang kemanusiaan, tentang manusia,” kata Lukas Luwarso.

Nyoman Nuarta mengusulkan nama Zong Kuto dari Prancis karena dinilai paham dengan Indonesia dan budaya kesenian Indonesia. “Saya merasa dia paham betul dengan budaya kita,” kata Nyoman Nuarta. Selain itu, Nyoman Nuarta juga mengusulkan nama Ai Weiwei seorang seniman dari Cina. Menurut Nyoman Nuarta, dari Ai Weiwei bisa didapatkan informasi dan pandangan langsung dari seseorang yang mengalami masa transisi dari Cina yang seperti dulu hingga menjadi seperti sekarang. Nama lain yang diusulkan Nyoman Nuarta adalah James Bridle, yakni penulis buku New Dark Age: Technology and the End of the Future.

“Industri 4.0 menurut saya sudah di ujung dari perjalanannya,” kata Paulus Tri Agung Kristanto selaku narasumber terakhir. Lebih lanjut Paulus mengusulkan nama Perdana Menteri Jepang periode tahun 2012-2020 Shinzo Abe. Hal tersebut dilatarbelakangi ketertarikan Tri dengan pernyataan Shinzo Abe pada World Economic Forum Tahun 2019 yang menyatakan bahwa Jepang dan rasanya dunia sudah harus masuk pada era yang disebut Society 5.0. Kesadaran atas hal tersebut dikarenakan Jepang mulai merasakan banyak orang-orang tua dalam keluarga Jepang yang makin menua dan butuh layanan kesehatan tapi punya keterbatasan fisik. Sehingga dikembangkanlah teknologi untuk membantu dalam bentuk telemedicine.

Tri mengusulkan Shinzo Abe agar ada narasumber yang dapat menggambarkan situasi simpang jalan manusia menuju apa yang disebut dengan Society 5.0. “Saya mengusulkan pembicara salah satunya adalah Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang supaya bisa memberikan gambaran kepada kita tentang simpang jalan peradaban itu menuju penghargaan yang lebih tinggi kepada manusia,” kata Tri. Selain Shinzo Abe, Tri juga mengusulkan Satya Nadella yang berasal dari India sehingga memiliki kedekatan dalam lingkup Asia dan memiliki kemampuan untuk bicara tentang bagaimana teknologi membantu manusia menemukan peradaban berikutnya dalam konteks yang lebih manusiawi.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749