Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategis Lemhannas RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Menentukan Posisi Haluan Negara dalam Sistem Presidensial guna Keberlanjutan Pembangunan Nasional” bertempat di Ruang Gatot Kaca, Kamis (23/1).

FGD tersebut merupakan rangkaian kedua dari pelaksanaan FGD dengan tema yang sama. Penyelenggaraan FGD dilatarbelakangi dengan adanya amandemen UUD 1945 yang mengubah Tap MPR sehingga Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Perubahan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Pada FGD kali ini, narasumber terdiri dari Wakil Ketua DPD RI Letjen TNI Mar (Purn) Dr. Nono Sampono, S.Pi., M.Si., Anggota Komisi II DPR RI Dr. Junimart Girsang, S.H., M.B.A., M.H., dan  Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. Memulai pemaparannya, Wakil Ketua DPD RI Letjen TNI Mar (Purn) Dr. Nono Sampono, S.Pi., M.Si. menyatakan bahwa negara adalah organ hidup yang bergerak dalam ruang dan waktu. Negara memiliki 3 komponen, yakni wilayah, rakyat, dan pemerintah yang memiliki kepentingan dan tujuan nasional. Dalam pelaksanaannya, negara dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis baik secara global, regional, dan nasional yang berkembang menjadi geopolitik dan geostrategis. Lebih lanjut Nono menyatakan bahwa visi dan misi, baik Presiden, Gubernur, maupun Bupati/Walikota, harus bersifat terpadu, berkesinambungan, dan berkelanjutan secara nasional serta berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. “Jadi pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh Presiden, maupun Gubernur atau Walikota harus menyatu dan terpadu,” ujar Nono.

Menurut Nono, haluan negara baiknya tertuang dalam GBHN dan RPJPN/RPJMN menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Haluan negara tidak membatasi kewenangan,” lanjut Nono. Haluan negara merupakan haluan bagi negara dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berisikan garis besar sebagai pernyataan bentuk kehendak rakyat Indonesia menuju terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur yang ditetapkan oleh MPR.

“Amandemen sesungguhnya terbatas, hanya yang bersentuhan dengan haluan negara, tentang pembangunan bangsa dalam rangka mensejahterakan rakyat” kata Anggota Komisi II DPR RI Dr. Junimart Girsang, S.H., M.B.A., M.H.. Kemudian Junimart menjelaskan bahwa pada prinsipnya, substansi di dalam pokok-pokok haluan negara hanya memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah.

Sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN tersebut, lanjut Junimart, akan memuat arah kebijakan penyelenggaraan negara untuk menjadi pedoman bagi penyelenggara negara, lembaga tinggi negara, serta seluruh rakyat Indonesia dalam melaksanakan penyelenggaraan negara sesuai tujuan, yaitu melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.

Pada kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. menyampaikan perbandingan model antara GBHN dan SPPN. Perbedaan pertama adalah GBHN bersifat top to down, sedangkan SPPN lebih bersifat partisipatif. Selanjutnya GBHN disusun oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional yakni suatu lembaga yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, sedangkan SPPN disusun bersama-sama secara berjenjang dari bawah ke atas. Kemudian pada GBHN, MPR hanya semacam lembaga stempel dan MPR periode sebelumnya tidak bisa mengikat MPR periode selanjutnya. Sedangkan pada SPPN berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN mengatur bahwa pemerintah periode sebelumnya bisa mengikat pemerintah periode selanjutnya.

Arinanto menegaskan bahwa sebenarnya SPPN merupakan lanjutan cita-cita GBHN. Perbedaan antara SPPN dan GBHN hanya pada perbedaan dokumen saja dan yang terpenting adalah Presiden tidak dikonstruksikan di bawah MPR. “Kalau GBHN diterapkan lagi harus diperjelas dan jangan dibolak-balik, harus ada definisi yang jelas,” ujar Arinanto.


Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menerima Koordinator dan pengurus Mufakat Budaya Indonesia (MBI) untuk beraudiensi pada Rabu (22/1) di Ruang Tamu Gubernur, Gedung Trigatra Lt. I, Lemhannas RI.

Dalam audiensi tersebut, Radhar Panca Dahana selaku Koordinator MBI menyampaikan ucapan terima kasih atas diperkenankannya untuk beraudiensi. Pertemuan ini, bagi MBI sendiri merupakan pertemuan kedua kalinya dengan Gubernur Lemhannas RI.

Radhar menjelaskan bahwa MBI merupakan kumpulan dari para cendekiawan senior yang berasal dari berbagai latar belakang yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Setiap lima tahun sekali MBI melaksanakan pertemuan akbar. “Dalam pertemuan akbar terakhir yang diikuti 60 peserta dari seluruh perwakilan MBI provinsi di Indonesia, muncul permasalahan-permasalahan kebangsaan yang dianggap critical,” jelas Radhar.

Pertemuan tersebut, tambah Radhar, telah menghasilkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi. Permasalahan kebangsaan yang didiskusikan adalah Radikalisme, Manusia Unggul, Papua, Revolusi Industri 4.0., dan Adab dan Budaya. Kesimpulan dan rekomendasi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan kajian di Lemhannas RI sebagai think tank pemerintah.

Dalam kesempatan tersebut juga, Radhar menyampaikan bahwa masyarakat saat ini telah menjadi korban dari tergesernya adab dan budaya yang mengakibatkan kemerosotan etika dan moral yang mempengaruhi perilaku dan sikap masyarakat. “Kebudayaan kita mengalami degradasi pada titik nadir,” tegas MBI

Radhar berpendapat bahwa ketahanan atau pertahanan, harus dilakukan dari manusianya. Kalau itu bisa dilakukan oleh 265 juta warga negara dengan karakter budaya, akan menjadi sebuah ketahanan dan pertahanan yang kuat.

Menanggapi hal tersebut, Agus mengatakan bahwa memang saat ini Indonesia tengah mengalami masa transisi, salah satunya adalah transisi budaya. Menurut Agus, berbicara karakter kebudayaan sebenarnya dapat melakukan benchmarking kepada bangsa Jepang yang selalu mengutamakan kedisiplinan dan kebersamaan.

Agus juga menjelaskan bahwa ketahanan dan pertahanan adalah sesuatu hal yang berbeda. Ketahanan, menurut Agus adalah kemampuan sebuah masyarakat untuk memberdayakan sumber dayanya untuk menghadapi ancaman yang mengancam kelangsungan hidupnya.

Turut mendampingi Gubernur Lemhannas RI adalah Deputi Pengkajian Strategis Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P., dan Kepala Biro Humas Brigjen TNI Sugeng Santoso, S.I.P.


Sebanyak 87 peserta PPRA 60 dan 80 personel Lemhannas RI mengikuti pembuatan kartu anggota Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pembuatan kartu anggota tersebut dilakukan melalui pembukaan stan Perpustakaan Nasional RI bertempat di Lobby Gedung Pancagatra Lantai 3, Lemhannas RI, Rabu (22/1).

Dalam kegiatan tersebut Perpusnas RI mengirimkan 6 personel yang dipimpin oleh Pustakawan Desi Adisiwati, S. Si. Mekanisme pelaksanaan pembuatan kartu anggota dimulai dengan pemasukan data dengan persyaratan membawa KTP. Bagi peserta PPRA 60 sebelumnya sudah dilakukan pemasukan data sehingga bisa melanjutkan ke tahap berikutnya yakni foto dan pencetakan kartu. Sedangkan bagi personel Lemhannas RI yang datanya belum terdaftar diharuskan mendaftar secara online terlebih dahulu pada https://keanggotaan.perpusnas.go.id/daftar.aspx yang kemudian mendapat nomor keanggotaan online dan dilanjutkan dengan foto dan pencetakan kartu.

Tujuan kegiatan tersebut adalah peningkatan layanan kepustakaan dan untuk mempermudah peserta PPRA untuk mendapatkan referensi pengetahuan. Kerja sama ini juga merupakan bentuk tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Lemhannas RI dan Perpusnas RI.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749