Selenggarakan FGD Jelang Seminar Nasional, PPRA 23 Lemhannas RI Bahas Kebijakan Sistem Pendidikan Indonesia

Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 Lemhannas RI kembali mengadakan Focus Group Disussion (FGD) Road to Seminar Nasional PPSA 23 Lemhannas RI Tahun 2021 pada Selasa, (14/9). FGD 2 tersebut mengangkat topik “Alternatif Arah Kebijakan Sistem Pendidikan untuk Menghasilkan SDM Unggul Pada Masa Indonesia Emas 2045” dan menghadirkan dua narasumber, yakni Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A serta Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI Mayjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P. dalam sambutannya saat membuka FGD menyampaikan bahwa Indonesia telah memiliki sebuah peta jalan yang akan memandu sektor pendidikan dalam mencapai tujuan pada tahun 2035. Dalam penyusunan peta jalan tersebut, terdapat beberapa sasaran utama yang menjadi pokok perhatian, di antaranya adalah perbaikan atas perbandingan atau tolok ukur terkait penerapan sistem pendidikan dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pada peserta didik. “Kriteria SDM yang ingin dibangun, yakni berkarakter, berakhlak mulia, dan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia serta Pancasila,” kata Sugeng.

Pokok perhatian yang juga menjadi sasaran utama dalam penyusunan peta jalan tersebut adalah penyusunan target-target yang terukur, terutama terkait target angka partisipasi untuk pendidikan dasar, menengah, serta pendidikan tinggi dan hasil belajar yang berkualitas, baik itu perbaikan kualitas guru, perbaikan kurikulum maupun infrastruktur sekolah, dan mewujudkan distribusi pendidikan yang inklusif dan merata serta mendorong reformasi pendidikan. Sugeng juga menyampaikan bahwa salah satu program unggulan dalam kerangka kerja 2020-2035 tersebut adalah program merdeka belajar.

Lebih lanjut Sugeng menyampaikan bahwa Pandemi Covid-19 yang terjadi hampir dua tahun telah memaksa banyak sektor untuk beradaptasi dan berubah, salah satu sektor terdampak paling berat adalah pendidikan. Pada tahun 2020, pandemi telah memaksa sekitar 45 juta siswa Indonesia untuk menjalani pembelajaran jarak jauh. Namun, pembelajaran jarak jauh yang diharapkan sebagai penganti pendidikan tatap muka masih banyak memiliki kendala.

Survei yang dilakukan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) menyebut bahwa 60% guru di Indonesia memiliki kemampuan yang sangat buruk dalam penggunaan teknologi. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2020 kepemilikan komputer hanya sebesar 18,78%. Selain itu, Satgas Ikatan Psikologi Klinis Indonesia juga menemukan bahwa terdapat peningkatan keluhan gangguan psikologis dan belajar yang sangat signifikan, yakni lebih dari 15.000 klien dalam lima bulan pertama pandemi akibat pembelajaran jarak jauh. Sugeng juga menyampaikan data yang dirilis oleh Bank Dunia memperkirakan capaian belajar jarak jauh di Indonesia yang hanya sebesar 33% apabila dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka biasa. Sejalan dengan data tersebut, Programme For International Student Assesment (PISA) memprediksi adanya penurunan skor kemampuan membaca pelajar Indonesia yang akan berakibat signifikan ketika pelajar tersebut memasuki usia kerja.

“Penurunan tersebut selain berakibat sistemik pada prestasi pendidikan anak, juga akan sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia. Selain itu, capaian yang telah dicanangkan dalam peta jalan pendidikan pasti akan mengalami berbagai hambatan,” kata Sugeng. Oleh karena itu, sejalan dengan judul seminar, Sugeng berpendapat perlunya dilakukan evaluasi dan pembaharuan terhadap perencanaan sistem pendidikan di Indonesia.

Sugeng juga mengatakan bahwa sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, sebenarnya sudah terdapat dasar hukum penanaman pendidikan karakter. Namun, dalam kurikulum pendidikan pada semua jenjang pendidikan masih belum terimplementasikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut juga dapat tercermin dalam kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan, sehingga hal ini ditengarai berpengaruh pada kualitas para lulusan tersebut dan integritas para lulusan di semua jenjang pendidikan. “Oleh karenanya, sangat pentingnya pendidikan karakter menjadi prasyarat menghasilkan SDM yang unggul, khususnya menghadapi Indonesia Emas 2045,” kata Sugeng.

Sugeng juga menyampaikan harapannya kepada seluruh Peserta PPSA 23 Lemhannas RI untuk aktif dan berpikir kreatif agar dapat memberikan sebuah gagasan reflektif atas kondisi terkini dan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin pemikiran dan gagasan untuk menemukan solusi dalam memperbaiki dan mengantisipasi loss generation akibat pandemi Covid-19.

Pada FGD tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A mengawali paparannya dengan mengutip pandangan filsuf Inggris yang mengatakan “education has its own object for character formation". “Pendidikan itu tujuan utamanya membentuk karakter,” kata Agus. Lebih lanjut Agus menegaskan bahwa pendidikan bukan membentuk seseorang sekedar pintar ilmu seperti matematika, fisika, atau kimia. “Tidak ada artinya orang itu cerdik, pandai, gelar panjang, tetapi kalau tidak berkarakter,” tegas Agus.

Agus juga berpesan bahwa karakter yang ingin dibangun dan diwujudkan pada manusia Indonesia adalah harus menjaga integritas. “Hidup akan meaningless kalau mengobarkan karakter integritas diri,” kata Agus. Dengan tegas Agus mengatakan tidak bisa berharap ada etos kerja dan ada gotong royong, kalau tidak ada integritas diri. Dalam hal tersebut, penentuan yang bertanggung jawab dalam membangun karakter dapat dikembalikan ke dalam pengertian pendidikan, di mana ada pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. “Rumah tangga harus menjadi induk dari semua sekolah. Jangan pernah berharap semua diserahkan di sekolah, kalau rumah tangga tidak menanamkan sejak awal tentang pembentukan karakter,” kata Agus.

Salah satu rekomendasi yang disampaikan Agus adalah program yang sudah dilakukan di Kemenko PMK, yakni pendidikan pra nikah yang memberikan pemahaman bagaimana untuk menjadi orang tua yang paham menanamkan karakter sejak dini. “Ayah dan ibu harus menjadi guru utama dalam pendidikan putra putrinya,” kata Agus. Kemudian Agus membahas mengenai pendidikan formal dan nonformal dan mengajak setiap peserta FGD untuk menjadi guru dan panutan baik bagi diri sendiri, maupun lingkungan terkecil. Agus berpendapat jika setiap orang dapat menjadi panutan dalam setiap lingkungan terkecil, maka akan mendukung pendidikan karakter. “Setiap kita harus menjadi role model,” kata Agus.

Selanjutnya Agus menyampaikan jika bicara tentang pendidikan, maka instrumen paling penting adalah guru. “Bangunan, infrastruktur bisa dibangun dengan mudah. Kurikulum, bisa kita susun yang bagus. Pendanaan, bisa kita cari. Tetapi the man who inspiring our children is the most important one,” kata Agus. Terutama jika bicara 2045, Agus menegaskan peran guru di sekolah adalah yang akan mengorkestrasi mimpi anak-anak. Oleh karena itu, Agus mengajak setiap individu untuk menjadi guru, mengambil peran dalam pendidikan.

Pada kesempatan tersebut, Agus menyampaikan potret besar luaran pendidikan dan alternatif solusi. Agus menjelaskan bahwa setiap tahun ada 3,7 juta lulusan pendidikan menengah (SMA, SMK, dan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama) dan dari jumlah tersebut 1,9 juta dapat melanjutkan kuliah, sedangkan 1,8 juta lainnya tidak tertampung di perguruan tinggi dan masuk ke pasar kerja. Sejalan dengan hal tersebut, setiap tahunnya Perguruan Tinggi menghasilkan 1,65 juta lulusan Perguruan Tinggi. “Pemerintah, mau tidak mau, harus juga memperluas industrialisasi, undang investasi, yang tidak mudah saat ini,” kata Agus saat menyampaikan data tersebut.

Agus mengatakan bahwa industri saat ini sedang bertransformasi akibat dari pandemi, semakin memanfaatkan digital. Hal tersebut membuat banyak lapangan usaha yang hilang, tapi juga banyak lapangan usaha baru yang muncul. Agus juga mengatakan rekrutmen di level industri semakin sedikit sementara lulusan semakin banyak.

Pandemi Covid-19, memaksa banyak hal berubah menjadi daring. Oleh karena itu, dalam pembangunan manusia juga menyesuaikan menjadi pembangunan SDM digital. Hal tersebut dapat dilakukan melakukan beberapa hal. Pertama, memperluas akses internet Data menunjukkan bahwa masih ada 46.000 dari 260.000 satuan pendidikan yang tidak memiliki akses internet. Agus menegaskan harus ada percepatan agar jurang pemisah antara yang memiliki dan tidak memiliki bisa semakin kecil. Kedua, kapasitas tenaga pendidik juga harus semakin ditingkatkan. Ketiga, kapasitas pendidikan tinggi ditingkatkan supaya semakin banyak yang bisa kuliah dengan kompetensi. “Pastikan mahasiswa punya worthy of knowledge,” kata Agus.

“Ke depan, yang dibutuhkan adalah kemampuan berpikir kritis untuk dapat menyelesaikan persoalan yang kompleks, bukan sekedar menghafal,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro. Oleh karena itu, Satryo menegaskan jika sekolah hanya mengajari menghafal maka tidak ada kemampuan berpikir kritis.

Lebih lanjut Satryo, menyampaikan bahwa Indonesia perlu keluar dari jebakan pendapatan menengah. “Indonesia perlu mengembangkan industri bernilai tambah tinggi, inovatif,” kata Satryo. Kemudian Satryo menyampaikan pengalaman di Eropa, yang sejarah investasinya di bidang inovasi dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai sepuluh kali lipat dalam waktu 25 tahun. Untuk mencapai target peningkatan PDB tersebut di Indonesia, diperlukan modal manusia yang mampu mengatasi tantangan revolusi industri 4.0 dan tantangan global menuju 2045.

“Berdasarkan hasil kajian Bank Dunia tahun 2019, Indonesia masih terkendala dengan rendahnya human capital,” kata Satryo. Dalam Human Capital Index (HCI) yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 87 dari 157 negara. Indeks tersebut menilai negara berdasarkan hasil pendidikan dan kesehatan serta dampaknya terhadap produktivitas. Satryo berpendapat bahwa meningkatkan modal manusia Indonesia, merupakan agenda yang kompleks dan perlu pelaksanaan dalam jangka waktu yang panjang, yang harus menjadi inti dari strategi pembangunan pemerintah. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan sistem pendidikan di seluruh jenjang, dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi serta kesempatan belajar seumur hidup.

Satryo juga menyampaikan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 yang menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat 4,2 juta orang Indonesia lulus dari sistem pendidikan. Survei tersebut juga menunjukkan rata-rata siswa lulus pada usia 16 tahun dengan lama pendidikan 10,94 tahun. Tetapi banyak dari lulusan pendidikan menengah tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja dan akhirnya menerima pekerjaan bergaji rendah. Satryo juga menyampaikan bahwa Lebih dari 55% siswa tidak mencapai kompetensi minimum dalam literasi dan matematika. “Dua itu yang harus kita kuasai, literasi dan matematika,” tegas Satryo. Selain itu, karena siswa berada dalam sistem pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi, kurikulum yang diajarkan cenderung tidak selaras dengan kebutuhan pasar saat ini, atau yang disyaratkan industri 4.0.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749