Cetak

Direktorat Pengkajian Sosbud Gelar FGD Antisipasi Konflik Sosial Sebagai Dampak Pilkada Serentak

“Lemhannas RI memandang perlu untuk melakukan kajian jangka panjang tentang Antisipasi Konflik Sosial Sebagai Dampak Pilkada Serentak guna Membangun Pemahaman Nilai-Nilai Demokrasi Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI,” kata Deputi Bidang Pengkajian Strategis Lemhannas RI pada Focus Group Discussion (FGD) Direktorat Pengkajian Sosial Budaya Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. bertempat di Ruang Gatot Kaca, Kamis, 20 Februari 2020.

Tema tersebut diangkat mengingat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak kali ke-4 yang akan berlangsung pada 23 September 2020. Pilkada serentak 2020 bukanlah hal yang mudah karena akan berlangsung di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Perlu persiapan yang matang pada tiap tingkat penyelenggara, yakni KPU tingkat provinsi dan kabupaten/ kota dan didukung penuh oleh Pemerintah Daerah serta pihak terkait yang bekerja sama untuk menyukseskan Pilkada tersebut.

Belajar dari Pilkada tahun sebelumnya, potensi konflik sosial membayangi setiap penyelenggaraan pesta demokrasi politik. Pilkada secara langsung diperkirakan juga akan menyerap energi politik masyarakat daerah, termasuk kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dan kelompok-kelompok politik (political groups) di daerah. Suasana politik Indonesia menjelang Pilkada dan selama Pilkada berlangsung nantinya memperlihatkan bahwa tindakan berupa kewaspadaan terhadap Ancaman Tantangan Hambatan dan Gangguan (ATHG) pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus dijaga agar tidak terjadi konflik atau instabilitas nasional.

Oleh karena itu, kajian tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial sebagai dampak Pilkada serentak dan mengetahui lebih dini sebelum munculnya bahaya risiko yang nyata, kemudian mempersiapkan tindakan yang dirasa perlu untuk meminimalisir kemungkinan resiko yang terjadi.

Dalam kesempatan tersebut, Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Strategi Lemhannas RI Marsma TNI Dr. Agus Purwo W., S.E., M.M., M.A. selaku anggota tim kerja penyusun naskah kajian memaparkan latar belakang kajian yang terkait dengan dinamika politik tahun 2020, maksud dan tujuan kajian, berbagai konflik yang terjadi pada pemilu 2019, dan tantangan penyelenggaraan Pilkada 2020. Untuk memperkaya bahan kajian, Agus meminta masukan kepada para narasumber terkait potensi konflik sosial sebagai dampak pilkada serentak, faktor penyebab terjadinya potensi konflik sosial, dan bagaimana mengantisipasi terjadinya konflik sosial.

 “Kita berharap kasus-kasus konflik sosial yang terjadi tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan Pilkada atau memicu terjadinya konflik sosial yang disebabkan dari pelaksanaan sebelumnya,” ujar Direktur Politik Badan Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri Brigadir Jenderal Polisi Drs. Antony M.T. Siahaan M.H. setelah memberikan data kasus konflik sosial pada Pilkada dan pemilu sebelumnya.

Pada kesempatan yang sama Ketua Bawaslu RI Abhan, S.H., M.H. menyatakan bahwa Pilkada serentak 2020 merupakan Pilkada terakhir sebelum semuanya serentak pada 2024. Namun, Pemilu dan Pilkada masih diwarnai pelanggaran yang dapat memunculkan potensi kerawanan sehingga menjadi tantangan besar dalam proses demokrasi.

Strategi Bawaslu dalam menghadapi potensi pelanggaran tersebut dibagi menjadi 3 tahapan yakni pencegahan, penindakan, dan partisipatif. Saat ini upaya pencegahan dilakukan secara masif, tetapi jika upaya pencegahan tidak berhasil dan masih terdapat pelanggaran maka Bawaslu, melalui kewenangan yang dimiliki, akan melakukan penindakan baik secara administratif maupun secara pidana. Abhan juga menuturkan bahwa yang dimaksud pencegahan partisipatif adalah upaya yang melibatkan masyarakat.

Sosiolog Universitas Indonesia Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc. menyampaikan  bahwa hakikat Pilkada adalah perlu membangun kepemimpinan daerah secara demokratis. Pilkada sendiri memiliki bius politik yang tinggi sehingga membutuhkan masyarakat yang cerdas, maka target budaya yang ingin dicapai adalah membentuk masyarakat yang cerdas. “Pemerintah harus mengutamakan pendidikan masyarakat,” kata Paulus.

Masyarakat cerdas yang dimaksud adalah masyarakat yang mengetahui hak dan kewajiban secara adil, baik terhadap pemerintah maupun sesama warga masyarakat. Selain itu, masyarakat cerdas juga harus mampu menghindari konflik kekerasan dan mampu membedakan antara kampanye dengan provokasi. “Tidak ada jalan lain untuk mengatasi semua kerisauan dan kegalauan, letaknya yang paling kokoh adalah bagaimana masyarakat dididik,” ucap Paulus.