Sesi pleno pertama Jakarta Geopolitical Forum VIII/2024 pada 25 September 2024 yang mengangkat topik “Geopolitics and Maritime Whole-Of-Government in The Region” diawali dengan pidato pemicu oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. “Kami memahami bahwa laut adalah milik bersama yang penting bagi konektivitas serta perdagangan maritim, dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) memastikan penggunaan yang adil atas milik bersama maritim. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak untuk mematuhi semua aspeknya.
Lebih lanjut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyampaikan bahwa komitmen Indonesia sangat kuat dalam menegakkan hukum internasional dan mendorong tatanan berbasis aturan ditunjukkan melalui kepatuhan terhadap UNCLOS. Guna memperkuat tatanan berbasis aturan maritim dan mengatasi tantangan keamanan maritim, seluruh pihak harus fokus untuk mengatasi kontestasi maritim, melihat perampokan bersenjata, dan tantangan yang muncul dari digitalisasi global termasuk keamanan siber maritim. Dibutuhkan kolaborasi, kepercayaan membangun, dan koordinasi yang erat sangat penting untuk melindungi kepentingan bersama dan menjamin keamanan maritim.
Dalam mewujudkan hal tersebut, Indonesia mengedepankan tiga pendekatan. Pertama, menetapkan mekanisme operasional di laut. Kedua, memprioritaskan kerja sama praktis melalui latihan bersama dan berbagi informasi. Ketiga, menumbuhkan platform dialog yang terbuka dan inklusif. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengingatkan bahwa pendekatan-pendekatan tersebut yang akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan keamanan maritim. “Saya sangat yakin bahwa kesejahteraan dunia di masa depan bergantung pada cara kita mengelola keamanan maritim melalui kerja sama internasional,”
Chargé d’affaires EU Delegation to Indonesia Mr. Stéphane Mechati menjelaskan bahwa terdapat persaingan geopolitik yang semakin ketat di kawasan Indo-Pasifik serta kendala dan bahaya yang dapat timbul dari potensi ketidakstabilan. Kondisi tersebut mempunyai konsekuensi yang luas bagi Eropa secara ekonomi dan politik, ketika beberapa aktor negara masuk bahkan secara tidak langsung ke dalam keamanan Eropa. Tentunya hal tersebut menimbulkan konsekuensi bagi hubungan Uni Eropa dengan Indo-Pasifik. Oleh karena itu, tata kelola laut harus sepenuhnya mematuhi hukum internasional, terutama UNCLOS 1982, untuk menciptakan keamanan maritim di kawasan.
Mengenai isu-isu Maritim, Uni Eropa telah mengembangkan kerangka kebijakan yang memberikan pandangan baru dan serangkaian tindakan nyata. Mr. Stéphane Mechati menyampaikan bahwa kerangka kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan Uni Eropa di Laut serta melindungi perekonomian warga negara, infrastruktur, dan perbatasan Uni Eropa.
“Kami ingin menegakkan hukum internasional khususnya UNCLOS. Kami ingin bereaksi dengan cepat, efektif, dan segera terhadap ancaman yang berkembang seperti dunia maya serta memastikan pelatihan, pendidikan, dan kerja sama yang relevan di antara semua mitra terkait,” ucap Mr. Stéphane Mechati.
Mr. Stéphane Mechati menyadari untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dialog inklusif dengan semua mitra dan melibatkan semua aktor terkait. Diperlukan koordinasi yang erat dari semua pihak, baik negara maupun aktor non negara. “Bekerja sama dengan mereka semua dalam semangat dialog, saling menghormati dan kemitraan yang akan mengarah pada proyek kerja sama yang sangat konkret,” kata Mr. Stéphane Mechati.
Sependapat dengan Mr. Stéphane Mechati, Secretary General of ASEAN Dr. Kao Kim Hourn menyampaikan bahwa tantangan maritim di kawasan bersifat multidimensi dan sangat saling terkait. Oleh karena itu, menangani masalah lintas sektoral secara holistik dan terintegrasi telah menjadi tantangan yang sulit. “Diperlukan upaya yang terkoordinasi diantara berbagai lembaga penegak hukum,” kata Dr. Kao Kim Hourn.
Dr. Kao Kim Hourn menyampaikan bahwa dalam kerangka kerja ASEAN, sifat tantangan maritim yang kompleks dan multi-dimensi menuntut pendekatan masyarakat secara keseluruhan.
ASEAN menyusun tiga strategi dalam merespons isu-isu dalam bidang maritim. Pertama, meningkatkan dialog dan memperkuat kepercayaan strategis di antara negara-negara lain dan mitra eksternal. Menurut Dr. Kao Kim Hourn sangat penting untuk memastikan perdamaian dan stabilitas regional jangka panjang. ASEAN harus melakukan segala upaya untuk mengembangkan dialog dan memprioritaskan saluran komunikasi yang terbuka untuk mengurangi risiko salah perhitungan atau eskalasi yang tidak diinginkan.
Kedua, komitmen berkelanjutan ASEAN terhadap penyelesaian sengketa secara damai yang didasarkan pada UNCLOS 1982. Kerangka hukum tersebut memberikan dasar yang sangat penting untuk mengelola klaim-klaim yang saling bersaing dan mendorong tatanan maritim yang berbasis aturan serta berkontribusi terhadap perdamaian dan keamanan kawasan yang lebih luas. Ketiga, terlepas dari klaim nasional yang bersaing atas wilayah dan yurisdiksi maritim. Dr. Kao Kim Hourn memandang sangat penting untuk menyadari bahwa banyak tantangan maritim yang dihadapi kawasan ini, maka tindakan terkoordinasi menjadi sebuah keharusan.
Dr. Kao Kim Hourn memandang kompleksitas tantangan dalam isu maritim membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi. Perlu diingat bahwa visi strategis yang didasarkan pada dialog dan konsultasi, pembangunan kepercayaan, dan kepatuhan terhadap hukum internasional tetap menjadi pusat dari upaya bersama seluruh pihak. “Kita harus tetap teguh dalam dedikasi kita terhadap dialog, kerja sama, dan resolusi damai tanpa perselisihan dan persengketaan untuk memastikan bahwa perairan kita berfungsi sebagai sumber perdamaian dan kemakmuran, dan bukannya tempat berkembang biak bagi ketidakamanan, persaingan, konfrontasi, dan konflik,” pungkas Dr. Kao Kim Hourn.
Executive Director of Asia – Pacific Development, Diplomacy, and Defence Dialogue (APD4) Ms. Melissa Conley Tyler menyampaikan bahwa dalam dunia yang sulit, kekuatan menengah perlu menggunakan agensinya untuk mengatasi tantangan dengan pendekatan lintas bangsa. “Menurut saya kekuatan menengah bisa dan seharusnya menggunakan agensinya. Saya juga berpikir mereka lebih kuat ketika mereka melakukannya bersama-sama,” ucap Ms. Melissa Conley Tyler.
Lebih lanjut, Ms. Melissa Conley Tyler menyampaikan bahwa dalam pendekatan lintas bangsa, diperlukan gagasan yang jelas terkait tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuan sudah jelas dan dapat dikomunikasikan, maka seluruh pihak dapat berkolaborasi dengan baik. Selanjutnya Ms. Melissa Conley Tyler menyampaikan bahwa penting untuk menyusun struktur berbagai bagian dan perangkat yang terlibat. Kemudian penting untuk melibatkan masyarakat dalam mengatasi isu maritim karena saat ini banyak aktor non-negara yang terlibat.
“Kita harus mencoba meningkatkan dampak kita melalui pendekatan seluruh bangsa, lintas pemerintahan ini. Kemudian kita harus bekerja sama untuk melihat apa yang bisa kita ciptakan,” tutur Ms. Melissa Conley Tyler. Menurut Ms. Melissa Conley Tyler, dunia yang saat ini dalam keadaan sulit dihadapi dibutuhkan kemitraan dengan pihak lain dan mempererat hubungan pertemanan yang bisa dibangun. (NA/CHP)