Cetak

Presiden RI Joko Widodo Menyambut Baik Seminar Nasional PPRA 63 Lemhannas RI

Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 63 Lemhannas RI menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Tantangan Pemilu 2024: Mereduksi Politik Identitas” bertempat di Auditorium Gadjah Mada, Lemhannas RI, pada Selasa (9/8). Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo selaku pembicara kunci hadir secara virtual.

Selain Presiden RI, empat narasumber hadir dalam seminar tersebut, yakni Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dr. Drs. Bahtiar, M.Si., Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informasi Bidang Digital dan SDM Dedy Permadi, Ph. D., dan Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung.

“Pemilu serentak akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi,” kata Presiden RI. Lebih lanjut, Presiden RI menekankan bahwa pemilu serentak bukanlah sekadar menjalankan mandat demokrasi tahun 1998, tapi harus dapat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan demokrasi yang matang. Indonesia telah melakukan lima kali pemilu secara berturut-turut dengan aman, tenang, dan damai. Dua pemilu ke depan, yakni tahun 2024 dan tahun 2029, menjadi tahapan konsolidasi demokrasi Indonesia dengan kelembagaan pemilu sudah semakin kuat sehingga proses penyelenggaraan pemilu lebih disederhanakan dengan melakukan adopsi teknologi digital dan semakin terbukanya ruang partisipasi elektoral untuk aktif berdialog terkait isu-isu strategis.

“Dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024, kita berkomitmen melaksanakannya dengan baik agar demokrasi tetap hidup dan semakin berkualitas, melahirkan pemerintah dengan legitimasi yang kuat,” ujar Presiden RI. Namun, dalam mewujudkan hal tersebut, Indonesia harus menyiapkan diri menghadapi berbagai tantangan seperti masalah teknis persiapan pemilu, partisipasi pemilih, transparansi, dan tata kelola pemilu yang akuntabel, dan masalah kampanye.

Menurut Presiden RI, situasi yang dihadapi Indonesia saat ini membutuhkan komitmen bersama, persatuan dari seluruh pihak, soliditas seluruh elemen bangsa, pemerintahan yang kuat dan tenang yang bekerja dengan sungguh, serta stabilitas politik dan keamanan untuk mengatasi tantangan di masa yang akan datang. Selain itu, para kontestan pemilu juga harus diingatkan agar menjalankan kampanye yang semakin berkualitas dan menyehatkan demokrasi. Presiden RI menekankan agar kampanye yang dilakukan bukanlah kampanye dengan gontok-gontokan yang dapat merusak tatanan bangsa.

“Kita harus memulai kampanye yang mengurangi mobilisasi massa dan memanfaatkan teknologi informasi sehingga melahirkan kampanye yang berintegritas, yang menolak penggunaan politik sara dan politik identitas, yang lebih mengutamakan ide dan gagasan. Karena yang ingin kita bangun bukan demokrasi idola, tapi demokrasi gagasan,” tegas Presiden RI.

Pada kesempatan tersebut, Presiden RI juga menyoroti sesanti kelembagaan Lemhannas RI, yakni Tanhana Dharmma Mangrva. Presiden RI menyampaikan bahwa sesanti tersebut dirumuskan untuk mempersatukan dan memastikan kemajemukan menjadi pilar persatuan dan mengarahkan bangsa Indonesia untuk merajut kebhinnekaan menjadi satu persaudaraan yang abadi. Sejalan dengan hal tersebut, Seminar Nasional PPRA 63 dinilai mengaktualisasikan sesanti tersebut dalam mereduksi politik identitas.

“Saya harap seminar ini menghasilkan kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan baik untuk memperkuat konsolidasi demokrasi dengan merumuskan strategi utama dalam mereduksi politik identitas dan juga melakukan adopsi teknologi dalam infrastruktur digital demokrasi untuk melahirkan pemilu yang lebih baik,” pungkas Presiden RI.

Sependapat dengan Presiden RI, Gubernur Lemhannas RI dalam sambutannya menyampaikan bahwa topik Seminar Nasional PPRA 63 Lemhannas RI di satu sisi menghadirkan peluang saat bangsa Indonesia akan menuju kematangan demokrasi. Namun, di sisi lain akan melahirkan tantangan.

Gubernur Lemhannas RI menekankan bahwa demokrasi merupakan mandat dari sila ke-4 Pancasila, yakni diharuskan menghasilkan sistem pemerintahan yang berbasis kerakyatan dan dilakukan secara musyarawah mufakat. Namun, jangan sampai implementasi sila ke-4 Pancasila tidak mengarah pada penguatan sila ke-3 Pancasila dan menjadi tantangan tersendiri. Sayangnya, politik identitas dapat memperbesar tantangan tersebut.

Dengan melakukan demokrasi sebagai implementasi Sila ke-4 Pancasila yang menguatkan Sila ke-3 Pancasila, bangsa Indonesia akan berhasil menguatkan peradaban politik yang berdasarkan Sila ke-2 dan diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial dengan prinsip keadilan pada Sila ke-5. “Tantangan terbesar kita adalah jangan sampai justru Sila Pertama yang dijadikan dasar dan yang dijadikan senjata tarung utama untuk mengoyak bangsa ini, (malah) dari situlah pengerasan faktor identitas agama bisa terjadi,” ujar Gubernur Lemhannas RI.

Oleh karena itu, Gubernur Lemhannas RI menekankan bahwa diharapkan Seminar Nasional PPRA 63 akan menemukan terobosan kebijakan yang komprehensif dalam mereduksi politik identitas. Gubernur Lemhannas RI menegaskan bahwa dalam seminar tersebut harus berpikir mengenai sistem pemilu, budaya politik, kapasitas lembaga penyelenggara pemilu, dan bagaimana regulasi harus dirumuskan. “Sehingga diharapkan Pemilu, yang merupakan bagian dari kematangan demokrasi dan bagian dari ruang dialog aspirasi publik yang terbuka lebar, akan kuat secara demokrasi prosedural dan dari segi demokrasi substantif,” pungkas Gubernur Lemhannas RI.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Lemhannas RI juga menyampaikan terima kasih kepada narasumber yang hadir dan terutama kepada Presiden RI yang sudah meluangkan waktu untuk memberikan sambutan kunci yang juga menjadi arahan strategis, bukan saja untuk Lemhannas RI tapi untuk semua pihak dalam memastikan konsolidasi demokrasi menuju kematangan politik di 2024 akan tercapai.

Ketua Seminar Kombes Pol. H. Muhammad Sabilul Alif, S.H., S.I.K., M.Si. dalam laporannya menyampaikan bahwa sejak Pemilu 2014 demokrasi Indonesia terus diwarnai praktek politik identitas. Padahal praktek politik identitas tidak hanya berakibat pada miskinnya pertarungan ide dan gagasan yang semestinya menjadi esensi kampanye dan kontestasi pemilu. Namun, juga bisa berdampak jauh lebih buruk yaitu memecah belah bangsa dan memperlambat perkembangan demokrasi di Indonesia.

Menyoroti hal tersebut dan menjelang Pemilu 2024, PPRA 63 Lemhannas RI memandang diperlukan pemetaan masalah dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mereduksi praktek politik identitas. Oleh karena itu, PPRA 63 Lemhannas RI menggagas seminar dengan tema “Tantangan Pemilu 2024: Mereduksi Politik Identitas”. Seminar Nasional PPRA 63 Lemhannas RI bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menjadi latar belakang politik identitas dalam proses Pemilu di Indonesia, melakukan refleksi menguapnya praktek politik identitas dalam penyelenggaraan Pemilu 2014, Pilkada 2017, dan Pemilu 2019 di Indonesia, merumuskan analisis resiko dan ancaman politik identitas terhadap eksistensi dan masa depan demokrasi Indonesia, menyusun langkah-langkah untuk meminimalisir praktik politik identitas di dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 di Indonesia. (NA/CHP)