Press Release
Nomor : PR/ 29 /VI/2023
Tanggal: 14 Juni 2023
Jakarta- Komandan the Singapore Armed Forces Training Institute (SAFTI) BG Tan Tiong Keat menyebutkan bahwa upaya kolaboratif sangatlah diperlukan untuk menjaga stabilitas dan memastikan bahwa perdagangan serta konektivitas maritim dapat terus berlanjut.
“Pihak-pihak penting saat ini bahkan sedang memikirkan kemungkinan konflik di kawasan kita. Hal ini adalah pengingat bahwa kita perlu melipatgandakan upaya dalam diplomasi dan membangun kepercayaan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan kita,” kata BG Tan Tiong Keat saat menjadi pembicara Plenary Session 2 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Rabu (14/6).
Sependapat dengan BG Tan Tiong Keat, Wakil Presiden Academic Affairs and Dean of Student of the National Defense College of the Phillipines Dr. Alan Ada Lachica meyakini sentralitas ASEAN sangat penting, karena memberikan kekuatan untuk mengendalikan dan mengatur agenda kawasan, meningkatkan reputasi, meningkatkan kredibilitas dalam mengkoordinasikan dan memimpin, serta mencegah kekuatan luar untuk memanipulasi atau membajak program dan inisiatif ASEAN.
Menurut BG Tan Tiong Keat, jalur perdagangan maritim yang melintasi Perairan Asia Tenggara semakin diperebutkan dan Laut China Selatan telah menjadi titik pusat interaksi pintu masuk global serta regional.
Pada tingkat strategis, seluruh perspektif Amerika Serikat dan Tiongkok untuk bersaing mendapatkan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik sangat berbeda dengan nilai-nilai kawasan.
Di samping dinamika Amerika Serikar-Tiongkok, stabilitas dan keamanan Laut China Selatan semakin diperumit oleh klaim teritorial serta maritim yang kompleks. “Sekarang, kompetisi Amerika Serikat-Tiongkok dan persaingan klaim di Laut China Selatan memberikan tantangan kompleks untuk Keamanan Maritim Regional,” ujar BG Tan Tiong Keat.
Oleh sebab itu, ASEAN perlu mengenali risikonya dan mengambil tindakan nyata untuk mengurangi ketegangan agar tidak terjebak dalam konflik.
Pada kasus tersebut, Dr. Lachica menilai kebebasan navigasi sangat penting dalam isu Laut China Selatan. “Kebebasan bernavigasi merupakan inti dari UNCLOS. Kebebasan bernavigasi merupakan fondasi utama perjalanan maritim internasional untuk semua kapal dan semua negara,” katanya.
Menurut studi yang dilakukan oleh the US National Bureau of Economic Research pada tahun 2020, jika terjadi blokade di Laut China Selatan atau konflik militer dan terjadi pembekuan pelayaran internasional, maka perdagangan Singapura akan turun sebanyak 22%, Hong Kong, Vietnam, Filipina, dan Malaysia akan mengalami penurunan perdagangan atau total perdagangan sebesar 10 hingga 15%. Oleh sebab itu, kebebasan navigasi sangat penting bagi ASEAN.
Rekomendasi konflik di Laut China Selatan
Mengingat kerumitan masalah atau konflik yang terjadi di Laut China Selatan, BG Tan Tiong Keat meyakini bahwa tidak ada solusi instan atau ajaib yang dapat menyelesaikan hal itu dalam semalam. Maka, ada tiga upaya yang disarankan untuk mengurangi eskalasi dan risikonya.
Pertama, dialog dan kolaborasi. Sentralitas ASEAN diyakini mampu menyediakan banyak jalan bagi negara-negara untuk berdialog dan berkolaborasi. Platform ADMM-plus memiliki daya tarik bagi banyak pemangku kepentingan untuk melakukan dialog konstruktif serta kerja sama praktis dengan mitra regional tambahan termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat.
Selain itu, Latihan multilateral juga memberikan kesempatan yang baik untuk pertukaran dan dialog.
“Kedua, saya percaya bahwa kita harus melanjutkan upaya untuk mengembangkan pedoman formal atau interaksi di laut,” kata BG Tan Tiong Keat.
Ke depan, ASEAN harus terus bekerja sama dengan Tiongkok menuju kode etik yang efektif dan substantif di Laut China Selatan. Itu sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS 1982. Di sisi lain, kode etik itu juga harus menjaga hak dan kepentingan semua pihak di Laut China Selatan.
Upaya ketiga adalah perlu memperluas keterlibatan ASEAN untuk menyertakan semua pemangku kepentingan utama maritim. “Saya berkeyakinan bahwa jika semua negara yang terlibat berkomitmen untuk menangani perselisihan secara damai, kita pasti dapat menemukan solusinya,” kata BG Tan Tiong Keat.
Pada plenary session 2 yang mengangkat sub tema Maritime Connectivity & Regional Stability itu, Dr. Alan Ada Lachica menyebutkan bahwa Code of Conduct (COC) mampu mengurangi ketegangan di Laut China Selatan, membatasi kemungkinan konflik bersenjata, membatasi perilaku agresif para pihak, dan memberikan kerangka kerja untuk kerja sama serta pembangunan maritim.
Menurut Dr. Lachica, dengan memiliki seperangkat aturan yang disepakati, ketegangan dapat dikelola karena sebagian pihak dalam COC akan mendapat informasi yang tepat tentang perilaku yang diharapkan dan kegiatan yang diizinkan. Sehingga, kegiatan militer yang diizinkan juga akan dijabarkan dengan jelas.
Namun, ada beberapa hal yang dapat membuat COC terhambat, antara lain, cakupan geografis dari COC dan sifat COC yang masih belum jelas. Apakah mencakup Laut China Selatan atau hanya befokus pada pulau-pulau kecil? Apakah akan mengikat secara hukum untuk semua pihak atau hanya sebagian?
Menjawab hambatan tersebut, maka area atau ruang lingkup cakupan yang spesifik harus dibuat secara jelas. Selain itu, COC juga harus mengikat secara hukum bagi semua pihak, harus memiliki pedoman yang jelas, harus menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, aturan yang dapat diterima mengenai ekstraksi, pengembangan sumber daya maritim, dan harus tidak membatasi kekuatan luar.
Dr. Lachica juga menilai berbagai mekanisme yang dipimpin oleh Asia harus diperkuat, termasuk ARF, Asean Plus Three, EAS, dan ADMM-Plus. Pengadopsian COC yang dapat diterima juga harus menjadi hal yang sangat penting bagi asean
Di sisi lain, Peneliti dari East Sea Institute, Diplomatic Academy of Vietnam, Ministry of Foreign Affairs of Vietnam Do Manh Hoang menawarkan rekomendai penggunaa Maritime Domain Awareness (MDA) Initiative.
Menurutnya, program MDA dapat membantu meningkatkan kerjasama koordinasi, tidak hanya di antara anggota ASEAN tetapi juga di antara lembaga yang berbeda dalam satu negara. Ini merupakan teknologi masa depan yang jika dapat dikelola dan mengetahui cara penggunaanya, maka bisa menjadi bonus besar bagi ASEAN.
Di masa depan, kemampuan MDA berpotensi untuk diintegrasikan dengan sumber informasi yang lebih baru. Hal ini memberikan kesempatan ASEAN untuk menggali lebih dalam domain baru. Selain itu, juga membantu untuk menemukan sumber daya baru guna pengembangan lepas pantai, energi terbarukan, dan khususnya melacak kenaikan permukaan laut, serta pengaruhnya untuk Kawasan. MDA juga berpotensi membantu ASEAN menghadapi tantangan Maritim.
Pada akhirnya, selain meningkatkan dialog sebagai sarana kerja sama dan penggunaan platform atau program tertentu di ASEAN, kunci untuk menjaga keamanan dan stabilitas Kawasan adalah menegakkan serta mematuhi ketertiban internasional berbasis aturan.
Narahubung: Maulida (082229125536)
Caption Foto: Plenary Session 2 Jakarta Geopolitical Forum VII/2023 “ASEAN’s Future: Addressing the Region’s Geo-Maritime Rifts”
Biro Humas Lemhannas RI
Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110
Telp. 021-3832108/09
http://www.lemhannas.go.id
Instagram: @lemhannas_ri
Facebook: lembagaketahanannasionalri
Twitter: @LemhannasRI
TikTok: @lemhannas_ri