Cetak

Alissa Wahid: Sosiosentrisme Mudah Menyulut Identitas Politik

Putri sulung Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid, memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 61, Rabu, 24 Juni 2020. Pada kesempatan tersebut Alissa mengangkat topik “Menakar Perkembangan Politik Identitas dan Pengaruhnya Terhadap Komitmen Pemimpin Nasional Untuk Menjaga Keutuhan NKRI”.

“Sebetulnya narasi kebencian tidak hanya terjadi di Indonesia, dan tidak hanya terjadi pada masyarakat muslim,” kata Alissa mengawali ceramahnya. Lebih lanjut Alissa menjelaskan bahwa narasi kebencian yang biasanya menjadi narasi identitas sebenarnya tidak terkait dengan agama dan tidak terkait dengan negara. Narasi identitas juga bukan hanya tentang agama, tetapi bisa juga tentang ideologi.

 “Persoalan identitas kelompok bukan hanya persoalan Indonesia, bukan hanya persoalan agama tertentu, tetapi adalah persoalan global,” ujar Alissa. Menurut Alissa, identitas kelompok di Indonesia memang sangat mudah menyebar. Hal itu disebabkan karena banyak masyarakat Indonesia yang adalah masyarakat yang sosiosentris, yakni meletakan kepentingan kelompok, identitas kelompok, agenda kelompok, serta aturan kelompok di atas aturan individu. “Karena sosiosentris, jadi mudah sekali menyulut identitas politik,” tutur Alissa.

Secara umum identitas politik adalah membawa aspirasi dan agenda politik kelompok, serta menggunakan identitas kelompok sebagai bahan bakar. Kemudian narasi-narasi yang digunakan adalah narasi kebencian, karena narasi kebencian menggugah rasa terancam pada suatu kelompok.

Selanjutnya Alissa menjelaskan desentralisasi pemerintahan yang terkait dengan komitmen pemimpin, terutama pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal tersebut membawa konsekuensi, yakni distribusi lokus perebutan kekuasaan politik berada di tingkat lokal yang membuat kontrak politik menjadi cukup di tingkat lokal, tidak perlu ditingkat nasional. Hal tersebut membuat pressure group (kelompok penekan) berada di tingkat lokal dan mayoritarianisme juga ada di tingkat lokal.

Mengutip salah satu pernyataan Abdurrahman Wahid, Alissa menegaskan bahwa masalah di kehidupan sekarang hanya dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukan mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan dan kekuasaan tidak lagi mengindahkan aspek moral dalam kehidupan sebagai bangsa. Oleh karena itu, untuk menjaga agar bisa mempertahankan Indonesia diperlukan Pancasila sebagai asas dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tanpa Pancasila, negara akan bubar,” ujar Alissa.