Beri Ceramah di Lemhannas RI, Wamenkumham RI: Restorative Justice Tidak Menghentikan Perkara

“Restorative justice dalam pengertian konsep proses adalah penyelesaian perkara pidana yang melibatkan aparat penegak hukum, pelaku, dan korban,” kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Wamenkumham RI) Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. Hal tersebut disampaikan Wamenkumham RI saat memberikan ceramah kepada Peserta Program Pendidikan Reguler (PPRA) 63 Lemhannas RI secara virtual pada, Rabu, 6 Juli 2022.

Lebih lanjut, Wamenkumham RI menyampaikan bahwa restorative justice memiliki dua pengertian yang dapat dilihat dari konsep nilai dan konsep proses. Restorative justice dari konsep nilai mengandung makna yang lebih menitikberatkan pada pemulihan korban dan bukan penghukuman. Sedangkan restorative justice dari konsep proses mengandung makna penyelesaian perkara pidana yang melibatkan aparat penegak hukum, pelaku, dan korban.

Wamenkumham RI menekankan bahwa hal tersebut penting untuk diketahui para Peserta PPRA 63 Lemhannas RI agar tidak ada pandangan yang keliru dimana seolah-olah restorative justice menghentikan perkara. “Kalau yang berpandangan bahwa restorative justice itu menghentikan perkara, itu berarti dia meletakkan restorative justice itu di luar sistem peradilan pidana. Padahal di mana pun di dunia ini, restorative justice sebagai bagian integrated dari sistem peradilan pidana,” ujar Wamenkumham RI. Menurut Wamenkumham, restorative justice, yang disampaikan Albert Eglash, sangat mewacana dan mempengaruhi paradigma hukum pidana moderen yang berlaku universal.

Selanjutnya Wamenkumham RI menyampaikan lima pendekatan dalam restorative justice. Pertama adalah Court Based Restitutive and Reparative Justice, yakni melalui langkah-langkah restitusi dan reparasi yang merupakan dasar dari pengadilan. Wamenkumham menjelaskan bahwa pendekatan pertama tersebut sudah dilakukan oleh para Jaksa di Indonesia melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pendekatan ini, biasanya Jaksa di pengadilan melakukan tuntutan pidana bersamaan dengan tuntutan penggantian kerugian.

Kedua, yakni Victim Offender Mediation dimana dilakukan mediasi antara pelaku dan korban. Pendekatan ini sebenarnya sudah ada sebelum Albert Eglash memperkenalkan konsep restorative justice. Ketiga, yaitu Conferencing Initiatives yang biasanya ditujukan jika pelaku kejahatan masih dibawah umur. Pendekatan ketiga ini memiliki dua bentuk, yaitu family group concept dimana dilakukan mediasi keluarga korban dan keluarga pelaku dan police let community conferencing dimana polisi sebagai penjaga pintu gerbang utama dalam sistem peradilan pidana harus dapat mengusahakan hal tersebut.

Keempat adalah Community Reparation Boards and Citizen Panels yang merupakan pendekatan yang melibatkan komunitas masyarakat setempat. Kelima, yakni Healing and Sentences Circle. Pendekatan kelima ini memiliki kemiripan dengan pendekatan pertama, karena keduanya merupakan pendekatan dimana masyarakat menuntut ke pengadilan terkait kerugian yang diderita akibat perbuatan pidana. Kelima pendekatan restorative justice di atas sudah dikenal di Indonesia.

Mengakhiri ceramahnya, Wamenkumham RI mengungkapkan bahwa Kemenkopolhukam, Kementerian PPN/Bappenas, Kejaksaan Agung, Polri, dan Kemenkumham saat ini sedang menginisiasi dibentuknya Peraturan Pemerintah terkait restorative justice. Menurut Wamenkumham, Peraturan Pemerintah tersebut diperlukan sebagai parameter, standar, dan ukuran yang sama bagi seluruh pihak seperti Jaksa dan Polisi dalam menerapkan restorative justice. “Kita harus memadukan antara eksekutif dan yudikatif sehingga ada pada frekuensi yang sama, jadi betul-betul restorative justice ini diterapkan dengan standar dan parameter yang sama,” pungkas Wamenkumham RI.(NA/CHP)



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749