Sebanyak 87 peserta PPRA 60 dan 80 personel Lemhannas RI mengikuti pembuatan kartu anggota Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pembuatan kartu anggota tersebut dilakukan melalui pembukaan stan Perpustakaan Nasional RI bertempat di Lobby Gedung Pancagatra Lantai 3, Lemhannas RI, Rabu (22/1).

Dalam kegiatan tersebut Perpusnas RI mengirimkan 6 personel yang dipimpin oleh Pustakawan Desi Adisiwati, S. Si. Mekanisme pelaksanaan pembuatan kartu anggota dimulai dengan pemasukan data dengan persyaratan membawa KTP. Bagi peserta PPRA 60 sebelumnya sudah dilakukan pemasukan data sehingga bisa melanjutkan ke tahap berikutnya yakni foto dan pencetakan kartu. Sedangkan bagi personel Lemhannas RI yang datanya belum terdaftar diharuskan mendaftar secara online terlebih dahulu pada https://keanggotaan.perpusnas.go.id/daftar.aspx yang kemudian mendapat nomor keanggotaan online dan dilanjutkan dengan foto dan pencetakan kartu.

Tujuan kegiatan tersebut adalah peningkatan layanan kepustakaan dan untuk mempermudah peserta PPRA untuk mendapatkan referensi pengetahuan. Kerja sama ini juga merupakan bentuk tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Lemhannas RI dan Perpusnas RI.


Setelah mengadakan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 59 pada tahun 2019, tahun ini Lemhannas RI mengadakan PPRA 60. PPRA 60 akan dilaksanakan selama 7 bulan yang dibuka pada Selasa (21/1) dan direncanakan ditutup pada Selasa (25/8).

Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Mayjen TNI Karsiyanto, S.E. dalam laporannya kepada Gubernur Lemhannas RI Agus Widjojo menyampaikan bahwa pendidikan akan dilaksanakan melalui 2 tahap yaitu tahap 1 selama 1,5 bulan yang akan diisi dengan orientasi, outbound, dan pembelajaran jarak jauh, kemudian dilanjutkan tahap 2 selama 5,5 bulan yakni pembelajaran di Lemhannas RI.

Sebanyak 100 orang peserta berasal dari berbagai latar belakang yang terdiri dari Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebanyak 14 orang, Partai Politik sebanyak 1 orang, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sebanyak 2 orang, Organisasi Masyarakat sebanyak 8 orang, TNI sebanyak 40 orang, Polri sebanyak 20 orang, dan peserta berasal dari negara sahabat yakni Australia, Bangladesh, India, Fiji, Kamboja, Malaysia, Nigeria, Pakistan, Sri Lanka sebanyak 9 orang.

“Tingkat komitmen para peserta PPRA 60 selaku kader-kader pimpinan tingkat nasional, akan memberi pengaruh besar dalam menentukan keberhasilan para peserta memahami inti sari pendidikan di Lemhannas RI,” ujar Agus Widjojo dalam sambutannya. Agus menyampaikan harapannya agar kehadiran para peserta dalam program pendidikan ini dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan masing-masing dengan menjalankan peran sebagai peserta pendidikan yang bertanggung jawab dan bukan semata-mata hanya mengejar formalitas pendidikan di Lemhannas RI.

Dalam kesempatan ini Agus juga menyampaikan bahwa para peserta harus memiliki tekad untuk melakukan revolusi mental transformasi sikap dan perilaku yang mencerminkan sosok kader pimpinan tingkat nasional dengan kualitas karakter kebangsaan yang kuat. Revolusi mental dalam pembentukan karakter kepemimpinan yang kuat tidak hanya melalui pengajaran sifat-sifat kepemimpinan dan mental yang baik, tapi juga dengan menunjukkan bukti nyata para peserta mengikuti dan mematuhi semua ketentuan dan peraturan yang dipersyaratkan oleh lembaga untuk memenuhi persyaratan kelulusan para peserta.

Menurut Agus, kesadaran untuk mematuhi segala ketentuan dengan kesadaran, akan membentuk karakter kepribadian yang menjadi sumbangan perseorangan peserta bagi proses revolusi mental secara nasional. “Secara singkat dapat dikatakan bahwa revolusi mental kepemimpinan adalah mengubah sikap dari sikap tertutup menjadi terbuka dan dari fokus ego menjadi fokus ekonomi atau lingkungan sekitar,” sambung Agus.

Program pendidikan di Lemhannas RI berfungsi untuk mempertajam dan meningkatkan kapasitas dan efektivitas kepemimpinan para peserta. Kepemimpinan yang dimaksud adalah pada tingkat strategis melalui kompetensi memformulasikan kebijakan nasional terkait, yang diperlukan secara fungsional melalui pembulatan pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Lebih lanjut Agus menjelaskan bahwa pendidikan ini memberi penyegaran dan investasi untuk memperkaya kapasitas saat nanti berkarya kembali setelah lulus pendidikan Lemhannas RI. “Dengan demikian penting bagi para peserta untuk memanfaatkan kesempatan belajar ini bagi kepentingan para peserta dengan sebaik-baiknya,” ujar Agus.

Agus juga menegaskan agar setiap peserta menjunjung tinggi etika profesionalitas dan kejujuran yang merupakan prasyarat utama karakter individu sebagai kader pimpinan tingkat nasional. Selain hal tersebut, Agus juga menyampaikan bahwa etika, moral, dan kejujuran harus menjadi pijakan utama para peserta dalam berinteraksi di antara sesama peserta maupun interaksi dengan bukan peserta.

Upacara Pembukaan PPRA 60 juga dihadiri oleh Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, S.H., M.H., Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, D.E.A, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Tatang Sulaiman mewakili Kepala Staf Angkatan Darat, Asisten Personel Kepala Staf Angkatan Laut Laksda TNI I Nyoman Mandra mewakili Kepala Staf Angkatan Laut, Asisten Personel Kepala Staf Angkatan Udara Marsma TNI I Nyoman Trisantosa, S.I.P., M.Tr.(Han) mewakili Kepala Staf Angkatan Udara, Wakil Kepala Badan Intelijen Strategis Mayjen TNI Handy Geniardi mewakili Kepala Badan Intelijen Strategis.


“Menjaga kesehatan bagi perempuan merupakan hal penting, dan harus diperhatikan sedari dini untuk menghindari berbagai jenis gangguan kesehatan yang ada,” ujar Plt. Ketua Perista Lemhannas RI, Lisa Wieko Syofyan. Menyadari pentingnya menjaga kesehatan bagi perempuan, maka Perista Lemhannas RI mengadakan kegiatan Sosialisasi Deteksi Dini Kanker Payudara yang bekerja sama dengan Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), pada Selasa (21/01) di Ruang Konstitusi, Gedung Trigatra lantai 3, Lemhannas RI.

Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan rutin yang diadakan Perista Lemhannas RI setiap tiga bulan sekali, dan dihadiri oleh tamu undangan serta karyawati Lemhannas RI. Sosialisasi kali ini juga dihadiri oleh Linda Agum Gumelar selaku Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), dr. Martha Roida Manurung dari RS Kanker Dharmais Jakarta, dan staf YPKI.

Linda mengatakan jumlah pengidap Kanker Payudara di Indonesia semakin tinggi setiap tahunnya. “Menurut Direktur Utama RS Kanker Dharmais, 56% dari jumlah pasien pengidap kanker di RS Kanker Dharmais adalah pengidap Kanker Payudara, dan 70% pasien pengidap kanker payudara di RS Dharmais merupakan pasien stadium lanjut,” ujar Linda. Kanker payudara, lanjut Linda, tidak hanya menyerang wanita. “Di YKPI sendiri ada dua orang laki-laki yang terdiagnosa kanker payudara,” ungkap Linda.

YKPI telah menjalankan program sosialisasinya ke berbagai daerah seperti NTT, Papua, dan daerah lainnya. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan YKPI untuk mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kanker. “Kami juga memiliki unit mobil mammografi yang bekerja sama dengan RS Kanker Dharmais. Itu semua bagian dari visi kami yaitu ‘Menuju Indonesia Bebas Kanker Payudara Stadium Lanjut’,” tambah Linda. YKPI juga memiliki rumah singgah yang didatangi oleh berbagai pasien dari setiap daerah seperti Medan, Maluku, Lampung, Pontianak, dan lainnya. Linda juga menyampaikan bila nanti ada yang terdiagnosa kanker payudara jinak maupun stadium lanjut mohon untuk langsung ke dokter, dan menjalani pengobatan secara klinis. Linda juga mengimbau untuk melakukan SADARI yaitu perikSA payuDAra sendiRI guna mendeteksi kanker payudara sejak dini.

Pada kesempatan tersebut dr. Martha menjelaskan lebih jauh terkait kanker payudara. Ia menyampaikan bahwa kanker payudara stadium awal tidak mempunyai gejala dan keluhan yang spesifik. “Pasien tidak akan tahu kalau dia sebenarnya sudah terkena kanker karena dia tidak merasakan apa-apa, di sinilah peran deteksi dini untuk menemukan kelainan awal,” tambah dr. Martha. Yang lebih berbahaya adalah kanker tersebut bisa menyebar ke bagian lain, “Seringkali di tempat asalnya yaitu payudara tidak menimbulkan keluhan, tapi justru ketika dia sudah menyebar ke paru-paru, tulang, dan menimbulkan masalah, baru pasien datang untuk berobat,” tambah dr. Martha. Sosialisasi dilanjutkan dengan praktek langsung SADARI oleh dr. Martha dan diikuti oleh seluruh peserta sosialisasi.


“Lemhannas RI memandang perlu untuk melakukan kajian,” ujar Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Strategi Lemhannas RI Marsma TNI Dr. Agus Purwo W., S.E., M.M., M.A. dalam paparan tim penyusun pada Focus Group Discussion (FGD) Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategis dengan tema “Menentukan Posisi Haluan Negara dalam Sistem Presidensial guna Keberlanjutan Pembangunan Nasional” bertempat di Ruang Gatot Kaca, Senin (20/1).

Agus menjelaskan bahwa adanya amandemen UUD 1945 yang mengubah TAP MPR, membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang - Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Sebagian kalangan memandang perlunya ada haluan negara dengan beberapa alasan, di antaranya adalah dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, perlu untuk mengontrol capaian, dan perlu untuk rencana pembangunan nasional yang menyeluruh. Namun, pada lain pihak juga ada anggapan perencanaan pembangunan cukup diatur dengan SPPN dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPN/RPJMN) serta pendapat bahwa GBHN hanya untuk pertahankan kekuasaan.

Ketua MPR RI Ir. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A. menyampaikan bahwa baik MPR masa jabatan 2009-2014 maupun MPR masa jabatan 2014-2019 sudah melakukan serangkaian diskusi dengan berbagai kalangan, termasuk di dalamnya tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi. Dalam diskusi tersebut, kalangan yang terlibat pada umumnya sependapat bahwa haluan negara diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, serta integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah dalam rangka mencapai cita-cita bernegara. “Perdebatan barulah muncul ketika pembahasan mulai memasuki bentuk hukum apa yang paling tepat,” jelas Bambang Soesatyo.

“Dalam menyikapi polemik menghadirkan kembali GBHN, posisi MPR masa jabatan 2019-2024 akan melakukan kajian yang lebih cermat dan mendalam terhadap substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara,” lanjut Bambang Soesatyo. Kemudian Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa hadirnya Pokok-Pokok Haluan Negara tidak akan mengurangi ruang kreativitas bagi Presiden untuk menerjemahkan program-program pembangunan. Bahkan Pokok-Pokok Haluan Negara akan menjadi payung yang bersifat politik bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis, sehingga kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara tidak akan bertentangan dengan sistem presidensial yang telah disepakati bersama.

Selanjutnya Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa setelah MPR berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara, barulah dapat dimusyawarahkan bentuk hukum yang paling tepat untuk dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara. Menurut Bambang Soesatyo, tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara akan menjadi sia-sia. “Bagaimana bisa didiskusikan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum belum tercipta. Yang pasti, jalan menuju perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah,” kata Bambang Soesatyo.

“Harapan tinggi tentang perlunya GBHN, tapi ada kekhawatiran terhadap adanya bentuk yang mungkin tidak sejalan dengan demokrasi,” ungkap Deputi Bidang Ekonomi Bappenas RI Ir. Bambang Prijambodo, M.A. Lebih lanjut Bambang Prijambodo menyatakan jika GBHN bagus tapi tidak didukung dengan institusi dan kepemimpinan yang kuat, hanya akan menjadi hiasan di atas kertas saja.

“Permasalahan bukanlah pada haluan negara, permasalahan ada di RPJP,” kata Bambang Prijambodo. Lebih lanjut Bambang Prijambodo menjelaskan bahwa saat ini struktur ekonomi kurang begitu baik karena situasi global yang bergerak cepat. Menurut Bambang Prijambodo, pada era Presiden Soeharto GBHN menjadi payung Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian ke depannya kemungkinan GBHN akan terpisah dari RPJP dan RPJMN karena tidak dikendalikan satu tangan.

Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M menyampaikan pertanyaannya mengenai produk hukum GBHN. Menurut Refly jika produk hukumnya adalah Undang-Undang maka tidak menjadi perdebatan, karena meski diajukan MPR, tetap MPR tidak bisa memaksa Presiden dan DPR. Namun, jika bentuknya adalah TAP MPR maka hierarkinya di atas UU dan di bawah UUD. Kemudian akan muncul pertanyaan bagaimana mengulasnya. Oleh karena itu, MK yang menjaga konstitusi dan memiliki yuridiksi jika produk hukumnya berbentuk TAP MPR.

“Apa alternatif selain GBHN? Sudah dikatakan oleh Ketua MPR yaitu PPHN,” kata Refly. Menurut Refly jika bicara mengenai alternatif GBHN berarti bicara ke status atau produk hukumnya, bukan namanya.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749